Bab 9. Hubungan Yang Aneh

1149 Kata
“Kamu akan terus tinggal di sini setelah menikah, Bima?” Ana bertanya saat makan malam. “Iya, kami akan tinggal di sini,” jawab Bima lugas. “Sampai kapan? Nggak baik loh bawa istri tinggal bareng mertua terlalu lama, Bima.” “Apa maksudmu, Ana?” sergah Ratna tajam. Ana mengedikkan bahu. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” “Kamu menuduhku akan membuat menantuku sendiri merasa tidak nyaman di sini?” “Aku tidak pernah bilang begitu, Kak. Jangan berlebihan.” Ana tertawa pelan, kembali melanjutkan makan. “Bima dan istrinya akan tinggal di sini, sampai kapanpun,” putus Ratna kemudian. Ana mendongak, menatap kakak iparnya dengan sebuah seringai tipis di bibir. “Memangnya Kak Ratna yang mengambil keputusan di rumah ini?” Binar menelan ludah. Atmosfer di ruang makan itu terasa begitu dingin sekarang. Ia menatap Ratna dan Ana bergantian, dua wanita itu tampak siap saling menyerang. “Apa maksudmu, Ana? Tentu saja aku punya hak untuk mengambil keputusan di rumah ini.” Suara Ratna terdengar meninggi, emosinya terpancing dengan mudah. “Siapa bilang?” Tiba-tiba Satria angkat suara. “Eh?” Ratna tertegun, menoleh takut-takut pada sang suami. “Kau tidak punya hak untuk mengambil keputusan, Ratna. Sejak hari itu, kau hanya mendapat gelar sebagai nyonya rumah ini tanpa dibebankan semua hak dan tanggung jawabnya.” Satria menatap istrinya dingin, tak ada sama sekali kehangatan layaknya pasangan yang telah menikah puluhan tahun. “Hanya karena aku setuju dengan pendapatmu soal merahasiakan pernikahan Bima untuk sementara, bukan berarti kau sudah mendapat kepercayaanku kembali,” imbuh Satria. Binar tercenung. Ia amat terkejut dengan apa yang terjadi di depan matanya. “Ma-maaf, Mas,” cicit Ratna kemudian. Ana tampak tersenyum tipis. “Tapi Bima, kamu benar-benar akan tinggal di rumah ini setelah menikah?” Satria beralih menatap putra sulungnya. “Iya, Pa. Sampai kami bisa mengumumkan pernikahan kami, kami mau tinggal di sini dulu. Akan sangat merugikan buat Binar kalau dia ketahuan tinggal serumah dengan laki-laki tapi tidak ada kabar tentang pernikahannya.” Satria mengangguk-angguk. Kini ia menatap sang menantu. “Kamu setuju, Binar?” “Sa-saya setuju aja, Om– eh, Pa.” Binar tersenyum canggung. Ia masih cukup terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Ana yang duduk di sebelah Binar mendekatkan tubuhnya pada menantu pertama keluarga Satria itu. “Tenang saja, kamu punya Bima. Mama mertuamu nggak akan berani macam-macam sama kamu.” Ia mengerling, tersenyum penuh arti. Binar mengernyit, tapi tetap mengangguk sopan. Ia masih tak mengerti seperti apa hubungan antara masing-masing anggota keluarga ini. Kepada siapa ia harus mendekatkan diri dan sejenisnya. Meski suatu saat ia bisa tiba-tiba bercerai dari Bima, ia merasa tetap harus bersikap baik selama menjadi menantu. “Oh ya, Kak. Kakak pasti tahu Bagas kan? Salah satu direktur di Bank Mulia.” Ana sudah membuka topik percakapan baru. “Iya, tahu. Dia salah satu tangan kananku. Kenapa tiba-tiba membicarakan dia?” “Aku sedang dekat dengannya,” ucap Ana sedikit tersipu. Dan entah penglihatan Binar benar atau tidak, tapi setelah Ana mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi tersipu yang khas, Bima langsung mengerutkan kening tak suka. “Dekat dalam arti apa, Tante?” tukas Bima cepat. Ana tertawa pelan. “Dekat sebagai teman, Bima. Tapi dia teman yang baik. Tante bertemu dengannya beberapa kali saat dia ke Sydney.” Bima tampak tak ingin memperpanjang obrolan. Ia kembali melanjutkan makan. Namun kali ini wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat. Usai makan malam, Binar dibantu oleh salah satu pelayan di rumah besar milik papa mertuanya ini untuk membawa barang-barangnya ke kamar Bima yang terletak di lantai dua. “Sudah nggak apa-apa sampai sini aja, biar saya yang bawa ke kamar,” ucap Binar saat pelayan itu hendak membantunya membawa sampai ke kamar Bima. Setelah ada sedikit adegan ngotot-ngototan, akhirnya pelayan itu mengalah. Ia membiarkan Binar berlalu dengan sebuah koper dan tas tangan yang cukup besar. Berjalan melewati lorong menuju kamar Bima. Binar melewati dua ruangan sebelum tiba di kamar Bima yang terletak paling ujung. Dan ketika melewati ruangan kedua, rupanya pintu ruangan itu tak tertutup rapat. Ia melirik sekilas ke dalam, ruangan itu tampak remang-remang. “Jangan terlalu posesif, Bima.” Deg! Jantung Binar seolah berhenti berdetak. Langkahnya membeku seketika. Tubuhnya menegang, cengkramannya mengerat pada pegangan koper dan tasnya. “Mas Bagas itu cuma teman.” Suara itu kembali terdengar. Rendah seperti berbisik pelan, tapi cukup terdengar hingga ke luar ruangan. Dengan kaki yang gemetar, Binar memundurkan langkahnya hingga ia bisa melihat dengan lebih jelas ke dalam ruangan yang remang-remang itu. Dan ketika mendapati apa yang ada di dalam sana, nafas Binar tertahan seketika. Ia menutup mulutnya dengan tangan, jangan sampai dirinya membuat suara hingga terdengar ke dalam sana. Di dalam sana, Ana dan Bima tampak berdiri berhadapan. Jarak mereka cukup dekat, tapi Binar tak bisa melihat dengan jelas ekspresi keduanya karena pencahayaan yang minim. Namun, ia jelas dapat melihat gerakan tangan Ana yang mengusap lengan Bima pelan. “Jangan terlalu khawatir,” ucap Ana. Sementara Bima terlihat tetap bergeming. Hingga kemudian, Ana memeluk pria bertubuh jangkung itu. Binar tak sanggup melihat pemandangan itu lagi. Ia segera berlari meninggalkan lorong itu. Tidak, bukan berlari masuk ke kamar Bima, melainkan berlari menuruni anak tangga. Ia tidak mau tidur sekamar dengan Bima. Tidak jika Bima ternyata punya hubungan spesial dengan tantenya sendiri. Binar terengah karena ternyata berlari dengan sebuah koper dan tas di tangan benar-benar menyusahkan. Tapi ia telah tiba di ujung tangga. “Mau ke mana, Kak?” sapa seorang wanita. Binar mendongak dan mendapati Mala sudah berdiri di hadapannya. “Mau… pulang,” jawab Binar tergagap. “Oh, kenapa? Bukannya udah bawa barang-barang buat tinggal di sini?” Binar menggeleng. “Aku mau pulang aja.” Mala mengernyit, tak mengerti. Tapi Binar tak peduli. Ia segera melangkah keluar rumah, menelepon taksi, menunggu dengan gelisah di dekat gerbang besar rumah itu. “Saya panggilkan supir biar dianter aja ya?” Ini sudah kelima kalinya satpam rumah itu menawarkan hal yang sama pada Binar. Dan jawaban Binar pun tetap sama, menggeleng. “Saya mau pulang sendiri aja.” “Tapi ini sudah malam, kami nggak mau kena marah mas Bima.” “Bima… nggak akan peduli saya sudah pulang atau enggak. Sudah, Pak, nggak apa-apa. Oh, itu taksinya sudah datang!” Binar memekik senang ketika melihat sebuah mobil mendekat ke arahnya. Ia segera berpamitan pada satpam yang sejak tadi setia menemaninya menunggu. Lantas masuk ke dalam taksi itu dengan cepat. Ia menyebutkan alamat apartemennya dan menyuruh sopir taksi bergegas. Binar membuang muka ke luar jendela saat mobil telah melaju. Pemandangan kota yang gemerlap tak mampu mengusir perasaan aneh yang sedang merajai hatinya saat ini. Suara dan kalimat Ana yang terdengar ambigu, gesturnya yang mengusap lengan Bima pelan hingga memeluknya tiba-tiba, serta Bima yang membiarkan semua itu terjadi terus berkelebat dalam benaknya. Tanpa sadar, air mata Binar menetes. Ia buru-buru mengusapnya. “Ngapain gue nangis?” gumamnya bingung. Namun sayang, air matanya tetap mengalir tak dapat dicegah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN