Bab 8. Kau Sepenuhnya Milikku

1115 Kata
“Ibu, maaf ya aku lama.” Binar menyapa ibunya yang sedang bersiap-siap kembali ke Sukabumi. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut. “Nggak apa-apa. Maaf juga Ibu nggak ikut jemput tantenya Bima.” “Jangan minta maaf, Ibu kan kecapean karena perjalanan terus langsung sibuk sama acara nikahan kemarin juga. Sini aku bantu bawa, Bu.” Binar mengambil tas dari tangan ibunya, membawanya keluar. Binar dan ibunya berjalan bersisian di lorong hotel. “Bima di mana?” tanya Ambar —ibu Binar. “Nunggu di lobi. Bus Ibu jam berapa?” “Jam tiga sore.” Binar melirik jam tangannya. Ini sudah jam dua siang, mereka harus cepat. Setibanya di lobi, Bima langsung menyambut kedatangan dua wanita itu. Menyalami tangan ibu mertuanya. “Nak, titip Binar, ya? Tegur aja kalau dia melakukan kesalahan,” pesan Ambar pada Bima. “Iya, Bu. Tenang aja, saya punya cara khusus buat negur dia biar nggak bandel.” Bima tersenyum penuh arti, melirik istrinya sekilas. Binar mendelik, mencubit pinggang Bima. Ia bisa menebak apa yang dimaksud suaminya itu. “Aduh!” Bima mengaduh kesakitan, mengusap pinggangnya. “Binar,” tegur Ambar sambil memberikan tatapan tajam, memperingatkan. Binar mendengus, membuang muka sebal. Ambar kembali menatap menantunya. “Maaf, Ibu nggak bisa lama-lama di sini. Katering Ibu lagi rame, Ibu nggak pasrah kalau ninggal lama-lama.” Ambar berkata dengan wajah memelas. “Iya, Ibu. Nggak apa-apa. Lain kali kalau kami libur, kami yang akan berkunjung ke sana,” ucap Bima santun. “Kabari Ibu jauh-jauh hari, ya? Supaya Ibu bisa menyiapkan makanan kesukaan kalian.” “Iya. Terima kasih, Bu.” Tatapan Ambar beralih pada putri semata wayangnya. “Kamu yang baik jadi istri, Binar. Ingat yang Ibu ajarkan, perempuan itu harus punya harga diri tinggi, tapi bukan berarti perempuan boleh bersikap sombong dan tinggi hati di depan suami. Tetaplah berbakti pada suamimu, mengerti?” Binar tersenyum, mengangguk. “Iya, Bu.” “Ibu tidak tahu kenapa kalian memutuskan menikah secepat ini, tapi Ibu berharap kalian tidak melakukannya karena kecelakaan. Kalian mengerti maksud Ibu?” Binar menelan ludah, tapi cepat-cepat memperbaiki ekspresinya. “Ibu, ayo cepet berangkat. Bisnya kan jam tiga. Ini mas Bima harus ngebut kalau jam segini kita masih ngobrol aja.” “Oh, iya!” Ambar menepuk jidatnya pelan. Buru-buru melangkah pergi. Bima juga ikut melangkah cepat ke luar lobi hotel, tempat mobilnya diparkir. *** “Pak, ini kita balik ke rumah Bapak?” Binar bertanya sepulang dari mengantar Ambar ke terminal bus. “Mas Bima,” sahut Bima datar. “Hah?” “Coba panggil saya ‘Mas Bima’ kayak tadi,” perintahnya sambil melirik Binar sekilas. “Nggak mau!” tukas Binar sambil melipat tangan di depan d**a. “Kenapa?” “Nggak mau. Nanti kamu ngelunjak, minta yang aneh-aneh.” “Contohnya?” “Berhenti tanya-tanya! Jawab dulu, ini kita mau langsung pulang ke rumah kamu lagi?” “Iya. Mau ke mana lagi?” “Kalau gitu nanti anterin aku balik ke apart, ya? Aku kan nggak bawa kendaraan, jadi nggak mungkin balik sendiri. Acara di rumah kamu juga kayaknya bakal sampe malem kan?” Bima menoleh, keningnya berkerut. “Kata siapa kamu boleh kembali ke apartemen kamu?” “Loh, terus gimana?” “Mulai malam ini kita tinggal di rumah saya. Saya anter kamu ke apartemen kamu sekarang, ambil barang-barang seperlunya. Terus telepon jasa pindahan untuk bawa barang-barang kamu ke rumah saya, mengerti?” “Hah?!” Binar memekik tak percaya. Bima berdecak kesal, mengusap telinganya. “Aturan kedua buat kamu, Binar. Berhenti teriak-teriak. Kamu cuma boleh teriak kalau kita lagi main.” “Hah? Main apa?” “Main yang bikin enak,” sahut Bima datar. “Poin plus kalau kamu mau berteriak sambil menyebut nama saya.” “Gila!” Binar mengumpat kesal. Ia mengerti maksud suaminya itu. Jika ia tak ingat bahwa Bima sedang menyetir, sungguh ia ingin membekap mulutnya yang tanpa saringan itu. Binar beringsut, menghadap ke luar jendela. Entah bagaimana kondisi mukanya sekarang. Yang pasti pipinya sudah terasa panas, bahkan telinganya juga. “Aku nggak tahu kamu suka banget membahas hal dewasa begini,” gumam Binar. Tidak benar-benar ingin membicarakannya dengan Bima. Bima melirik istrinya sekilas. “Karena kita sudah menikah. Kamu sudah jadi milik saya sepenuhnya. Jadi saya bisa lebih bebas soal memperlakukan kamu sampai topik bahasan dalam obrolan kita.” “Hm? Maksudnya?” “Waktu masih pacaran, peluang buat kita putus sangat besar. Kamu bukan sepenuhnya milik saya. Dan saya tidak punya cukup banyak hak buat menahan kamu tetap sama saya kalau kamu minta putus. Karena itu saya langsung mengiyakan waktu kamu minta putus.” Binar diam, masih menatap ke luar jendela. Tapi telinganya fokus mendengarkan kalimat-kalimat yang terucap dari bibir Bima. “Dulu, kamu belum sepenuhnya milik saya, Binar. Maksud saya… waktu kita pacaran. Karena itu juga, saya nggak mau menyentuh kamu lebih dari berpegangan tangan. Saya nggak mau kamu merasa dimanfaatkan oleh saya yang saat itu berstatus sebagai pacar kamu.” Binar tertegun. Ia tak tahu bahwa Bima memikirkan dirinya sedalam itu, seserius itu. “Dan saya juga tahu kapasitas diri saya. Saya sengaja tidak mau memulai sesuatu yang tidak bisa saya hentikan. Kamu tahu setelah kita terlanjur melakukannya di hotel waktu itu.” Binar menggigit bibirnya pelan. Sedikit merasa bersalah karena kesal pada Bima yang seolah enggan bersentuhan dengannya saat masih pacaran. Ternyata semua itu karena Bima memiliki penilaian yang berbeda soal konsep skinship sebelum menikah. Tapi, kenapa Bima berpikir sejauh dan sedalam itu? Binar penasaran, tapi ia tak punya banyak keberanian untuk menanyakannya sekarang. Akhirnya mobil Audi berwarna merah itu merapat di depan lobi apartemen Binar. Binar segera membuka pintu mobil di sampingnya, namun baru saja tercipta celah sedikit, Bima telah kembali menarik pintu hingga kembali tertutup. Binar menoleh, mengernyit, menatap Bima tak mengerti. “Tunggu di sini,” ucap Bima sambil keluar dari mobil. Pria itu berjalan memutari mobil, berdiri di samping pintu penumpang, lantas membukakan pintu itu untuk Binar. Ia tersenyum tipis, tatapan tajam dan dalamnya terkunci pada wajah cantik Binar. Seketika, rasa panas menjalari wajah Binar. Rasa panas yang bersumber dari detak jantungnya yang berdegup kencang. “Nggak keluar?” tanya Bima lirih. Suaranya yang dalam dan rendah benar-benar memanjakan pendengaran Binar. “Oh, eh… iya.” Binar tergagap, buru-buru turun dari mobil. “Jangan lama-lama. Saya tunggu di sini, ya?” ucap Bima pelan. Binar mengangguk dan segera melesat pergi meninggalkan Bima yang menyeringai tipis. Beginikah rasanya diperlakukan layaknya seorang putri? Jantung Binar sudah belingsatan. Ia masuk ke dalam lift secepat kilat, lantas terduduk di sana. Lututnya terasa lemas, perutnya seolah dipenuhi puluhan kupu-kupu yang sedang terbang. Geli. “Astaga, dia nyerang tepat di kelemahan gue,” keluh Binar sambil memegangi pipinya yang terasa panas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN