BALADA SEPATU

1765 Kata
Ben menurunkan tangannya, menatap Anne dengan kening berkerut, agak bingung kenapa tiba-tiba banget ekspresi istri barunya mendadak suram. Anne mengetuk-ngetuk ujung telunjuknya ke buku tamu, tepat di pesan misterius tersebut, lalu mendelik. Ben mengikuti arah lirikan tajam Anne, memicingkan mata agar bisa membaca kalimat tersebut. “Apaan sih?” gumamnya. “Kok malah nanya ‘apaan sih?’” omel Anne. “Ya kali pesan sesedih itu salah alamat!” “Kesana kemari membawa alamat!” Ben malah ngebanyol, include tarian perut pula. ‘Plak!’ Ngga salah sih kalau Anne emosi. Bayangin aja, baru juga nikah sudah dapat kiriman ujian. Manalah suaminya tengil bin ajaib begini. “Beneran, sayang... aku ngga tahu,” ujar Ben. “Tapi suka tempe.” Anne mendengus. Lelah. Bisa sampai besok kayaknya dialog mereka baru selesai. “Ben, aku serius lho... aku ngga seneng ih dikerjain begini. Ngga lucu!” “Aku juga serius, neng peri. Meneketehe siapa yang nulis. Ngga ada yang izin ke aku sebelum merangkai kata di situ.” Anne mendecak. “Kamu naksir siapa coba pas SMA?” “Naksir kamu.” “Ben!” “Dih! Panggil Om Papa gih, suruh bedah dad4 aku. Pasti adanya cuma nama kamu, terukir abadi,” elak Ben. “Najong!” umpat Anne. “Heh!” Anne mengatupkan bibirnya rapat, menahan tawa. “Fans kamu. Coba diingat-ingat.” Kening Ben mengerut, pura-pura mikir keras. Padahal mah, mana peduli dia sama hal ngga penting begini. “Masa Ibu atau Mama Ndien yang nulis?” “Kok jadi Ibu dan Mama?” “Siapa lagi fans aku yang cewek? Mieko? Ngga mungkin!” Ben mengambil pulpen yang tergeletak di atas meja. Tulisan itu lantas ia coret-coret hingga tak lagi terbaca. “Beneran aku ngga tau, sayang.” Anne menyipitkan mata. “Jangan-jangan kamu pernah punya mantan yang aku ngga tau ya? Misalnya kenalan di sosmed?” Ben terdiam sejenak, mencoba menebak arah pertanyaan itu. “Anne... jangan mulai—” “Jawab aja sih!” ketus Anne. “Ngga ada,” jawab Ben, cosplay ngambek. “Aku cuma main hati sama kamu seorang.” Anne masih belum puas. “Naksir doang deh. Siapa? Ayo ngaku.” Ben menatap langit-langit, mencoba menghitung kuntum bunga yang terangkai dengan cantiknya di floral chandelier. “Ada, Ben?” tanya Anne, terdengar merajuk. “Mikasa,” gumam Ben. “Hah?!” “Mikasa Ackerman,” lanjut Ben santai. “Attack on Titan. Kuat, jago pedang, cuek tapi setia.” Anne melongo. “BEN!” “Terus juga Inoue Orihime,” tambahnya tanpa dosa. “Cantik, manis, mirip kamu... tapi versi lebih jingkrak.” “Itu kan karakter anime!” seru Anne, makin kesal. “Kamu tanya siapa yang pernah aku suka. Aku jawab jujur,” ujar Ben kalem. “Salahnya di mana?” Anne memelototinya. “Kamu tuh kombinasi Orihime, Hinata, dan Kaori Miyazono. Tapi kamu real, baby. Kamu yang aku kejar seumur hidup.” Tangan Anne menyasar pipi suaminya, mencubit gemas. “Dasar suami wibu!” “Wibu yang halal,” balas Ben. “Sekarang cuma ngefans sama kamu, sayang.” “Jangan sok manis!” Ben mengecup pipi Anne singkat. “Gimana kalau manis beneran?” “Ben ih... apaan sih!” tanggap Anne malu-malu. Ada yang nyetrum pas Ben bisikin dia barusan. Ben merangkul Anne, memaksa istrinya meninggalkan area entry, memandunya ke ruang ganti. “Cepetan ayo. Nanti MUA-nya keburu selesai makan.” “Memang kenapa?” “Kita kissing baru sebentar doang lho, Ne.” “Sempet-sempetnya ih minta kissing.” “Sempet dong,” tanggap Ben seraya membuka pintu ruang ganti. “Ngga boleh nyesal nikah sama aku.” “Iya, kan ngga bisa diretur.” “Ngga ada garansinya juga, sayang.” Anne akhirnya tergelak juga, bersamaan dengan suara berdebum lembut dari pintu yang tertutup. “Beneran kamu ngga tau yang nulis pesan itu siapa?” Ben melepas jas dan dasinya, membuka tiga kancing teratas kemejanya, lalu mendekati Anne dan menjepit lembut dagu istrinya. Ibu jarinya menyapu garis bibir Anne, lembut. “Nanti aku kasih tau kalau ingat, meski aku ragu karena aku ngga pernah mikirin atau nanggepin cewek lain. Cuma kamu.” “Ben....” Ia menunduk, melekatkan bibir mereka. Kecupan ringan dan hangat sebagai pembuka, hingga bibir Anne sedikit terbuka, ikut bergerak seirama dengan Ben. Tubuh mereka kian rapat, kedua tangan merengkuh dan membelai erat, napas pun menderu. Jika nanti sang MUA bertanya mengapa riasan Anne agak kacau, ingatkan Ben untuk menjawab: mereka sedang seru-serunya... membahas anime. *** Satu jam lepas tengah hari, Ben dan Anne sudah kembali ke tengah hutan pinus yang telah disulap menjadi area makan siang. Kursi-kursi dan meja-meja bulat dengan taplak nude dipenuhi peralatan makan eksklusif, rangkaian bunga cantik, dan sebuah kartu yang memuat daftar hidangan yang akan disajikan. Pernikahan mereka memang tidak dibuka untuk umum, namun hanya dirayakan bersama orang-orang terdekat. Bahkan, keluarga jauh yang hanya muncul saat ada maunya, tak mereka undang. Semua yang hadir di tempat nan indah itu menikmati sajian sembari berbagi cerita diiringi senandung musik dan lagu romansa. Di salah satu meja, Anne tengah mengobrol bersama Hana—adik Dirga. Sementara itu, Ben—dengan satu tangan menggenggam tiang dekorasi arch dan satu kaki hanya tertutup kaos kaki yang terlipat ke belakang—sedang asyik ngobrol dengan Arga—salah satu sepupu Anne. “Pegal?” tanya Arga. “Lumayan, Bang,” jawabnya. “Biar ngga kaku aja otot, kebanyakan gerak statis soalnya.” Arga mengangguk. “So, kenapa akhirnya kalian baru nikah sekarang? Usia 28 tahun tuh masih muda, tapi lumayan matang kalau menurut gue.” “Memangnya lo nikah umur berapa, Bang?” “27.” “I see. Iya ya? Gue dan Anne yang paling mateng berarti. Bang El juga 27 nikahnya.” “Makanya gue nanya... meski ngga perlu lo jawab juga kalau ngga nyaman.” “Santai aja, Bang,” tanggap Ben. “Sama-sama lagi sibuk aja. Gue lagi persiapan pengambil alihan PilarMaju.” Yang Ben maksud adalah perusahaan construction contractor yang Borne bangun dari nol. “Masalahnya kan PM lagi nge-handle proyeknya 3D. Tau kan gimana Ayah dan Papa Ga? Combo perfectionist-nya kalau soal kerjaan.” Arga mengangguk paham. “Anne juga ngerjain proyek itu bukan?” “Yup! Anne di tim desain. Mana dia juga baru grand opening 404 Not Found di Kemang,” jawab Ben, merujuk ke distro yang dimiliki Anne dan dua sepupunya yang lain. “Terlalu fokus ke kerjaan karena kepingin cepat selesai, eh malah mundur-mundur, tau-tau udah 28 tahun aja, Bang.” “Amanlah. Ngga ketuaan juga kok. Gue cuma heran aja, soalnya kalian udah lama banget bareng.” “Kita mah pacaran rasa sahabatan. Apa kebalik yak?” “Suka-suka lo dah.” Dari kejauhan, Bumi―masih seputaran sepupu Anne―melihat kesempatan emas untuk mengeksekusi hadiah pernikahan terindah yang tak mungkin terlupakan. Dengan mengendap-ngendap, ia mengambil sepatu Ben yang tergeletak di bawah lututnya yang mengambang di udara, lalu memasukkan alas kaki tersebut ke dalam paper bag kosong yang seharusnya dipakai untuk tanda terima kasih dari kedua mempelai. Arga bahkan tak sadar apa yang dilakukan adik sepupunya itu. Setelah misi selesai, Bumi dengan santainya menepuk bahu Ben. “Bro, pegangin bentar. Urang mulas.” Ia menyerahkan paper bag itu, lalu mengayun langkah cepat, menjauh. “Jadi sekarang lo ngantor di mana?” tanya Arga lagi. “Tetap lebih sering di PM, Bang. Seminggu dua kali deh ke 3D.” “Biar?” “Biar ngga kangen-kangen amat sama Anne.” Keduanya lalu tergelak. Ben menurunkan kakinya, hendak mengenakan sepatunya kembali. Namun.... “Lah?” Ia celingukan. “Lho?!” Mulai melongok ke sana, melongok ke sini. Arga terkekeh, nyaris tersedak jus yang tengah ditenggaknya, perkara Ben yang nungging-nungging dengan kaki hanya mengenakan sebelah sepatu. “Anj1r, lenyap sepatu gue,” gumam Ben. “Ngapain sih lo?” tanya Arga sambil tertawa. “Lo ngumpetin sepatu gue, Bang?” balas Ben. “Kurang kerjaan amat! Kaki gue masih normal, 43.” “Gue 45, Bang.” “Ya makanya ngapain gue ngambil sepatu lo?” “Susah banget itu dapatnya. Nitip Papa Ga di London itu. Buset! Baru juga jadi mantu, udah ngilangin hadiah mertua aja gue!” Ben semakin panik. Ia bangkit sambil tetap membawa paper bag pemberian Bumi, dan mulai memeriksa area sekitar, bahkan mulai menyingkap taplak meja bundar di dekatnya. “Anne bisa ngamuk nih kalo tahu sepatu gue ilang,” gerutunya sendiri. “Amsyong bener. Mana mahal banget! Bakalan digantung di pohon toge ini gue.” Arga bukannya membantu, malah makin ngikik sampai memegangi perutnya yang ngilu. Beberapa tamu mulai memperhatikan kegaduhan kecil itu. Termasuk Hana. “Itu Bang Ben lagi ngapain sih, Uni? Ada yang hilang?” Anne menoleh. Ia tak menjawab pertanyaan Hana, namun keningnya melekuk-lekuk. “Kok Bang Ben nyeker sebelah, Uni?” tanya Hana lagi. “Ngga tau, Bund,” jawab Anne seraya terkekeh. “Kualat kali, sering banget ngerjain orang, sekarang gentian dikerjain.” Sementara itu, Bumi duduk di balik salah satu batang pohon pinus, pura-pura fokus makan roti kukus, padahal bahunya berguncang menahan tawa. “Nyari apa, Bang?” tanya Dirga. “Ngga ada, Pa. Aman!” sahutnya panik. “Sepatu sebelah ke mana?” “Lagi dicari, Pa.” “Belum ada sebulan itu sepatu!” “Ampun, Pa! Ini lagi Ben cari,” sahut Ben, lalu mulai sibuk kembali. “Duh, kemana ya? Sepatu poundsterling.” Arga tak tega, ia akhirnya mendekati Ben. “Gue bantu deh. Nih bantuin habisin pisang goreng gue,” ujarnya seraya menyodorkan piring dengan satu kudapan favoritnya tersisa di sana. Ben refleks menjepit paper bag Bumi di ketiaknya. Namun saat hendak meraih pisang goreng, paper bag itu miring. Dan... ‘Blug!’ Sesuatu yang familiar jatuh dari dalamnya. Ben menunduk, menatap lekat-lekat benda yang kini teronggok di dekat kakinya. Sepatu. Sebelah. Sepatunya. Ia menatap sepatu itu, lalu menatap Arga. “Bang?!” tuding Ben otomatis. “Gue ngga ngapa-ngapain, bro!” Arga membela diri, lalu tertawa terbahak. Tawa yang akhirnya meledak tak hanya dari keduanya karena merasa konyol, namun juga dari beberapa tamu di sekitar yang menyaksikan detik-detik sang pengantin pria menyadari... ia selama ini membawa sepatunya sendiri sambil keliling mencari. Ben menatap sepatunya, lalu paper bag, lalu Arga lagi. “Anj1r!” sambatnya. “AA! A BUMI!” pekiknya. Bumi keluar dari persembunyiannya, Ben sibuk memakai sepatu. Detik berikutnya kedua pemuda itu sibuk mengejar dan dikejar sambil terbahak, mengelilingi area kafe hutan pinus. Dari sudut lain, Anne menonton kejadian itu seraya terkekeh. “Bund… gimana ini nasib pernikahan Uni? Bakalan chaos ngga tuh?” Hana tersenyum. “Yang penting chaos-nya bareng-bareng, Uni. Lagian... kayaknya lebih tepat kalau bakalan seru.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN