Bab 6. Tatapan Yang Menyihir

1158 Kata
Sebagai pengantin baru, Bima dan Binar mendapat paket khusus dari pihak hotel. Yaitu paket kamar pengantin. Mereka berdua pindah dari kamar sebelumnya ke kamar yang telah disediakan oleh pihak hotel sebagai hadiah pernikahan. Binar mengetuk kamar hotel itu pelan, jantungnya berdebar tak karuan. Ia gelisah bukan main, ini pertama kalinya ia sekamar dengan seorang pria. Tentu saja, ia sudah menikah sekarang. Pintu di depan Binar terbuka, Bima muncul di balik pintu sudah dengan mengenakan piyama. “Masuk,” katanya datar. Binar menghela nafas. Apa yang ia harapkan? Bima bertelanjang d**a? Gila aja! Binar masuk sambil membawa tas pakaiannya. Ia sedikit canggung dengan suasana di dalam kamar yang didekorasi sedemikian cantik khas kamar pengantin. Pipinya segera memanas, adegan-adegan erotis yang ia lakukan dengan Bima di dalam mimpinya segera berkelebat. Binar menggeleng kuat-kuat, mengenyahkan pikiran-pikiran m***m itu. Ia melirik ke sofa, Bima sudah duduk di sana sambil bermain tabletnya. Menghela nafas pelan, Binar bergabung di sofa. “Binar, catat ini. Besok pagi kita check out jam 9 pagi terus kita ke bandara, jemput tante saya yang baru landing dari Aussie. Setelah itu baru kita berangkat bulan madu ke Bali sore harinya. Oh ya, kamu pesan tiket bulan madu dan hotel untuk tiga hari dua malam, ya?” Binar melongo. Bukan karena Bima bicara dengan nada memerintah seperti biasa, tapi… apakah pria itu sedang menyuruhnya mengerjakan pekerjaan seorang sekretaris sekarang? Di malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri? “Binar, kamu lupa bersihkan telingamu?” sindir Bima tajam. “Hah?” Binar masih melongo. Bima mendengus. “Pesawatnya malem aja. Sore kita buat janji ke dokter THT du—” “Tunggu, Pak!” Binar mengangkat tangannya. Bima merengut tak suka. “Kamu memotong kalimat saya?” Binar menyugar rambutnya, tertawa hambar. “Kita ini sekarang suami istri, Bima. Kamu lupa?” Sebelah alis Bima terangkat. “Lalu?” “Masa cara bicaramu masih begitu? Memerintah kayak bos?” Binar langsung melayangkan protes. Pasangan mana yang di malam pertama pernikahan mereka bertengkar? Kayaknya cuma Bima dan Binar. “Sudah kebiasaan, Binar. Sudahlah, nggak usah banyak protes. Kamu sudah mencatat semua ucapan saya?” Binar mendengus kasar, melipat tangan, membuang muka. “Binar.” “Iya, iya. Saya pesan tiket pesawat dan paket bulan madu ke Bali, puas?” “Berapa hari?” “Astaga!” Binar mendelik marah. “Tiga hari dua malam!” serunya galak. “Kamu juga bikin itinerary selama kita di Bali, ya. Bebas kamu mau ke mana aja, jangan khawatirkan soal uang juga, uang saya banyak.” “Siap si paling kaya!” dengus Binar kemudian berlalu. “Mau ke mana, Binar? Saya belum selesai bicara.” “Bicara aja dari situ,” seru Binar sambil mengaduk tasnya, mencari peralatan skincare miliknya. Bukannya menurut, Bima justru berjalan mendekati Binar. Berdiri sambil menyedekapkan tangan di depan d**a. Binar yang sudah berdiri dan berbalik tiba-tiba jadi terkejut dengan kehadiran Bima. “Astaga, Pak! Ngagetin aja!” Ia mengurut dadanya yang berdebar kencang. “Ngapain ke sini? Kan saya suruh tunggu di sana?” Tak menggubris pertanyaan Binar, Bima mengamati bawaan di tangan Binar. “Itu apa?” “Skincare, kenapa?” “Saya masih mau ngobrol, Binar.” “Ya udah ayo sambil saya skincare-an.” Binar berjalan mendahului Bima, duduk kembali di sofa. “Mau bicara apa?” Bima ikut duduk kembali di sofa. “Habis kamu pake itu, tolong beresin kamarnya.” “Hm? Kamar siapa?” “Kamar kita. Tuh lihat, kasurnya dihias aneh-aneh. Apa-apaan coba masa ada angsa di atas kasur? Belum lagi sampah yang berserakan itu, berantakan!” ucap Bima ketus. Sampah yang dimaksud Bima adalah kelopak bunga mawar merah yang disebarkan di atas kasur. Sebagian sengaja dibuat berbentuk hati. Binar menggeleng, menghela nafas pelan. Tiba-tiba ia tersadar sesuatu. “Tunggu, kamu mau tidur di kasur?” Bima mengangguk santai. “Terus saya di mana?” “Di kasur juga, maunya di mana?” “Kita tidur satu ranjang?” Binar memekik sambil melotot. “Iya. Nggak usah lebay, kita sudah pernah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar tidur seranjang.” Memang mulut Bima ini tidak ada filter-nya. Asal bicara tanpa memedulikan efeknya. Lihatlah, wajah Binar langsung memerah. “Tapi, malam ini kita tunda dulu berkegiatan selain tidur seranjang ya, Binar. Saya capek banget, pengen tidur. Tenang aja, kita masih punya banyak waktu, kamu boleh minta kapanpun kamu mau. Selama bulan madu kita nggak perlu keluar kamar sama sekali juga boleh, banyak kegiatan di dalam kamar yang bisa kita lakukan,” tutur Bima sambil menyeringai tipis. “Gila!” sembur Binar kesal. Nyaris melempar botol serum yang ia pegang, jika saja ia tak lupa bahwa harga serum itu nyaris setengah juta. “Satu aturan pertama untuk kamu, Binar.” Bima mengacungkan jari telunjuknya. “Berhenti mengumpat.” “Kamu yang bikin aku mengumpat. Jadi kamu yang berhenti jadi nyebelin,” dengus Binar makin kesal. “Memangnya saya nyebelin kenapa sih?” Kening Bima berkerut. Ekspresi khasnya ketika tidak menyukai sesuatu. “Mulut kamu tuh dikasih saringan dong, kalau bicara asal ceplos aja,” tegur Binar yang kini mulai mengoleskan krim malam ke wajahnya. “Oh, kamu malu bicara soal urusan ranjang sama saya?” Binar tak menggubris, terus menatap wajahnya di cermin kecil yang ia pegang. “Padahal kamu yang m***m duluan, mimpiin saya tidur sama kamu. Kenapa sekarang malu?” “Udah, Pak. Nggak usah dibahas terus!” Binar berseru ketus. “Coba aja kalau nggak capek, hari ini kita bisa coba posisi berbeda dari yang sebelumnya.” Bima menyeringai “Makanya, dasar tua!” “Kita cuma beda lima tahun ya, Binar.” “Tetep aja kamu udah tua. Buktinya stamina kamu juga udah lem–” Kalimat Binar terhenti karena kini Bima sudah berjalan ke arahnya dengan ekspresi wajah yang mengeras. “Mau ngapain kamu?” Ia refleks beringsut mundur hingga punggungnya membentur sandaran sofa. Bima menunduk, mengurung tubuh Binar di sofa. Sorot matanya tajam dan dalam, membuat Binar menelan ludah gugup. Kedua lengan kekarnya bertumpu di sebelah tubuh Binar, sementara kepalanya terus bergerak turun. Rambutnya yang turun menutupi dahi, membuat tatapannya tampak semakin tajam. Binar menelan ludah. Jantungnya berdebar tak karuan. Seolah tersihir, ia tak bisa mengalihkan tatapannya dari kedua netra Bima yang terkunci menatapnya. Tatapan itu tak hanya tajam dan dalam, tapi juga menghanyutkan dan memabukkan. Seperti danau yang indah, tenang dan misterius. Bima semakin mengikis jarak. Kini hanya tersisa selapis tipis udara di antara bibir keduanya. Binar memejamkan matanya rapat-rapat. Menahan nafas ketika ia merasakan dengan jelas bibir Bima yang menekan bibirnya. Menyesap dan melumat sedikit bibir bawahnya. Lantas, pria itu mundur. Membuat Binar terbelalak. “Segitu aja untuk malam ini. Tapi jangan harap kamu bisa lepas saat bulan madu nanti,” ancam Bima dengan seringai tipis, kemudian ia berlalu pergi. Jantung Binar serasa mencelos. Ia menghela nafas kasar, memegangi jantungnya yang nyaris meledak. “Gila! Sinting! Gue kayaknya bakal jantungan kalau lebih lama lagi jadi istri Bima!” umpatnya lirih dengan wajah semerah kepiting rebus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN