Sungguh, Levon benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lagi, mereka bertemu untuk kali ketiganya di hari yang sama. Apa dunia memang sesempit ini? Sampai kemanapun dia pergi, kembali bertemu dengan Nadine.
"Nona Nadine ..." ucapnya sekalian menyapa, mengingat nama yang wanita itu sebutkan sebelumnya. Senyum terulas hangat di wajah dingin Levon. "Kau baru makan jam segini?"
Nadine mengangguk lemah, dengan sisa-sisa tenaga yang ia kumpulkan. Sungguh rasa lapar sangat mengganggunya.
"Minumlah teh hangat ini dulu, Nona. Sepertinya kau membutuhkan ini." Levon menggeser segelas teh hangat yang sama sekali belum disentuhnya pada Nadine.
Di antara rasa haus yang mendera juga egonya, Nadine membiarkan Levon menggeser gelas tersebut pada mejanya.
"Minum saja selagi hangat, Nona. Aku bisa memesannya lagi." Levon menegaskan kembali.
"Terima kasih." Nadine tak sungkan lagi untuk mencicipi teh yang masih mengepul asapnya itu. Dia masih punya urat malu dan menjaga sikapnya, sehingga hanya minum seperempat bagian saja meskipun sebenarnya ingin segera menenggaknya sampai habis.
Rupanya dia memang kelaparan. Mungkin seharian ini dia belum makan. Tapi dia tetap menahannya di depanku.
Levon bisa tahu setelah ekor matanya membaca dengan cepat kondisi Nadine.
"Apa kau mau menyantap dulu pesananku ini?" tawar Levon beralih menatap quiche yang dia pesan.
Nadine memutar bola mata menatap menu tersebut, "Terima kasih, Tuan. Tapi menu yang kita pesan berbeda. Mungkin menu yang aku pesan tidaklah cocok denganmu.
Quiche adalah olahan seafood bercampur daging serta sayuran dan keju. Berbeda dengan menu yang di pesannya.
Levon sebenarnya merasa iba melihat seorang wanita sampai kelaparan begini. Namun karena ditolak, maka ia batalkan menggeser piring nya.
"Apakah kau menemukan saudaramu yang hilang?"
"Tidak." Terdengar embusan napas berat dari Nadine. "Aku masih berharap bisa menemukannya."
"Nona, aku sudah bilang padamu di awal. Sebaiknya kau relakan saja." Entah kenapa, kali ini tatap mata Levon nampak teduh.
"Terima kasih atas simpatimu padaku, Tuan."
Tak lama kemudian menu pesanan Nadine datang.
"Silakan, Nona." Waiter menyajikan coq au vin lengkap dengan s**u hangat yang dipesan Nadine.
Nadine mulai menyantap hidangan di depannya dengan pelan meskipun sebenarnya dia lapar dan ingin segera menghabiskan. Tidak mungkin baginya menunjukkan kalau dia sakit kelaparan di depan orang lain, bukan?
"Selamat menikmati, Nona." Melihat Nadine yang sudah menyantap makanannya maka Levon pun ikut menyantapnya pula.
Nadine hanya fokus pada menu di hadapannya. Sungguh, dia benar-benar lapar sampai-sampai tidak mengurus hal lainnya. Bahkan ia tidak tahu jika Levon beberapa kali sering mencuri pandang padanya. Atau membiarkannya saja padahal sebenarnya tahu?
Wanita ini ... dia kelihatan menderita sekali.
Levon memutar bola matanya kembali, sebelum Nadine menyadari perbuatannya.
Aku sampai tidak memperhatikan waktu, jam berapa sekarang?
Nadine memutar bola mata melirik arloji di tangan kanan. Rupanya waktu menunjukkan pukul 21.30 waktu setempat. Sungguh ia tak menyangka ternyata sudah duduk lama di sana. Padahal baru saja menyelesaikan makan.
Aku harus segera kembali. Besok, aku pasti bertugas kembali.
Nadine kemudian menoleh ke samping kiri menatap Levon. "Tuan, sepertinya Anda masih menikmati makanan. Tapi maaf, aku tak bisa duduk di sini lebih lama lagi. Aku harus kembali. Terima kasih sudah memberiku minum. Mungkin lain waktu aku akan membalasnya." Nadine beranjak dari tempat duduknya.
"Nona, apa kau yakin bisa kembali sendiri? Ini sudah malam. Di luar sana banyak orang jahat berkeliaran. Jika tidak keberatan maka aku akan mengantarmu. Tunggulah aku sebentar," tawar Levon.
Tak ada maksud lain dari pria itu selain hanya iba plus kasihan. Jujur saja, situasi di luar sana memang tidak aman, terlebih untuk seorang wanita dengan latar belakang yang nampak rapuh seperti Nadine.
"Tak perlu repot-repot, Tuan. Aku bisa pulang sendiri," tolak Nadine. Ia mengayun kaki setelah berpamitan pada Levon.
Baru satu meter melangkah, tubuh Nadine hilang keseimbangan. Dia kuasa menahan tubuhnya hingga luruh ke lantai.
"Astaga!" Levon memutar badan ketika mendengar suara sesuatu yang berat menghantam lantai. Begitu melihat Nadine yang terkulai, dia bangkit dari duduknya.
Segera saja ia mengangkat tubuh Nadine. Kebetulan sekali mobilnya terparkir tak jauh di depan sana.
"Buka pintu mobil, aku mau masuk," lontar Levon bicara ada seseorang melalui mikrofon yang ada pada indra pendengaran.
Dia kesulitan jika harus membopong sembari membuka pintu mobil. Lagi, dia ingin cepat, tak membuang waktu untuk menolong Nadine.
Tepat ketika telepon tiba di mobil Bugatti, pintu mobil sudah terbuka. Ada seorang pria mengenakan masker di dalam sana yang duduk di kursi kemudi.
Levon merebahkan Nadine di kursi belakang, lalu duduk di sampingnya.
"Jalankan mobilnya sekarang." Levon pemerintah pada software yang mengenakan pakaian gelap dan hanya nampak bagian mata saja.
Mobil mewah itu kemudian melaju setelahnya.
"Tuan, siapa yang Anda bawa? Apa tidak berbahaya membawa orang asing ke markas?" tanya sopir dari kursi depan tanpa menoleh ke belakang.
"Mau bagaimana lagi. Dia wanita malang dan putus asa patut dikasihani."
"Apa Tuan tidak khawatir jika ternyata wanita asing itu bukan wanita biasa, melainkan agen polisi yang menyamar?"
"Maksudmu pasukan khusus? Tidak ada rupa-rupa agen polisi khusus pada wanita ini. Dia hanya wanita putus asa yang kehilangan arah sekarang kematian saudara dalam peristiwa peledakan bom." Levon memaparkan panjang lebar.
Sopir di depan tak berani berkata lagi. Melihat tatapan tajam yang diarahkan oleh Levon ke arahnya, tatapan yang seperti sebab pelurunya siap melesat kapan saja menghujam dirinya, membuatnya urung bersi keras menolak membawa Nadine ke markas.
"Semua keluar dari markas sekarang. Kosongkan markas dalam waktu 10 menit. Juga rapikan markas. Jangan sampai ada satu senjata pun atau hal penting lainnya yang terlihat," titah Levon melalui mikrofon super mini di telinga.
Setelah terdengar balasan dari para anggotanya, Levon beralih menatap Nadine kembali. Wanita yang ia sandarkan pada pangkal pahanya itu masih terpejam matanya.
10 menit kemudian mereka tiba di sebuah tempat tak seperti markas pada umumnya. Tempat itu lebih tepat disebut penthouse mewah daripada markas yang terkesan misterius dan kaku.
"Apa Tuan perlu bantuan?" Sopir menawarkan, kala Levon akan turun dari mobil.
"Tidak. Aku akan membawanya sendiri. Kau jaga tempat ini. Jangan sampai ada penyusup, terlebih ada polisi yang masuk kemari." Sopir mengangguk merespons perintah Levon.
Levon lalu turun dari mobil dengan membopong Nadine. Ia membawa wanita itu masuk ke markas, menuju ke kamarnya.
"Dr. Kahl, kemarilah dan periksa wanita ini." Tiba-tiba Levon memanggil seseorang.
Detik itu juga ada seseorang berpakaian serba putih masuk ke kamar. Tanpa bertanya dia memeriksa wanita yang ada di ranjang Levon.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Levon segera.
"Wanita ini hanya kelelahan. Dia terlalu memforsir tenaganya. Dia hanya butuh istirahat." Dokter menjelaskan.
Dokter memberi obat Nadine. Setelahnya mereka berdua keluar dari kamar tersebut.
"Hiss, apa aku ketiduran?Kapan aku pulang?" Nadine membuka mata 30 menit kemudian. Dia terkejut begitu mendapati tempat yang asing baginya. "Di mana aku?"