Part 10

1359 Kata
Raka segera berganti pakaian, dia membawa baju ganti ke dalam kamar mandi karena ada Aldi di dalam kamarnya. Bayangan di dalam kepalanya masih berputar-putar bagai kunang-kunang mengusik benaknya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi di dalam hidupnya! Akankah dia masih berani menatap wajah sahabat sekaligus gadis yang selalu berada di dalam hatinya. Akankah Anindya mau memaafkan dirinya, ketika hal itu terjadi? Dia tahu semua tentang Anindya sejak mereka berusia tujuh tahun. Yang sebenarnya gadis itu adalah sosok pendiam, gadis baik-baik dan nggak pernah aneh-aneh. Pergaulannya juga sebatas bersama teman-teman sekolahnya. Tidak pernah keluar malam atau sekedar berkumpul nongkrong di kafe. Gadis itu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar demi mengejar cita-citanya. Setelah berganti pakaian Raka keluar dari dalam kamarnya, pria itu melangkah menuju ke ruang makan. Sejak sore dia belum makan, sejenak ia menoleh ke arah jam yang menempel pada dinding ruangan. Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lumayan lama dia tertidur di kamar Anindya sejak sore tadi. "Tok! Tok! Tok!" Dia terkejut mendengar ketukan pintu terdengar pada pintu samping rumahnya, di sebelah tempat dia duduk menikmati makanannya. Raka berdiri, untuk membukakan pintu. "Anin?" Tanyanya kaget, tak biasanya gadis itu malam-malam ke rumahnya. "Ini buku elo." Menyodorkan buku milik Raka padanya. Sebenarnya dia terus-menerus mendengar suara yang membuatnya risi di rumah. Jadi dia memutuskan untuk mengembalikan buku Raka sambil meminjam kotak musik milik tetangganya tersebut. "Hem oke!" Ujarnya sambil hendak menutup pintu tersebut kembali. Pikirnya Anindya memang ke sana hanya untuk mengembalikan buku miliknya tersebut. "Braakkk!" "Akkhhh! Raka tunggu! Jangan tutup dulu!" Cegah Anindya sampai telapak tangannya hampir terjepit pintu, karena Raka sudah mengatupkan daun pintu samping rumahnya. "Loh! Tanganmu Nin! Masuklah!" Raka segera mengambilkan obat untuknya, Anindya duduk di kursi meja makan sambil mengibaskan tangannya karena terasa pedih. Raka meletakkan kotak obat di atas meja, kemudian ragu-ragu dia menggenggam tangan Anindya. Sesaat dia mencuri pandang pada wajah gadis itu, dilihatnya Anindya sedang menggigit bibirnya sendiri menahan pedih akibat cairan antiseptik yang dituangkan Raka pada luka di punggung tangannya. "Sakit?" Tanya Raka sambil meniup luka tersebut. "Nggak apa-apa Ka, em gue mau minjam kotak musik elu, boleh nggak?" Tanya gadis itu padanya. Raka menempelkan plester pada luka di punggung tangannya, kemudian meletakkan tangan Anindya di atas meja. Pria itu menatap wajah Anindya sambil menopang wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangannya. "Ka?" Panggilnya lagi, karena Raka hanya senyum-senyum sambil menatap wajahnya. "Boleh, tapi ada satu syarat." Ujarnya padanya. Anindya sedikit ragu ingin bertanya apa syarat yang akan diberikan Raka padanya. Pria super usil itu membuatnya ragu-ragu untuk bertanya. Dia malah segera bangkit dari kursinya. "Nggak jadi deh, gue pulang saja." Ucap Anin segera, dia takut jika Raka tiba-tiba ingin melihat warna apa yang dia pakai hari ini. Tatapan mata Raka saat melakukan itu, dia tidak ingin melihatnya lagi. Anindya sedikit takut. "Tunggu! Kan gue belum ngomong apa syarat yang gue kasih ke elu!" Keluh Raka sambil memegangi pergelangan tangannya. Dia sampai lupa belum menghabiskan makanannya. Ya itu yang ingin dia katakan sebenarnya pada Anindya. Syaratnya adalah dia harus menunggunya untuk menyelesaikan acara makannya. Tapi Anindya terlanjur berpikir miring gara-gara kelakuan usilnya. "Apa?" Tanya Anindya seraya menoleh menatap wajah Raka. Manis sekali, rambut lurus panjangnya ikut tergerak saat gadis itu menoleh ke arahnya. Pemandangan luar biasa bagi Raka. Pria itu tersenyum melihatnya, dia tertegun menatap pada bibir merah Anindya. "Buruan Ka, ngomong!" Keluh Anindya kesal, karena selama itu Raka hanya menahan pergelangan tangannya tanpa mengucapkan satu kata pun padanya. "Tunggu gue selesaikan makan dulu ya?" Ujarnya sambil menarik piringnya, untuk menikmati makan malamnya. Anindya kembali duduk pada kursi di sebelah Raka. "Jadi lo belum makan? Sejak sore tadi?" Tanya Anindya sambil meletakkan dagunya di atas meja makan tersebut. Sambil menatap Raka yang sedang sibuk menikmati makanannya. "Iya, gue lupa. Pas di rumah elo malah ketiduran." Sahut pria itu sambil meneguk air dari dalam gelasnya. Kemudian segera berdiri menuju ruangan belajar. "Ayo ikut gue!" Ajak Raka karena Anin hanya duduk menunggunya di kursi ruang makan. "Kemana?" Tanyanya pada Raka. "Bantu gue nyari! Apalagi?" Sahut Raka sambil mendahuluinya masuk ke dalam ruangan belajar. Ruang tersebut lumayan luas, ada lampu meja. Dan ada beberapa bangku di dalam sana. Lebih mirip sebuah perpustakaan mini, rak besar berjajar rapi di tepi ruangan menempel pada dinding mengitari bangku-bangku belajar. Gadis itu melihat Raka sudah berdiri di ambang pintu untuk menunggunya masuk ke dalam ruangan tersebut. Anindya melangkah masuk perlahan-lahan, Raka segera menutup pintunya sambil menguncinya dari dalam. "Klek!" Anindya spontan menoleh saat mendengar kunci pintu diputar! Hanya lampu temaram remang-remang yang menyala di dalam ruangan besar tersebut. Melihat dindingnya Anindya tahu ruangan itu kedap suara! Sekalipun berteriak suaranya tidak akan terdengar dari luar, begitu juga sebaliknya. Raka melihat wajah pucat cantik di depannya, pria itu melangkah mendekat ke arahnya. Anindya mundur selangkah demi selangkah, karena Raka berjalan menuju padanya. "Duk!" Punggungnya sampai pada rak buku, tidak bisa mundur lagi. Raka sudah berdiri di depan matanya. Dia tersenyum manis sekali, menatap wajah ketakutan dan bibir gemetar di depannya. Perlahan Raka mendekatkan wajahnya, Anindya menoleh ke samping menghindari hembusan nafasnya. "Raka, jangan!" Tahan Anindya saat merasakan bibir Raka hampir menyentuh bibirnya sendiri. "Clak!" Raka menekan tombol lampu utama dalam ruangan tersebut, mendadak suasana temaram menjadi terang benderang. Anindya masih mencengkeram kaos Raka yang membalut d**a sahabatnya itu. Dia menatap Raka sedang tertawa kecil karena melihat wajah gugupnya. Cengkeraman tangan Anindya berubah menjadi pukulan-pukulan kecil pada dadanya. "Duk! Duk! Duk! Lo ngerjain gue mulu! Seneng banget ya bikin gue kesel!" Keluh Anindya padanya. "Lo mikir apaan sih Nin? Hahhahahaha!" Ujarnya sambil menarik diri dari depan Anindya. "Biasanya elu kan memang usil!" Keluh gadis itu dengan bibir bersungut-sungut. Lalu mengekornya kemana kaki Raka melangkah. Raka berhenti, di depan sebuah lemari. Pria itu membuka pintunya kemudian mencari sesuatu di dalam sana. Anindya menunggunya, gadis itu berdiri tepat di sebelahnya. "Mana sih?" Keluhnya sambil terus mencari tapi belum menemukan keberadaan kotak musik miliknya. "Nggak ada ya?" Tanya Anindya dengan wajah sedikit kecewa. Raka menoleh ke arah Anindya melihat bibir gadis itu cemberut. Dia sebenarnya punya banyak kotak musik. Ada lima lagi di dalam kamarnya, dan satu di ruang belajar tersebut. Dia ragu ingin mengatakan kalau juga ada di dalam kamarnya. Tapi melihat wajah kecewa Anindya dia segera mengatakannya. "Selain di sini masih ada. Tapi di dalam kamar gue, itupun juga harus nyari dulu. Soalnya gue jarang makainya, jadi nggak tentu naruhnya di mana?" "Iya gue bantu nyari." Sahut Anindya tanpa pikir panjang. Dia malah mendahuluinya keluar dari dalam ruangan tersebut menuju ke kamar tetangganya itu. Dia sudah tahu dimana kamar Raka berada. "Krataak.." Anindya membuka pintu kamarnya, Raka berdiri di belakang punggungnya hampir menempel pada tubuh Anindya di depannya. "Kenapa?" Tanya Raka sambil menundukkan wajahnya tepat hampir mencium pipinya karena Anindya belum masuk ke dalam kamarnya, masih tetap berdiri di ambang pintu menoleh ke belakang menatap wajah Raka. "Jangan kunci ya pintunya?" Ucap gadis itu perlahan. "Nanti kalau kakakku masuk bagaimana?" Tanya Raka dengan nada berbisik, seolah-olah mereka hendak melakukan perbuatan melanggar norma yang berlaku! "Ah!" Anindya mencubit paha Raka karena kesal. Raka tersenyum sambil mendorong punggungnya masuk ke dalam kamar tersebut. Dia tidak melihat Aldi di sana, adiknya ternyata sudah balik ke dalam kamarnya sendiri. "Klek!" Dikunci lagi pintunya. Anindya hampir melompat karena terkejut. "Kok dikunci sih?" Tanya Anindya sambil memegangi dadanya sendiri. "Nanti kak Arlina buka, gue nggak mau dia tahu elo di sini. Sudah pukul sebelas malam soalnya." Ucapnya dengan bisikan lirih, agar Anindya tidak mengeraskan suara. Gadis itu mengangguk cepat, lalu duduk di tepi tempat tidur Raka. Raka tersenyum sambil mulai mencari pada lemarinya. Dia melihat Anindya mulai terkantuk-kantuk sambil terus menguap. "Lo tidur saja biar gue yang nyari." Ujar Raka pada Anindya. Dua puluh menit kemudian, Raka menemukannya. Pria itu tersenyum menatap Anindya sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Dia sendiri juga mulai menguap karena kantuk mulai menyerang. Raka naik ke atas tempat tidurnya, tidur bersebelahan dengan Anindya. Dia hanya melihat wajah Anindya, kemudian tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN