Beberapa jam kemudian Nadine sudah terlihat kembali ke markas kepolisian bersama agen polisi lainnya. Di sana dia mulai melakukan pemindaian pada barang-barang yang ditemukan oleh rekannya di tempat kejadian..
"Peluru ini pastilah milik seseorang yang juga pelaku atau residivis di kota ini." Nadine memegang selongsong peluru yang tadi ditemukannya di lokasi.
Ia mengambil alat pemindai di sana untuk memindai barang bukti tersebut. Muncul pada monitor jenis revolver yang cocok dengan peluru tersebut.
Ada tiga jenis revolver yang muncul. CH-43, CH-45 dan CH-57. Bisa dipastikan itu bukan senjata api agen kepolisian. "Lalu ini milik siapa?"
Nadine membuka sumber data kepemilikan senjata api. Di sana sudah terdaftar siapa saja yang menggunakan senjata api berikut nomor seri tersebut.
CH-43 pada data merupakan milik dari seorang pria bernama Arthur Swart, CH-45 merupakan milik dari seorang pria bernama King Jouet, dan CH-57 merupakan milik dari Charles Benedict.
"Arthur Swart adalah seorang tahanan dengan nomor tahanan 2555 atas penuduhan kasus malpraktik. Tidak mungkin dia pelakunya."
Sedangkan King Jouet adalah pengedar narkoba, dan Charles Benedict adalah spesialis perakitan senjata.
"Kemungkinan besar selongsong peluru ini adalah milik Charles Benedict, meski dia sudah bebas dari tahanan lima tahun yang lalu. Tapi itu tidak menutup kemungkinan dia beraksi lagi, bukan?"
Nadine kemudian fokus mencari detail informasi mengenai Charles Benedict. Sebelum bergerak dia harus mengantongi semua informasi lengkap pria tersebut. Tak boleh ada satu pun yang terlewat.
Tim lainnya memeriksa rekaman CCTV untuk memperkirakan pelaku yang mungkin saja terekam.
"Lihat ini!" Seorang agen polisi menunjuk sosok pria berpakaian serba hitam di balik keramaian. "Apa mungkin dia? Gerak-geriknya sangat mencurigakan." Agen polisi tadi kemudian memperbesar rekaman sembari membuka bank data warga Bordeaux.
"Gambarnya pecah karena lokasi kamera ini jauh dari titik kejadian, siapa sosok ini tak bisa dibaca," keluh seorang agen polisi menghela napas berat setelah melihat rekaman.
"Apa ada rekaman lainnya?"
"Hanya ini rekaman yang selamat dari ledakan bom." Raut mukanya seketika nampak murung. Petunjuk yang diharapkan akan mengantarnya pada pelaku sebenarnya ternyata stuck.
Kebetulan saat itu Nadine datang sembari membawa berkas tersangka pemilik revolver. Dia melihat agen polisi lainnya nampak frustasi. "Apa ada masalah?"
"Ini, Inspektur Nadine. Kami menemukan petunjuk pelaku tersangka utama peledakan, sayangnya rekaman ini kurang jelas." Seorang agen polisi menjelaskan.
"Boleh aku melihatnya?"
"Tentu saja, silakan Inspektur Nadine," balas Sersan Eve yang juga ada di sana.
Nadine memutar ulang rekaman. Dia tidak memperbesar rekaman itu, namun terus mengulanginya hingga tiga kali.
"Ini ... pria ini membawa revolver tipe CH-57." Nadine menunjuk saku di paha kanan pria itu.
Mudah saja bagi Nadine mengetahui jenis senjata yang dibawa oleh pria tersebut meskipun rekamannya tidak jelas. Dia hafal semua tipe senjata api. Malahan, dia juga bisa merakit senjata api sendiri.
"Apa Anda yakin Insperktur?" tegas Sersan Eve.
"Coba lihat ini." Nadine menunjukkan foto Charles Benedict pada agen polisi lainnya. "Dan ini revolver miliknya." Ia jika menunjukkan foto sudah tapi milik pria tersebut.
Tak hanya itu, Nadine juga meminta izin untuk melihat bank dara warga Bordeaux lalu setelah menemukan data Charles Benedict lengkap beserta fotonya, dia lalu membalik foto tersebut hingga memperlihatkan bagian punggung. Untuk meyakinkan para agen polisi lainnya dia memperkecil foto.
"Apakah kalian bisa melihat persamaannya?"
Para agen polisi yang ada di sana melihatnya dengan seksama, "Astaga! Jika diperkecil memang penampilan mereka sama persis."
Tak hanya satu agen polisi yang berkata demikian, tapi empat belas agen polisi lainnya mempunyai pendapat yang sama.
"Inspektur Nadine, Anda memang jeli sekali. Tak heran Anda ditugaskan kembali untuk membantu. Sepertinya kepolisian sektor Bordeaux tidak mendatangkan orang yang salah." Sersan Eve memuji.
Tentu saja saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berbangga hati atau melambung karena sebuah pujian. Nyawa banyak orang sedang dipertaruhkan jika pelaku sebenarnya tidak berhasil ditangkap.
"Baiklah kita laporkan penemuan ini pada Komissioner Louis."
Salah satu agen polisi kemudian melaporkan hal tersebut pada atasan mereka yang langsung direspons dengan cepat pula.
Detik itu juga hanya dalam hitungan menit mereka kembali ditugaskan untuk menyelidiki sosok Charles Benedict, dikarenakan memang situasinya yang urgent sekali.
"Kita bergerak sekarang."
Hanya menghabiskan segelas air mineral saja setelahnya mereka kembali bertugas di tempat masing-masing untuk menyelidiki Charles Benedict sebelum melakukan penyergapan.
***
"Sungguh, ini adalah hari yang melelahkan." Nadine kembali dari misinya bersama agen polisi lainnya pukul 20.00 waktu setempat.
Dia masuk sendiri ke rumah dinas. Tak hanya lelah yang berhasil menguasai tubuhnya, tapi juga rasa lapar yang menjadi karena sering bertugas tanpa beristirahat.
"Apa ada yang bisa kumakan di sini?" Nadine melihat meja makan di ruang makan, kosong. Bahkan tak ada satu pun piring yang tersaji di sana.
Lalu ia melihat lemari pendingin es dan membukanya. Kosong. "Tak ada yang bisa kumakan."
Nadine mengembuskan napas kasar. Tadi dia juga tidak sempat membeli bahan makanan apapun karena misi mendadak.
"Semoga saja ada restoran atau tempat makan lainnya yang buka di daerah ini." Sebenarnya dia bisa saja menelepon, mungkin makanan akan datang untuknya. Tapi dia tak mau merepotkan. Secara kondisinya sedang Genting seperti ini. Pasti tipa bagian unit sibuk.
Nadine berganti baju dan menutupi tubuhnya dengan jaket tebal. Hawa di luar terasa menusuk tulang. Jika dia tak melindungi tubuhnya, mungkin dia akan tumpang sebelum misi berakhir.
Setelah beberapa meter berjalan, akhirnya Nadine menemukan sebuah restoran. Dari luar restoran itu nampak ramai. Hampir saja yang mengurungkan niatnya untuk masuk ke sana karena pasti antre lama. Jika saja dia masih punya kekuatan maka dia akan mencari tempat lain.
"Tolong coq au vin satu porsi." Nadine segera memesan ayam yang dimasak dengan anggur merah juga campuran beberapa sayuran pada waiter. Barulah dia mencari tempat duduk kosong.
Sejauh netranya memandang, kursi di sana tampak penuh. Untuk saat ini hanya ada satu kursi kosong. Yang terletak di pojok, di samping seorang pria yang terlihat punggungnya saja. "Semoga saja kursi itu kosong."
Nadine bergegas menuju ke arah kursi kosong tersebut.
"Permisi, bolehkah aku duduk di sini?"
"Silakan, kursi ini kosong. Bebas untuk siapa saja yang ingin duduk," timpal pria tersebut tanpa menoleh.
"Terima kasih." Nadine menarik kursi lalu duduk di samping pria yang belum dia ketahui siapa. Hingga pria itu menoleh padanya.
"Nona, kau ..." ujar pria itu tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Tuan Levon ... bagaimana bisa kita bertemu lagi di sini?" Tak hanya Levon yang tersentak kaget, namun Nadine juga tersentak kaget bertemu kembali dengan pria itu.