Anindya mengusap air matanya, gadis itu membawa ember berisi air penuh lumpur ke samping rumahnya.
"Sssstttt! Sssttttttt!" Raka memanggilnya dari sisi pagar, dia masih belum selesai memberikan makan pada ikannya. Raka tersenyum saat Anindya menoleh ke arahnya. Tapi hanya dua detik, tiga detik selanjutnya gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sambil mengunyah gigi kosong mengangkat ember berisi air bersih ke dalam rumah untuk melanjutkan aktivitasnya mengepel lantai rumah.
"Engghhhh," Lenguhan dari balik daun pintu kamar ibu dan ayah tirinya kembali terdengar, Rini lagi-lagi asyik menyumbat kedua lubang telinganya dengan earphone sambil berjingkrak di ruang tengah mengikuti irama lagu pada ponselnya, dia sengaja melakukan itu untuk mengejek adik tirinya.
"Ahhhh.. pelan-pelan mas... Aahhh.. kraataakkk.. kriuuuttt.."
Deritan ranjang bersama rintihan ibunya lagi-lagi menyapa lubang telinganya. "Sialan, gue risih banget denger ini saban hari." Keluh Anindya seraya meremas kain pelnya. Belum lagi nada daging basah berbenturan dengan penuh hasrat menyapa memenuhi ruangan hening tersebut.
"Bisa gila gue!" Keluh Anindya lagi, gadis itu segera membawa ember-nya ke samping rumah, dia menuang air kotor di atas rerumputan kemudian mencuci ember-nya.
"Ssstttt!" Anindya menoleh ke arah Aldi, anak bungsu dari tiga bersaudara. Adik Raka.
"Ada apa Al?" Tanya Anindya sambil mendekat ke sisi pagar dimana Aldi sedang berjinjit demi memanggilnya.
Anindya terkejut, karena Raka tiba-tiba berdiri menekan kepala Aldi ke bawah, "cup" bibir pria itu hinggap pada bibirnya.
"Gue benci banget sama elo." Bisik Raka tepat setelah melepaskan ciumannya. Kedua nafas dua sejoli tersebut masih saling beradu di antara pagar pembatas pekarangan rumah.
Anindya merasakan sapuan hangat nafas Raka pada wajahnya. Dan ketika pria itu mendaratkan kembali bibirnya Anindya malah memejamkan kedua matanya, dia tidak peduli lagi ketika Raka bakal bilang benci lagi sama dia.
Gadis itu sudah menikmati rasa nyaman, karena terbiasa menerima pelukan dan ciuman lembut bibir tetangganya itu.
"Raka.. sudah.." Bisiknya lirih, karena menerima ciuman bibir Raka bertubi-tubi, lebih dari sepuluh kali. Raka menciumnya seraya sibuk membenamkan kepala adiknya ke bawah agar tidak mencuri pandang ke arah mereka berdua.
"Jangan tutup jendela malam ini..." Bisik Raka sambil tersenyum, pria itu melihat wajah Anindya merona merah. Dia tahu Anindya telah menerima semua perasaan yang dia sembunyikan dalam hatinya.
"Kalau banyak nyamuk, ya harus ditutup!" Ucap Anindya dengan nada kaku, sambil berlalu dari hadapannya.
"Kau! Kau! Uuukkhhhk!" Keluh Raka Sandi seraya mengepalkan kedua tangannya dengan gemas. Hampir saja dia berniat melompati pagar rumah tersebut, dia ingin menghambur ke arah Anindya, melumat habis bibir mungil milik gadis itu. Untungnya Aldi menarik ujung kaosnya dan membuat pria muda itu tersadar, "Mana duitnya?" Aldi meringis sambil menadahkan tangan kanannya.
"Nih!" Meletakkan selembar uang kertas dua puluh ribuan di atas tangan adiknya.
"Katanya lima puluh? Kok cuma dua puluh." Keluh Aldi sambil mengekor kakaknya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.
"Iya, tadi juga cuma dapat dua puluh! Jadi uangnya juga cuma kasih dua puluh!" Sahut Raka seraya menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah. Pria itu menatap ke luar jendela, pikirnya akan melihat wajah manis Anindya di samping rumah. Jam segini biasanya gadis itu akan mengangkat jemuran, atau sibuk menyapu halaman depan.
"Apanya yang dua puluh, lima puluh?" Tanya Arlina menyela mereka berdua, dua pria itu sedang melihat ke luar kaca jendela. Dia pun ikut serta melihat ke sana karena penasaran dengan kedua adiknya.
"Ah, kalian jatuh cinta sama tetangga kita itu?" Tanya Arlina sambil tersenyum menatap wajah konyol kedua adiknya.
"Nggaklah!" Sahut Aldi, anak kecil itu segera beralih memainkan game pada ponselnya.
"Dia musuh bebuyutan gue!" Sela Raka seraya bangkit dari kursinya menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
"Ngaku doang, apa susahnya sih!" Tandas Arlina sambil membawa cangkir kopinya menuju ke beranda depan.
Tiga bersaudara itu tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Karena harus mengurus perusahaan kedua orang tuanya tinggal di Amerika.
Raka masih mengingat jelas bagaimana Anindya dengan pasrah menikmati setiap kecupan lembut bibirnya, dia melihat tubuh Anindya sedikit menggigil, namun tak mundur menjauh ketika ia menciumnya.
"Ini sebenarnya lampu hijau? Atau lampu kuning sih?" Keluh Raka seraya mengaduk rambutnya dengan busa shampoo. Tubuh atletisnya basah dengan air shower, dagunya yang runcing serta sorot matanya yang tajam mempermanis sosok pria berusia sembilan belas tahun tersebut.
"Anindya..." Panggilnya seraya mengusap kaca satu arah pada dinding kamarnya. Dia melihat rambut panjang Anindya melambai-lambai karena hembusan angin sore itu. Gadis itu sedang menyiram bunga di halaman depan rumahnya. Bibir ranum merah alami terlihat manis sekali. Kulitnya yang putih bersih begitu kontras dengan kaos warna kuning terang lengan pendek berstiker kelinci besar di bagian depan, kaos sepanjang bawah lutut.
"Uhhhh! Cantik sekali!" Raka menyentuh pipi gadis itu melalui kaca di depannya.
"Masih mau ngeles bilang nggak suka? Sampai lupa belum pakai baju terus saja usap-usap kaca itu! Emang si Anin bakalan merasakannya? Oh Raka gila.. Raka tidak waras! Hahhahahaha!" Seloroh Arlina ketika berlalu membawa cangkir kosong menuju ke dapur, dia terhenti di depan kamar adiknya karena melihat Raka sedang asik meraba-raba kaca pada dinding jendela kamarnya sambil bergumam gemas. Arlina terpingkal-pingkal melihat tingkah konyol adiknya tersebut.
"Braakkk!" Raka segera menutup pintu kamarnya. Wajahnya merah padam karena menahan malu.
"Kok bisa sih gue sampai lupa menutup pintu!" Keluhnya sambil memakai kaosnya. Matanya masih mengawasi keluar kaca jendela, wajah Anindya benar-benar selalu terlihat sempurna di mata Raka Sandi.
"Anindya! Cuci piring!" Teriak Rini sambil berkacak pinggang berdiri di beranda rumah. Rini hanya memakai tang top serta hotpants. Tapi Raka sama sekali tidak tertarik melihat penampilan gadis itu, meskipun Rini lebih menggairahkan ketika pria memandang.
"Merusak mata! Bruuukkk!" Keluh Raka seraya menutup matanya, sambil menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Pria itu tertidur lelap.
Anindya sibuk mencuci piring, dia melihat ibunya hanya mengenakan daster tipis menuju ke kamar mandi. Langkah kaki ibunya sedikit terseok-seok.
"Ibu sakit?" Tanya Anindya karena tidak mengerti dengan situasi yang sebenarnya.
"Kebanyakan itu! Dasar bego!" Sahut Rini seraya menuang air minum pada gelasnya. Anindya menoleh ke arah kakak tirinya. Sedang Kartika segera berlalu masuk ke kamar kembali. Biasanya kalau ayah tirinya sedang di rumah, Kartika sepanjang hari akan menghabiskan waktunya di dalam kamar.
"Kebanyakan gini! Hahahaha!" Ujar Rini sambil menungging, tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Anindya memerah karena malu.
"Lo umur berapa sih? Atau kelewat bego nggak ngerti begituan?" Tanya Rini pada adik tirinya seraya menggelengkan kepalanya.
"Em, kakak sudah makan?" Tanya Anindya pada Rini, untuk mengalihkan topik pembicaraan. Anindya membawa seember piring bersih ke ruang makan, untuk menaruhnya kembali. Anindya menatanya pada rak yang ada di sana.
"Aahhhhhhhh, emmhhhh.. akkhhhhh.. akkhh.. emmhh.."
"Apa-apaan! Sial! Headset gue! Sraakkk!" Rini berlari masuk ke dalam kamarnya. Tinggal Anindya mengerjapkan matanya berkali-kali mendengar nada yang sama sejak sepulang dari sekolah.
"Kayaknya besok mesti minjam kotak musiknya Raka!" Gumam Anindya seraya mengunyah kerupuk dari dalam toples, sambil mengibaskan tangannya di depan wajahnya sendiri, tiba-tiba dia merasakan udara menjadi panas di sekitarnya. Dia pernah melihat pemandangan dari asal suara itu saat usianya masih di bawah dua belas tahun, dia dan Rini melihat semuanya!