Part 9

1127 Kata
Setelah mandi, Anindya membuka buku-buku tugasnya di dalam kamarnya. Dia sengaja menyumbat lubang telinganya dengan bulatan tissue, karena ledakan-ledakan dari kamar di ruang tengah tak kunjung berhenti. Berhenti cuma waktu makan malam, lalu kembali berisik. Rini memilih pergi ke rumah temannya, nongkrong di kafe karena gadis itu sudah genius dari lahir. Beda dengan Anindya yang polos dan sedikit lemot. Dia harus kerja keras siang malam demi diterima di sekolah pilihannya. "Tok! Tok! Tok!" Anindya tidak bisa mendengar ketika jendela kamarnya diketuk dari luar. Raka geram sekali, dia merasa Anindya mengabaikan keberadaan dirinya dengan sengaja. Pria itu kemudian memilih lewat pintu samping, dia berpapasan dengan Kartika. Ibu Anindya ingin pergi ke kamar mandi. Raka terpaksa menelan ludahnya ketika melihat daster tipis menerawang membalut tubuh ibu-ibu tersebut. Seluruh garis tubuh Kartika terlihat sangat jelas, aneka gunung dan hutan liar beserta teman-temannya nampak jelas di hadapan pemuda yang baru menginjak usia sembilan belas tahun tersebut. "Loh Raka?" Tanya Kartika padanya dengan nada terkejut. Karena dia melihat anak muda itu masuk lewat dapur. "Ah, saya mau mengerjakan tugas matematika dengan Anin Bu." Jelasnya pada Kartika. Ibu Anindya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Iya Anin sedang belajar di kamarnya, kamu langsung saja ke sana ya?" Tunjuknya pada Raka. Kartika sama sekali tidak berpikir kalau Raka menyukai putrinya, karena sejak taman kanak-kanak mereka kerap bermain bersama, serta bersekolah di tempat yang sama. Raka buru-buru menuju kamar Anindya, sampai di depan pintu kamarnya dia tidak mengetuknya tapi langsung menerobos masuk ke dalam kamar. "Lo, Lo, Lo!" Anindya nampak gugup sekali melihat Raka sudah bersandar pada daun pintu di dalam kamarnya. "Mau ngerjain tugas! Nih!" Meletakkan bukunya di meja belajar Anindya. Gadis itu merasa tertolong, dia segera membuka buku tulis milik Raka tersebut. Anindya menarik kertas tissue pada lubang telinganya. "Pantas saja nggak dengar! Lo sumbat telinga begitu! Bruuukkk!" Gerutu Raka, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur Anindya. "Uukkhhhh.. emmmhhh.. aaaaawhhh.." Kembali terdengar suara penuh misteri, membuat bulu tengkuk pemuda itu meremang. "Ini sih bukan boy boy lagi, tapi live movie!" Keluh Raka Sandi sambil mengunyah gigi kosong beranjak dari atas tempat tidurnya. Anindya meremas batang pensilnya, tubuhnya kembali menggigil gara-gara mendengar nada sumbang di ruangan yang tak jauh dari kamarnya. "Lu sakit Nin?" Raka melihat keringat Anindya merembes membasahi pelipisnya, gadis itu mematung tidak menulis tidak menghapus. "Nggak, Ka, tapi gue merasa aneh setiap mendengar suara itu." Anindya mengusap keningnya yang basah dengan keringat. "Jangan-jangan dia anu!" Bisik Raka pada dirinya sendiri, dia tahu efek samping dari mendengar suara tersebut meskipun dirinya gak hobi nonton film biru. "Tutup telingamu." Raka menutup telinga gadis itu dengan kedua telapak tangannya. Anindya mendongakkan kepalanya, tapi terlambat gadis itu sepertinya sudah tidak bisa menahan diri lagi. Dia meremas-remas kedua bahu Raka sambil memejamkan matanya. "Nin, jangan!" Raka menahan kepala gadis itu, karena Anindya ingin melumat bibirnya. Suara di ruangan sebelah masih terdengar, bahkan semakin menggila! Telapak tangan Raka tidak bisa menutup seluruh pendengaran gadis di depannya. Anindya berdiri dari kursinya, berusaha mendapatkan Raka. "Nin, sadar Nin!" Raka berusaha menahan tubuh Anindya, agar tidak menghambur ke dalam pelukannya. Tapi nahas sekali, gadis itu tak mau dengar. Dengan segala macam cara dia berusaha meraih kepala Raka demi mendapatkan bibirnya. Raka terhuyung ke belakang hingga jatuh ke atas tempat tidur Anindya. Gadis itu segera menaiki tubuhnya, melumat habis bibir Raka. Raka gelagapan menerima ciuman ganas Anindya. Gadis lugu itu tiba-tiba berubah menjadi liar. Raka merasakan ciuman lembut pada bibirnya, suhu tubuh pria itu mulai merespon. "Raka..." Panggil Anindya lirih, gadis itu sudah tidak memiliki tenaga lagi. Jemari Raka masih tinggal di sisi bawah tubuhnya mengusapnya dengan lembut. Gadis itu menjejakkan kakinya di atas tempat tidurnya, suara nada cinta terdengar jelas dari area tersebut. Perlahan tapi pasti, dan benar-benar terjadi. Rasa sakit dan nyeri bercampur menjadi satu! Tubuh keduanya mengejang hebat. Segalanya Raka tumpahkan di luar garis! Memilih jalur aman! Untuk menghindari kecelakaan arus lalu lintas! "Hah! Hah! Hah!' Suara nafas keduanya beradu seusai acara pentas selama kurang lebih satu jam. "Maafkan gue Ka! Gue yang maksa-maksa elu!" Anindya menempelkan bibirnya pada telinga Raka tanpa rasa canggung lagi. "Kita pacaran saja ya mulai sekarang Nin? Gue pengen kita sampai nikah nanti tetap sama-sama." Bisik Raka, seperti sedang mengikat sebuah janji pasti. Entah itu tipu muslihat atau bukan Anindya juga tidak perduli lagi. "Iya Ka.. " Anindya mengusap pipi kanan Raka dengan telapak tangan kanannya. Gadis itu masih bermanja-manja di balik selimut dengan tetangganya tersebut. "Lu kerjain tugasnya, gue pulang dulu ya? Besok bukunya lu bawa ke sekolah saja." Ucapnya sambil memakai seluruh pakaiannya kembali. "Sekarang?" Tanya Anindya sambil beranjak dari atas tempat tidurnya. Dia masih merasakan nyeri pada bagian bawah tubuhnya. "Masih sakit?" Tanya Raka ketika melihat Anindya menggigit bibir tipisnya sambil memungut pakaiannya sendiri. "Iya, nyeri." Ucapnya sambil menundukkan kepalanya, Raka meraihnya ke dalam pelukannya. Pria itu mengusap punggungnya. Anindya menerima lumatan bibir Raka. Dia tidak mendorong tubuh sahabatnya itu menjauh. Malah dia kini membalasnya dengan hangat. "Raka! Halo! Gue sudah selesai nih!" Anindya berusaha membangunkan sahabatnya tersebut. Tapi tak bergeming sama sekali. Anindya menyentuh bahunya, dengan sedikit takut dia mengguncangkan bahunya. "Raka!" Teriaknya pada daun telinganya. "Astaga! Kaget gue!" Pekik Raka sambil beranjak bangun dari atas tempat tidur tersebut. Dia merasakan ada yang tidak beres dengan celana pendek yang dia kenakan. "Rak? Lo ngompol di atas kasur gue!" Hardik Anindya sambil mendelik menatap wajah Raka. "Sorry Nin, gue kebelet! Gue balik dulu!" Ucapnya sambil buru-buru keluar dari dalam kamarnya melalui jendela kamar gadis itu. "Huuufftttt! Untung cuma mimpi! Lagian mana mungkin sih Anindya seliar itu! Uukkhhhh!" Ujarnya sambil bernafas lega. Raka tersenyum sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia masih mengingat jelas bagaimana mimpinya barusan. Anindya terus-menerus merajuk di dalam pelukannya. Jika itu terjadi maka bagaikan mendapatkan hadiah besar yang tak pernah dia sangka-sangka. Gadis itu selalu menghardiknya dan melontarkan kata-kata kasar padanya. Tapi Raka tak pernah merasa jengah berada di sekitarnya. Baginya itu adalah lagu wajib di hari Senin yang sudah biasa dia dengar tanpa harus protes. "Anindya, hooooooohooo!" Raka bernyanyi Riang sambil membuka pintu samping rumahnya. Dia sudah melupakan celananya yang basah kuyup gara-gara mimpi barusan. Arlina menatap tajam pada bagian bawah tubuh adiknya. "Raka! Kamu habis dari mana? Kok basah?!" Tanya kakak Raka sambil berkacak pinggang. "Ah tadi ketumpah-an bubur! Bu Kartika kasih bubur kacang, tumpah tadi." Mencoba berkilah, buru-buru masuk ke dalam kamarnya. "Hampir saja!" Berucap seraya menghela nafas panjang. "Apanya yang hampir-hampir?" Sela Aldi, si bungsu sudah berbaring tengkurap di atas tempat tidurnya sambil bermain game. "Bukan apa-apa!" Seru Raka. "Buuk!" Melemparkan bantal ke atas kepala adiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN