Ryan mondar mandir di kamarnya dengan ponsel menempel ke telinga kanannya. Wajahnya gelisah, tampak letih karena berhari-hari tidurnya tak nyenyak. Kumis dan jambangnya yang ia biarkan memanjang tampak tak terurus. Kantung matanya menghitam. Ia sedih, menyesal akan sikapnya beberapa hari lalu. Ia tulus ingin meminta maaf pada wanita terkasihnya. Tapi Elvina seolah menyiksanya. Tak satupun pesan yang ia kirim berbalas. Tak satupun teleponnya dijawab. Bahkan meski ia berusaha menemuinya di rumah sakit, yang ia dapati hanya tatapan dingin sembari berlalu. Ini telepon kesekiannya hari ini. Ia sungguh berharap Elvina menjawab teleponnya. Atau paling tidak membaca pesannya. "Halo, El?" Ryan hampir melonjak saking bahagianya mendengar suara wanita yang amat ia rindukan. "Kenapa, Yan?" Suara El