Part 7

1225 Kata
"Tunggu! Elo benar-benar nggak ngempesin ban sepeda gue semalam?" Tanya Anin pada Raka sebelum keluar dari dalam mobilnya. "Tentu saja bukan! Untuk apa gue mengempeskan ban sepeda nenek sihir seperti lo ini?!" Sahut Raka seraya merapikan rambutnya, bercermin pada kaca mobilnya. Anindya membatalkan niatnya untuk turun, tapi malah beringsut mendekat ke arahnya. Anindya memegang bahu Raka, kemudian berkata, "Agar gue naik ke dalam mobil lo! Apa lagi?" Tanya Anindya dengan seringai menakutkan. "Apa lo pikir gue tidak waras!" Tanya Raka dengan nada tinggi sambil menoleh menatap dua bola mata bening milik Anindya. Keduanya lagi-lagi bertemu pandang. Melihat wajah marah Raka, Anindya tahu bukan pria itu yang melakukannya. Dia lupa apa yang akan terjadi ketika melihat wajah marah pria di sebelahnya itu. "Bruuuukkk! akkkhh!" Raka mendorong tubuh Anindya ke belakang. "Apa-apaan ini! Raka! Tidaaakkkkk!" Teriakannya tidak di pedulikan oleh Raka. Lima menit kemudian Raka keluar dari dalam mobilnya. "Warna merah memang serasi untuk kulit putihmu, tapi pakailah warna merah jambu lain kali agar gue nggak mikir kalau elo hanya memiliki satu pasang pakaian dalam! Habis cuci kering pakai lagi! Braaakk!" Membanting pintu mobilnya sambil tersenyum penuh kepuasan. Raka membiarkan gadis itu menggigil dengan wajah ketakutan. "Raka sialan! Raka b******k! Pria gila! m***m! Jelek! Menyebalkan!" Umpat Anindya sambil memakai seluruh pakaiannya kembali. Dia pikir Raka sudah pergi, dia tidak tahu pria itu masih berjongkok di sisi mobil untuk membuka tali sepatunya. Raka mendengar gadis itu terus mengumpat di dalam mobilnya. Dia masih berjaga agar tidak ada siapapun yang memeriksa mobilnya sementara Anindya masih sibuk memakai pakaian seragamnya kembali. "Krak! Apa lo bilang? Coba katakan lagi?" Membuka pintu mobilnya kembali sambil melompat masuk. Anindya masih mengancingkan bajunya, dia melotot melihat Raka kembali masuk ke dalam mobil. "Aku tidak mengumpat! Sungguh! Mung-mungkin kamu salah dengar!" Ujarnya gugup karena Raka menggenggam erat kedua tangannya, tiga kancing atas bajunya belum terkancing. Raka melotot melihat gundukan mulus milik gadis itu. Dengan tiga kancing terbuka, masih berseragam, muncul sensasi aneh dalam benaknya. "Raka! Tidaaakkkkk!" Teriak Anindya seraya mendorong kepalanya agar menjauh dari atas dadanya. Pria itu memeluknya erat sekali, sambil menempelkan pipinya pada d**a Anindya. "Sebentar saja Anin." Bisiknya sambil menggesek-gesekkan wajahnya pada d**a gadis itu. "Raka! Elo tidak normal! Lepaskan gue!" "Gue sedang berjuang antara hidup dan mati, jadi jangan banyak bergerak!" Ujarnya sambil mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Anindya. "Wajah lo merah sekali, lo demam?" Tanya Anindya sambil menyentuh kening Raka. Pria itu menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan darinya. Lalu membenamkan wajahnya kembali pada d**a Anindya. "Gue sakit Anindya, badan gue panas." Merengek manja, sambil memeluk pinggangnya erat-erat. "Apa ini, apakah aku tertipu dengan wajah polosnya? Ini tidak benar! Aku harus berusaha melepaskan diri dari pria penuh omong kosong ini!" Bisik Anindya dalam hatinya. "Raka, gue harus pulang, gue tidak ingin Rini mencium aroma parfum elo melekat pada seluruh tubuh gue Raka." Ujarnya sambil mendorong wajah Raka agar menjauh. Lalu secepat mungkin mengancingkan bajunya. "Kakak tiri elo? Parfum gue?" Raka terkejut mendengar ucapan Anindya barusan. "Dia selalu berpikir gue mengambil elo dari tangannya. Bukankah itu mustahil? Kita selalu bertengkar sepanjang waktu! Dan kita tidak mungkin menjadi pasangan kekasih! Braak!" Jelasnya lagi, lalu memakai tasnya kemudian keluar dari dalam mobil Raka. Anindya mengambil sepedanya yang masih tergeletak di tepi jalan. Dituntunnya sepeda tersebut menuju ke rumahnya. Raka keluar dari dalam mobilnya, pria itu bersandar di samping mobilnya menatap Anindya sedang menuntun sepeda di samping rumah. "Nin! Anin!" Panggil Raka sambil nyengir di sisi pagar yang berada di antara dua rumah tersebut. "Apa lagi???!" Anindya melotot kesal karena tetangganya itu terus iseng sepanjang waktu. "Nanti malam belajar bersama lagi! Awas jika elo kunci jendela! Gue bakalan dobrak!" Ujarnya sambil menunjuk ke arah dua bola mata Anindya. Gadis itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri, sambil berlalu dari hadapannya. Raka tersenyum puas sambil bersiul-siul santai masuk ke dalam rumah. "Kamu ini kapan selesai gangguin tetangga kita!" Ujar Arlina kakak Raka. "Enggak gangguin kok, cuma Anindya nebeng tadi pagi ke sekolahan. Ban sepedanya kempes katanya." Sahut Raka seraya meneguk segelas air dari dalam kulkas. Arlina beranjak dari kursi meja makan, berdiri di samping kulkas. "Muka licikmu ini menyatakan kalau kamulah yang telah membuat ban sepeda milik Anindya kempes! Dengan menghalalkan segala cara, supaya bisa berada satu mobil dengan Anindya! Ayo ngaku?!" Arlina menyingsingkan lengan bajunya, kemudian menarik daun telinga adiknya tersebut. "Aaaaaaa! Ampun! Aduuuhhh!" Raka meringis kesakitan memegangi tangan kakaknya. "Ayo ngaku!" Arlina masih belum mau melepaskan tangannya pada daun telinga Raka. "Bukan kok! Serius! Bukan!" Ujarnya tetap pada pendiriannya kalau dia tidak menyentuh sepeda Anindya. Arlina segera melepaskan daun telinga Raka, "Lalu menurutmu siapa?" Tanyanya pada Raka. Pria itu masih mengusap daun telinganya yang telah memerah akibat ulah Arlina. Dengan bibir cemberut ia menjawab. "Mungkin Rini." "Kakak tirinya?" Tanya Arlina tampak terkejut dengan jawaban Raka. "Iya, aku juga pernah dengar kak Anin nangis di bangku belakang rumah. Lengannya lebam, sekitar dua Minggu lalu. Kayaknya itu ulah kak Rini." Sahut Aldi sambil berlalu tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar ponselnya. "Kasihan banget ya dia? Sejak kecil selalu kena damprat saudara tirinya." Sahut Arlina sambil mencermati wajah Raka. Dengan wajah tidak peduli Raka segera berlari menuju ke kamarnya lalu menutup pintu. "Raka! Dasar! Sulit amat ngaku kalau sebenarnya kamu juga khawatir! Hahahaha." Ejek Arlina pada adiknya tersebut. Raka bersandar pada daun pintu kamarnya, pria itu masih ingat saat Rini datang ke rumahnya waktu itu tidak ada siapapun di sana. Rini mengenakan pakaian Anindya. Saat itu Raka sedang terlelap di dalam kamarnya. Rini naik ke atas tempat tidurnya, Raka pikir itu adalah Anindya karena ia sangat ngantuk sekali. Saat ia bangun dia terkejut, Rini dengan seribu cara berusaha untuk merayunya agar mau melakukan hubungan lebih jauh dari sekedar teman. Raka marah sekali ia segera mendorong tubuh Rini keluar dari dalam rumahnya kemudian mengunci pintunya. Dia masih ingat jelas bagaimana gadis itu mengancamnya, akan membuat Anindya menderita seumur hidupnya jika ia sampai ketahuan membina hubungan cinta dengan adik tirinya itu. Sampai saat ini Raka masih menahan perasaannya pada Anindya, karena dia tidak ingin melihat Anindya lebih menderita lagi. Dia tahu karena dialah Rini sangat membenci gadis itu. Si sisi lain.. Anindya sedang mengepel lantai sepulang dari sekolah. Rini dengan seenaknya melangkah mondar-mandir di depannya membuat Anindya tak bisa segera menyelesaikan pekerjaannya. "Lo nggak bisa ngepel ya? Nih masih kotor! Itu juga bersihin yang bener!" Dengan senyum mengejek menunjuk-nunjuk lantai yang masih kotor bekas jejak kakinya. Anindya hanya bisa menghela nafas panjang, dia melihat lantai bekas kaki Rini. Kakak tirinya itu sengaja mengotori kakinya sendiri dengan lumpur untuk mengganggunya. "Kenapa tarik nafas panjang??! Lo nggak terima gue suruh ngepel??!" Rini dengan kejam menarik rambut panjang Anindya. "Akkhhh.. enggak kak! Anin nggak pernah mikir begitu! Sungguh! Ampun kak, lepasin sakit! Bruuuuk!" Rini mendorong tubuh Anindya hingga jatuh tersungkur di bawah kakinya. "Awas Lo! Gue tahu lo pagi ini nebeng mobil Raka! Gue nyuruh lo jalan kaki ke sekolah! Bukan malah nebeng mobil Raka!!!" Teriak Rini kencang sekali hingga sampai di telinga Raka, pria itu sedang memberikan makanan pada ikan di kolam depan rumahnya. "Iya kak, besok Anin jalan kaki." Ujar gadis itu sambil mengusap air matanya yang terus meleleh membasahi kedua pipinya. Sedih sekali, sakit sekali hatinya karena ternyata Rini yang membuat kempes ban sepeda miliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN