Nadine mencoba mengingat kembali hal terakhir yang dilakukannya.
"Bukannya tadi aku ada di restoran, tapi kenapa aku berpindah ke tempat lain? Apa ini rumah dinasku? Ada seseorang yang membawaku ke rumah?" Keningnya berlipat setelah menyapukan pandangan ke sekitar.
Tempatnya berada kali ini bukan rumah dinasnya. Lantas rumah siapa?
Nadine menatap cat bernuansa putih yang mendominasi seluruh ruangan. Di dinding ada beberapa lukisan gantung. Lukisan abstrak hewan yang sukar dipahami maknanya. Di nakas yang ada di depan bed ada hiasan pajangan miniatur pesawat juga senjata api.
"Melihat dari tanaman yang terpasang di kamar ini pemiliknya pastilah seorang lelaki. Tapi siapa?" Nadine mengangkat satu alis naik, mencoba berpikir.
Lelaki terakhir yang dia temui adalah Levon. "Apa benar itu dia?"
Belum hilang rasa penasarannya, terdengar suara derap langkah kaki menuju ke kamar. Degup jantung Nadine semakin menghentak kalau mendengar suara handle pintu ditarik hingga terbuka.
"Nona, kau sudah sadar?" Sungguh, Nadine terkejut melihat sosok pria yang menyembul dari balik pintu adalah Levon.
"Bagaimana bisa aku ada di sini?" Nadine panik seketika menarik selimut tebal yang menutupi tubuhnya, meringsek turun dari ranjang.
"Nona, kondisimu masih lemah jangan turun dari ranjang," cegah Levon dan kini sudah ada di hadapan Nadine.
Tangan Levon yang besar mendarat pada bahu Nadine, menekannya agar duduk kembali. Kedua mata mereka bersitatap selama beberapa detik, dan Nadine kemudian menundukkan pandangan. Ia tak ingin ada hal lain yang muncul karena tatapan mereka.
"Aku tidak apa-apa, Tuan. Aku berterima kasih padamu karena telah membantuku. Tapi dengan berat hati pula aku harus kembali." Nadine malah berdiri tegak.
Ia tak ingin bermalam di rumah orang asing, terlebih pada orang yang baru dikenalnya satu hari. Bukannya dia curiga Levon punya niat buruk padanya, tapi karena tugaslah yang memaksanya untuk pergi dari sana.
"Tuan, aku pulang saja. Keluargaku pasti mengkhawatirkan diriku." Nadine masih bersikeras.
"Nona, bagaimana jika besok pagi saja kau kembali? Sekarang sudah malam."
Nadine menggeleng keras. "Tolong, biarkan aku pergi, Tuan." Sorot matanya bersinar kuat meski berkebalikan dengan tubuhnya yang masih lemah.
Levon menarik tangannya dari bahu Nadine, sungguh ia tak tahu kenapa wanita di hadapannya ini tetap bersikukuh ingin pulang. Padahal di luar sana bahaya membayang.
"Jika begitu biar aku mengantarmu."
"Tidak, Tuan. Aku tidak mau merepotkanmu." Nadine kembali menolak. Dia melangkah maju namun baru beberapa langkah, tubuhnya kembali lumbung hingga dia menubruk d**a bidang Levon
"Kau tak apa, Nona?" Levon meraih pinggang ramping Nadine agar tidak merosot luruh.
Mata mereka kembali beradu. Bahkan jarak wajah mereka dekat. Nadine bisa merasakan sapuan napas Levon. Membuatnya mendorong d**a pria itu menjauh darinya. Ia merasa tak nyaman saja berada sedekat ini dengan seorang pria asing.
"Terima kasih." Nadine menghindari tatapan tajam Levon yang membuatnya membeku jika terus memandang. "Tak perlu mengantarku, Tuan."
Levon menarik tangannya dari pinggang ramping Nadine, terpaksa melepasnya. Bahkan ia mengekor Nadine keluar dari kamar.
Nadine tidak tahu di mana pintu keluarnya. Dia hanya mengikuti naluri saja untuk terus maju hingga menemukan pintu keluar.
"Tuan, terima kasih sudah mengantarku," ucap Nadine di luar pintu. Di depannya sana adalah jalanan raya, yang asing baginya.
"Nona, apakah kau tahu jalan kembali?" Nadine terdiam sejenak. Jika ditanya pastinya jawabnya dia tidak tahu. Tapi tidak mungkin dia mengatakan itu pada Levon.
"Jadi kau tidak tahu." Bagi Levon, diam artinya benar. "Nona, sebenarnya dalam kondisimu seperti ini tubuhmu masihlah belum pulih tapi untuk pulang Jadi biarkan aku mengantarmu." Levon memaksa.
Kali ini Nadine tak bisa menolak. Atau penolakannya akan berujung pada kesia-siaan. Terpaksa dia kembali masuk ke mobil Levon.
Kali ini pria itu menyetir sendiri tanpa keberadaan sopir yang mengendalikan Bugattinya. Sopirnya tadi sedang berjaga di tempat yang aman tanpa ada siapapun yang bisa melihat tsrmasuk Nadine.
Mobil Bugatti meluncur membelah angin malam yang mencekam.
Bagaimana ini, harusnya aku menolongnya saja tapi dia terus memaksa. Dia tidak boleh tahu identitasku.
Nadine mulai mengasah otak kecil, mencari cara agar Levon menurunkannya di suatu tempat tanpa curiga sedikit pun.
"Nona, di mana rumah keluargamu?" Meskipun dia lahir di Prancis, tapi dia tidak menghafal semua daerah daerah di sana, temasuk Bordeaux. Terlebih sudah satu dekade lebih dia baru menginjakkan kaki kembali ke mari. Pasti semuanya sudah berubah.
"Itu ... ada di sekitar Kantor Polisi Sektor Bordeaux." Levon mengangguk cepat. Dia baru ingat awal ketemu sebelumnya, Nadine meminta untuk diantar ke kantor polisi wilayah ini tempat mereka bertemu sebelumnya. Seharusnya dia tahu itu dan tak perlu bertanya.
Levon memutar mata demi melirik pada Nadine yang duduk di kursi belakang. Nadine diam tak bersuara.
Entah apa yang dipikirkan oleh wanita itu, jelas terlihat jika Nadine memikirkan sesuatu.
"Tuan, tolong turunkan aku di sini saja," pinta Nadine.
"Tapi ini belum sampai di kantor polisi, Nona."
"Rumahku ada di sekitar sini," tegas Nadine, membuat Bugatti mewah itu berhenti seketika.
"Terima kasih, Tuan. Kau sudah banyak membantuku." Hanya itu yang bisa Nadine ucapkan sebelum dia turun.
Nadine turun, berdiri menjulang di tepi jalan. Dia menunggu mobil Levon pergi dari sana, atau dia akan terekspos identitasnya.
"Aku permisi, Nona," tukas Levon dari balik kaca mobil yang terbuka separuh.
Mobil Bugatti melaju kembali. Levon menatap dari kaca spion mobil.
"Wanita itu ... Nadine ... dia sudah tak ada di sana." Levon terkejut mencari sosok Nadine yang hilang dari jalanan dalam waktu singkat. "Cepat sekali dia pergi. Padahal dia masih lemah tadi. Sayang sekali aku tidak tahu yang mana rumahnya." Levon mempercepat laju Bugatti, hingga hilang di tengah dinginnya angin malam yang berembus.
Terdengar suara handle pintu yang ditarik hingga pintu terbuka.
Akhirnya, aku tiba di rumah juga.
Nadine merasa kembali ke rumah dengan selamat. Sungguh, ia tak menyangka bisa bertemu dan diselamatkan oleh pria yang sama tiga kali berturut-turut.
Di antara rasa lelah juga kantuknya, Nadine menuju ke kamar. Di melempar tubuhnya ke tempat tidur.
Akh! Barulah dia berdesis dan merasakan nyeri pada lengan kiri.
Setelah ia singsingkan lengan baju ternyata terdapat bekas jarum suntik di sana, area sekitarnya pun berwarna ungu.
"Ini ... apa dia memberikan suntikan untukku? Apa dia dokter?" Nadine lalu pemeriksa anggota tubuh lainnya.
Dalam hati dia khawatir jika Levon melakukan sesuatu pada tubuhnya tanpa dia ketahui.
"Kurasa aku terlalu berlebihan. Hanya ada tanda bekas suntikan di sini saja." Nadine yang membuka baju kembali menutupnya setelah mencari di setiap inci bagian tubuh dan tak ada bekas suntikan atau lainnya di sana.
Ia kemudian berbaring di tempat tidur, entah kenapa dia kembali teringat pada sosok Levon hingga larut dalam buaian mimpi.
"Roger! Roger! Terdengar suara dari mikrofon mini yang ada di samping bantal Nadine.