Bab 7. Selamat Pagi, Istriku

1257 Kata
Binar menggeliat dengan mata terpejam. Ia beringsut, membalikkan badannya. Keningnya berkerut karena cahaya matahari masuk lewat jendela yang terbuka. Membuatnya silau meski matanya tetap terpejam. “Selamat pagi, istriku.” Binar sontak membuka mata dan mendapati Bima sedang tidur menyamping dengan tangan yang menopang kepalanya, menatap Binar dengan senyum tipis. “Hah?!” Binar berseru kaget. Langsung bangkit. “Kita tidur seranjang?” pekiknya tak percaya. Bima mendengus. “Kamu bener-bener nggak bisa bicara pake volume normal, ya? Telinga saya bisa budek kalau kamu teriak-teriak terus, Binar.” Binar menyugar rambutnya frustasi. “Sekarang bukan itu yang penting! Kita tidur seranjang? Kamu nggak ngapa-ngapain aku kan?” “Nggak usah heboh begitu, kita pernah ngapa-ngapain kalau kamu lupa. Kamu yang mulai, di sofa lagi, lebih hot.” Bima menyeringai tipis, menatap Binar lekat. “Berhenti bahas itu! Itu kan kecelakaan?” Binar membuang muka, malu. “Iya, soalnya gara-gara kamu ternyata suka mimpi m***m tentang saya. Saya bisa nuntut kamu pasal pelecehan loh, Binar. Meski cuma dalam mimpi.” “Astaga! Itu kan cuma mimpi? Gimana ceritanya bisa dilaporin? Nggak ada bukti!” tukas Binar kesal bercampur malu. “Berarti bener kamu pernah mimpi kita beradegan panas?” Tiba-tiba Bima memajukan tubuhnya. Binar reflek beringsut mundur. “Ma-mau apa kamu, hah?!” “Kita ngapain aja, Binar? Coba kasih tahu saya. Karena itu mimpi kamu, pasti semua yang terjadi di mimpi kamu berdasarkan alam bawah sadar kamu.” “Y-ya… terus?” Binar semakin gugup. Ia sudah mundur nyaris membentur headboard kasur. Tapi Bima sama sekali tak terlihat hendak berhenti. “Kita bisa coba kan? Yang mana yang paling kamu suka.” Binar mendelik. Ia mendorong tubuh Bima menjauh. “Berhenti bahas itu lagi!” serunya sebal. “Kenapa? Sekarang kita udah nikah, jadi bebas mau ngapain aja.” Bima mengedikkan bahu. “Udah, udah.” Binar melirik jam di dinding, pukul 7.30 pagi. “Katanya mau jemput tante kamu di bandara jam sembilan? Mending kita siap-siap sekarang. Aku juga laper belum sarapan.” Binar beranjak dari kasur, turun dan seketika ia tercengang melihat kancing piyamanya terbuka sebagian. Belahan dadanya terlihat jelas. “Bima kamu ngapain semalam, hah?!” Ia berteriak nyaring, menatap suami sekaligus bosnya nyalang. “Apa?” Bima menatap Binar tanpa rasa bersalah. “Lihat ini! Kenapa kancing bajuku kebuka, hah?!” “Oh, itu karena kamu godain saya semalam. Hampir aja loh kita menghabiskan malam dengan penuh gairah semalam, seperti malam pertama para pengantin baru pada umumnya.” “Apa?!” Binar memekik tak percaya. “Saya serius. Tapi waktu saya buka kancing baju kamu, kamunya lanjut tidur. Ya… nggak jadi.” Bima menjelaskan dengan santai. “Makanya pagi ini saya sudah mandi, mandi air dingin soalnya semalam kamu bikin saya panas.” Seringai tipis itu muncul lagi, tatapannya masih sama, tajam dan dalam. “Argh… baru sehari gue udah stress jadi istri lo!” Binar berteriak frustasi, meremas rambutnya sendiri, wajahnya sudah merah padam karena malu dan marah. “Loh, kamu aja stress gimana saya? Saya loh yang harus menahan diri tiap kali kamu godain,” kilah Bima membela diri. “Gak tahu ah, bodo amat!” Binar menghentakkan kakinya, berbalik lantas berjalan ke kamar mandi dengan cepat. Sementara di atas kasur, Bima hanya tersenyum tipis menatap kepergian istrinya. Ia bahkan sempat mengedikkan bahu tak peduli saat Binar melemparkan tatapan tajam padanya sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi. Bima terkekeh pelan saat Binar telah hilang ditelan pintu kamar mandi. Ia beranjak, mengambil pakaian dari lemari. “Kalau tahu semenyenangkan ini menikah sama kamu, harusnya saya lamar kamu dari dulu, Binar,” gumamnya sambil memilih pakaian yang hendak ia pakai. Benar, sejak tadi ia hanya mengenakan handuk kimono. Makanya Binar langsung menuduh macam-macam saat baru terbangun tadi. *** “Selamat datang, Tante,” sambut Bima dengan senyum terkembang. Ia memeluk wanita paruh baya yang tampak begitu segar meski telah menempuh perjalanan jauh. Untuk ukuran seorang wanita berusia lima puluh tahunan, ia tampak sangat modis dan awet muda. “Terima kasih.” Suara merdunya membelai pendengaran. “Padahal kamu nggak perlu jemput Tante kayak gini. Tante masih bisa naik taksi.” “Aku nggak cuma mau jemput Tante kok, aku juga mau kenalin istriku.” Bima merangkul bahu Binar yang berdiri di sebelahnya. “Kenalin, Tan… ini Binar, istriku.” Wanita yang dipanggil ‘tante’ itu beralih menatap Binar. “Wah, cantik sekali,” pujinya tulus. Ia memeluk Binar lembut. Binar tersenyum canggung, membalas pelukan itu. “Terima kasih, Tante.” “Tante Ana mau berapa lama di sini?” Bima bertanya sambil menyeret koper milik tantenya menuju luar lobi kedatangan bandara Internasional itu. “Seminggu mungkin? Nggak bisa lama-lama, Bima, Tante masih banyak pekerjaan di Sydney.” Bima mengangguk-angguk. “Tante sudah lama tinggal di Sydney?” Binar ikut masuk dalam obrolan, bertanya penasaran. “Hm… sekitar lima belas tahun. Pulang kalau ada acara seperti sekarang ini atau liburan panjang.” Ana tersenyum manis. “Wah, lama, ya? Di sana sama siapa, Tan? Ada keluarga?” Ana menggeleng. “Tapi ada teman-teman yang baik.” Meski wajahnya tersenyum, tapi suaranya terdengar getir. Binar tertegun. Merasa bersalah karena menanyakan hal itu. Ia melirik Bima, tapi melihat wajah Bima yang datar, ia jadi bingung sendiri. “Maaf, Tan. Nggak bermaksud…,” lirihnya merasa bersalah. Ana tertawa pelan. “Nggak apa-apa. Udah biasa kok ditanya begitu. Wajar kan wanita seusia Tante ditanya soal keluarga? Jadi nggak masalah, jangan merasa bersalah, Binar.” Binar tersenyum, masih canggung. Ia jadi takut mau bertanya hal lain. “Kenapa? Kamu mau tanya kenapa tanteku memilih buat nggak berkeluarga?” todong Bima telak. “Heh?!” Binar mendelik. Suaminya itu memang tidak punya filter di mulutnya. Semua kata-katanya keluar tanpa disaring. Tante Ana tertawa. “Kalian lucu sekali.” “Hehe, maaf, Tante.” Binar mengusap tengkuknya, semakin tak enak hati. “Tante pernah berkeluarga kok.” Ana kembali bicara setelah tawanya reda. “Eh?” Binar menoleh, menatap Ana bingung. “Tapi kemudian memilih untuk tidak mencobanya lagi setelah gagal satu kali,” pungkas Ana kemudian, masih tersenyum. Obrolan itu terputus karena mereka telah tiba di dekat mobil Bima. Pria itu memasukkan koper ke bagasi, membukakan pintu untuk tante dan istrinya, kemudian ia sendiri masuk ke mobil. Duduk di balik kursi kemudi, mulai menyetir mobilnya kembali ke pusat kota Jakarta. Rupanya, keheranan Binar dengan sosok tante Ana tidak berhenti sampai di situ. Setibanya di rumah besar Satria, Ana disambut hangat oleh pemilik rumah. Ramah tamah memang berlangsung hangat. Namun ada satu hal yang Binar sadari, Bima tampak lebih dekat dan nyaman bersama tante Ana daripada dengan mamanya sendiri. Pun Ratna terlihat tak terlalu akrab dengan Ana. Ada apa sebenarnya? “Pak Bima.” Binar menepuk pundak suaminya pelan, berbisik. Bima menoleh. “Ada apa?” “Gimana kalau rencana bulan madu kita tunda dulu?” Kening Bima langsung berkerut. Ciri khas Bima ketika tak menyukai suatu topik tertentu. “Kenapa?” tanyanya agak dingin. “Tante kamu kan seminggu di sini, gimana kalau kita temenin tante kamu dulu? Masa kamu udah mau pergi aja padahal ada keluarga kamu yang datang jauh-jauh dari Sydney?” Bima terdiam sejenak. Ia masih terlihat tak terima dengan usulan Binar. “Lagi pula kita masih punya banyak pekerjaan di kantor, Bima. Ada meeting sama hotel Sunflower loh besok lusa.” “Kan bisa diwakilkan?” “Kamu nggak pengen meeting langsung sama mereka?” Bima menghela nafas pelan. “Ya sudah, kamu atur aja seperti kamu mengatur jadwalku seperti biasa.” Binar tersenyum, mengangguk mantap. Entahlah, ia mendadak jadi penasaran dengan sosok tante Ana ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN