Bab 10. Pertengkaran Kecil

1195 Kata
Bima keluar ruangan sambil menghela nafas panjang. Wajahnya yang gundah seketika berubah sedikit lebih cerah saat ia berjalan ke kamarnya, mengira bahwa Binar telah ada di sana. Maka senyum di bibirnya langsung luntur saat ia mendapati kamarnya masih sama sepi dan dinginnya seperti biasa. “Binar?” panggilnya pelan, sedikit bingung. Bima melangkah masuk dengan gusar, mencari ke setiap sudut kamarnya, pun ke kamar mandi dan walk in closet. Tapi sama sekali tak ada tanda-tanda sang istri di sana. Ia berjalan keluar kamar dengan langkah lebar. Wajahnya mengeras. “Ada apa, Bima?” tanya Ana yang tak sengaja berpapasan dengannya di tangga. “Binar nggak ada.” Ana mengernyit. “Apa maksudmu?” “Binar nggak ada di kamar, Tan. Padahal tadi dia bilang cuma mau ambil barang aja.” “Mungkin belum selesai ambil barangnya?” Bima mengangguk, ia menuruni anak tangga dengan cepat. Mencari ke garasi mobil, tempat mobil merahnya diparkir. Kosong. Itulah yang ia dapatkan. Kening Bima berkerut, ia terus mencari sambil menelpon ponsel Binar yang tak juga diangkat. Hingga akhirnya, ia bertanya pada satpam rumahnya. “Oh, tadi bilangnya mau pulang,” ucap satpam itu takut-takut. Ia sudah menyangka bahwa majikannya itu sedang ada masalah sampai istri yang baru dinikahinya sehari saja sudah kabur begini. Maka detik itu juga, Bima langsung melajukan mobilnya menuju apartemen Binar. “Kenapa tiba-tiba pulang sih?” gumamnya kesal. Ia masih mencoba menelepon ponsel Binar yang tak juga diangkat. Bahkan, ketika ia sudah tiba di lobi apartemen Binar, ponsel Binar justru mendadak tak bisa dihubungi. Alhasil, ia perlu memaksa pihak manajemen apartemen untuk memberitahunya unit apartemen Binar. Sejurus kemudian, pria bertubuh jangkung itu telah berdiri di depan pintu dengan nomor unit 415. Ia menekan bel, memanggil nama istrinya. “Binar, kamu di dalam?” Tak ada jawaban. Bima kembali menelepon ponsel istrinya, tidak aktif. “Binar, kamu di dalam atau tidak? Kalau kamu di dalam tapi kamu mengabaikan saya, saya akan memaksa pihak manajemen apartemen buat memberikan saya kunci cadangan unit kamu. Kamu pikir saya nggak bisa?” Bima mulai kehilangan kesabaran. Masih tak ada jawaban. Namun tiba-tiba ponselnya berdering pendek, sebuah pesan masuk dari Binar. Binar: Jangan melakukan hal bodoh. Sampai jumpa besok di kantor. Bima mengeratkan genggamannya pada ponselnya. Ia tahu Binar di dalam, tapi mengapa istrinya itu mengabaikan teleponnya? Bahkan mengabaikan kedatangannya juga? Sayangnya, pihak manajemen tidak mau memberikan kunci cadangan meski Bima mengamuk dan mengancam banyak hal. Mereka tetap tidak percaya meski Bima menunjukkan cincin pernikahan mereka sebagai bukti bahwa mereka adalah sepasang suami istri. Pukul sebelas malam, akhirnya Bima harus menyerah berusaha menemui istrinya. Ia masuk ke dalam mobil dengan kening berkerut dan rahang mengetat. Ekspresinya yang biasanya datar kini tampak campur aduk, marah, sedih, dan frustasi. Sekali lagi, Bima mencoba menelpon Binar, tak ada jawaban. Sekali lagi, tidak aktif. Pria itu menghela nafas, menyandarkan kepalanya ke headrest. “Sebenarnya kamu kenapa, Binar?” *** “Gimana weekend lo?” sapa Kiran, salah seorang karyawan TravelYuk! yang cukup akrab dengan Binar. Binar menghela nafas. “Capek.” “Muka lo bengep banget, habis maraton drakor, ya?” “Hah? Kelihatan banget, ya?” Binar buru-buru mengeluarkan cermin dari dalam tasnya, mengamati matanya yang memang sembab. Ia mendesah pelan, tertunduk. Semalam, Binar tak mengerti mengapa air matanya terus mengalir. Dadanya terasa sesak setiap kali bayangan Bima dan tante Ana berpelukan. Ia bahkan merasa sangat jijik pada dirinya sendiri karena telah berhubungan badan dengan Bima. Semakin malam, tangisan Binar semakin menjadi. Alasannya pun semakin beragam, termasuk menyesali keputusannya menikahi Bima. Harusnya ia bisa menanggung sendiri semua beban jika kelak dirinya benar-benar hamil anak Bima. Toh, selama ini ia sudah cukup sukses menjadi perempuan yang mandiri dan kuat. Hamil, melahirkan, dan membesarkan anak seorang diri harusnya bisa ia tanggung sendiri. “Nonton drakor apa?” tanya Kiran lagi. “Oh, itu… twenty five twenty one. Iya, aduh… ending-nya sedih banget makanya gue nangis nggak berhenti-berhenti.” Binar mulai membuat dramanya sendiri, berbohong. “Astaga, lo baru nonton? Gue waktu itu ngikutin ongoing-nya. Beneran gue juga nangis sesenggukan. Nggak bisa berhenti ngalir.” Mendadak, obrolan soal drakor mendominasi pagi hari di kantor TravelYuk!. Hingga akhirnya Binar tersadar jam kedatangan bosnya sudah dekat. “Eh, gue nyiapin ruangan pak Bima dulu, ya?” pamit Binar. “Oke.” Binar pun bergegas masuk ke ruangan CEO TravelYuk! itu. Menyiapkan ruangan bosnya hingga siap dan nyaman digunakan. Rutinitas paginya sebelum si bos datang. Ingatan saat mereka masih berpacaran dulu berkelebat. Tiap pagi, Binar akan menyiapkan ruangan Bima sambil menunggu si bos datang. Mereka akan sarapan bersama di dalam ruangan Bima, mengobrol, baru kemudian mulai bekerja. Tidak ada ciuman selamat pagi apalagi pelukan hangat khas pasangan yang berpacaran. Tapi semalam, Binar melihat dengan jelas bahwa Bima diam saja saat dipeluk oleh Ana. Amat berbeda perlakuannya terhadap dirinya saat dulu mereka berpacaran. Binar terdiam di depan meja Bima, dadanya kembali terasa sesak. Air matanya seperti berdesakan hendak keluar. Ia buru-buru menggeleng, bukan saatnya menangis. Ia harus cepat sebelum Bima masuk ruangan. Terlambat. Saat Binar baru saja memastikan bahwa ruangan bosnya telah siap, saat ia bergegas hendak keluar ruangan, Bima telah masuk ke ruangan lebih dulu. Tatapan mereka bersirobok. Bima dengan tatapan dalam dan tajamnya, sementara Binar dengan sorot mata terkejut yang nyata. “Selamat pagi, Pak,” sapa Binar sopan, berusaha tenang. “Ruangan Bapak sudah siap digunakan. Bapak sudah sarapan? Kalau belum, mau saya pesankan sarapan? Bapak mau makan apa?” Bima mengepalkan tangannya kuat-kuat, masih menatap tajam Binar yang berusaha terlihat tenang. Pria itu menghela nafas, menghampiri istrinya, berdiri dalam jarak selangkah dari Binar. “Kenapa semalam tiba-tiba pulang?” tanyanya pelan. Binar tak menjawab. Ia hanya membalas tatapan Bima. Entah apa yang ia cari di sana. Namun kemudian, ia menghembuskan nafas pelan. “Kalau Bapak sudah sarapan, saya izin keluar, ya? Bahan rapat untuk siang nanti akan saya bawakan ke Bapak sebentar lagi.” Binar segera berlalu meninggalkan Bima. Melewati pria itu seolah tak ada yang terjadi. Tentu saja Bima takkan membiarkan Binar pergi begitu saja. Ia menahan lengan sang istri, menariknya hingga Binar terjatuh ke dalam pelukannya. Kedua tangannya menahan pinggang Binar agar tetap melekat padanya. Binar memekik tertahan, merengut. “Pak, lepas!” “Nggak akan saya lepas sampai kamu mau bicara kenapa semalam tiba-tiba pulang, kenapa kamu mengabaikan telepon, bahkan mengabaikan saya, Binar. Astaga, kamu mengabaikan saya?” Kedua alis Bima menukik tajam, ia jelas tak suka diabaikan. “Lepas, Pak. Gimana kalau tiba-tiba ada yang masuk?” “Kamu lebih mengkhawatirkan itu daripada gimana frustasinya saya semalam? Saya bahkan nggak bisa tidur. Kamu mengabaikan saya, Binar!” Tatapan Bima semakin dalam dan tajam. Bukan hanya tangannya yang mengunci tubuh Binar agar tetap berada dalam pelukan, tatapannya pun mengurung sang istri hingga tak bisa berkutik. “Bilang sama saya, apa alasan kamu begitu?” Suara Bima terdengar sedikit melunak. Membuat Binar berhenti meronta. Binar menatap lekat dua mata beriris cokelat gelap itu. Mata yang dalam dan tajam, yang merefleksikan dirinya di dalam sana. Binar menelan ludah. Terlepas dari rasa sesak yang terus meremas jantungnya setiap kali ia mengingat momen Bima dan tante Ana berpelukan, ia juga ingin mendengar penjelasan Bima soal hubungan mereka. “Apa… hubungan kamu sama tante kamu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN