Bima mengernyit tak mengerti. “Tante siapa yang kamu maksud? Tante Ana?”
Binar mengangguk.
Kerutan di kening Bima tampak semakin dalam. “Kenapa tanya itu? Bukannya sudah jelas dia adik dari papa saya. Itu artinya, saya keponakan tante Ana.”
Kali ini Binar menggeleng. “Bukan hubungan darah yang aku tanyakan, tapi… hubungan kalian sebagai pria dan wanita.”
Bima terdiam. Ia hanya menatap istrinya bingung. Membuat Binar menghela nafas pelan.
“Semalam, aku lihat kamu pelukan sama tante Ana.” Akhirnya kalimat itu tercetus juga. Rasanya seperti ada bongkahan beban yang diangkat dari d**a Binar, lega.
“Apa? Kamu lihat saya pelukan sama tante Ana? Di man— oh, di ruang kerja saya?”
Binar baru tahu bahwa itu ruang kerja Bima. Gara-gara pemandangan Bima dan tantenya semalam, ia sampai tak mengamati hal lain yang ada di ruangan itu.
“Kamu cemburu? Makanya semalam kamu kabur dan menghindari saya?” Bima tersenyum tipis. Sorot matanya telah menghangat meski tetap dalam dan tajam.
“Bukan itu yang penting sekarang, jelaskan dulu.” Binar menunduk, kedua tangannya menahan d**a Bima agar tubuh mereka masih memiliki jarak.
Bima melirik jam di pergelangan tangannya. “Masih ada waktu satu setengah jam sampai rapat nanti siang, bahan rapatnya biar Kiran yang menyiapkan. Kamu temani saya brunch di sini, kita ngobrol. Mau?”
Bahkan suara Bima pun terdengar melunak dan menghangat.
“Kamu belum sarapan?” tanya Binar heran. Pasalnya ini sudah pukul sembilan pagi.
“Saya bahkan nggak bisa tidur, gimana saya bisa sarapan? Saya nggak selera makan. Yang ada di pikiran saya cuma gimana caranya cepet ketemu kamu.”
Jarak yang amat dekat, tatapan yang intens, kalimat yang diucapkan dengan nada lembut dan manis, Binar tak tahu bahwa mantan pacarnya itu bisa mengobrak-abrik hatinya sehebat ini. Jantung Binar belingsatan, ia membuang muka ke mana saja, asal tidak bersitatap dengan mata Bima yang lekat menatapnya.
“Saya pengen pasta, bilang Kiran buat pesenin, ya? Setelah itu kamu ke sini lagi bawain saya kopi.”
“Kalau gitu lepasin dulu ini,” cicit Binar sembari meronta kecil.
Bima tersenyum tipis. Ia merengkuh tubuh Binar semakin dekat, memeluknya. Menyandarkan kepalanya di bahu sang wanita. Mencium dalam-dalam aroma tubuh yang sudah amat ia rindukan meski hanya semalam tak bersama.
Hembusan nafas Bima yang hangat menyapu leher Binar. Wanita itu menegang, bulu kuduknya meremang.
“Pak, lepasin. Gimana kalau ada yang tiba-tiba masuk?” lirih Binar sambil mendorong tubuh Bima menjauh.
Pelukan mereka terlepas. “Jangan lupa kembali lagi ke sini,” katanya memperingatkan.
Binar mengangguk, lantas bergegas berlari keluar ruangan.
Begitu tiba di luar ruangan, Binar nyaris terduduk jika ia tak berpegangan pada handle pintu. Lututnya terasa lemas, dadanya berdebar kencang.
“Kenapa sikapnya beda banget kalau jadi suami?” lirihnya sambil menatap pintu ruangan Bima yang tertutup.
***
“Kenapa lama banget?” todong Bima saat Binar baru kembali ke ruangannya setelah setengah jam berlalu.
Seperti biasa, keningnya berkerut menandakan ia tak suka dengan kedatangan Binar yang baginya terlambat dari perjanjian.
“Saya sekalian nunggu makanan Bapak datang, masa Bapak mau minum kopi sebelum makan? Hati-hati asam lambung, Pak.” Binar bicara sambil meletakkan bawaannya di atas meja.
Bima beranjak dari kursinya, melepas jasnya, menggulung lengan kemejanya hingga siku. Ia bergabung dengan Binar di sofa ruangannya.
“Masalahnya waktu ngobrol kita jadi terbuang sia-sia, Binar. Coba kalau kamu datang lebih cepat, kita bisa ngobrol sambil nunggu makanan saya datang. Kalau begini kan jadinya kita cuma punya waktu satu jam, bahkan kurang karena saya masih harus membaca bahan rapat hari ini.”
Binar memutar bola matanya sebal. “Jangan ngomel terus, Pak. Makan aja.”
“Suapin.”
“Hah?”
“Suapin, Binar.” Bima mendengus. “Saya kan sudah bilang, kamu harus memeriksakan telinga kamu ke dokter THT. Masa jarak kita nggak sampe dua meter gini kamu nggak denger saya bicara?”
Binar melipat bibir, menatap bos sekaligus suaminya itu gemas. Ternyata tidak ada yang berubah. Bima tetaplah bos yang rewel. Tapi entah kenapa sekarang justru terlihat menggemaskan di mata Binar.
“Iya, nanti saya periksa,” putus Binar kemudian, malas berdebat.
“Jangan ke dokter sembarangan, buat janji sama dokter THT langganan keluarga saya aja.”
Binar mendesah pelan. “Iya, nanti saya buat janji.”
“Memangnya kamu tahu nomor teleponnya?”
“Astaga, Pak!” Binar berseru gemas bercampur kesal karena Bima terus mengomel. “Sekarang waktu ngobrol kita berkurang sepuluh menit gara-gara Bapak ngomel terus!”
“Suapin,” pinta Bima sedikit ketus.
Sebelah alis Binar sedikit terangkat. “Minta yang bener.”
“Suapin, Binar.”
Binar menggeleng. “Masih belum bener.”
Bima mendengus kasar. Ia memangkas jarak mereka, mendekatkan bibirnya ke telinga Binar. “Haruskah saya makan kamu aja daripada pasta ini?” bisiknya lantas diakhiri dengan ciuman lembut di daun telinga Binar.
Sang wanita mendelik kaget, wajahnya memerah, bahkan lebih merah daripada udang di atas pasta.
“Jangan macem-macem! Cepet makan!” seru Binar sebal, menutupi debaran jantungnya yang tak karuan.
Pendapat Binar soal Bima yang tak berubah itu sepertinya perlu ditarik lagi. Nyatanya, Bima sebagai suami dan Bima sebagai pacar itu jelas-jelas jauh berbeda!
“Kamu mau tahu apa yang saya obrolkan dengan tante Ana semalam sampai tante Ana meluk saya?” Bima membuka percakapan saat Binar mulai menyuapinya makanan.
Binar mengangguk, siap mendengarkan dengan seksama.
“Tante Ana itu pernah diselingkuhi sama suaminya.”
Baru kalimat pembuka sudah mampu membuat Binar tertegun. “Terus?”
“Suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuan tante Ana, bahkan sampai mereka punya anak.”
Kedua netra Binar membola. “Suami tante Ana punya anak sama selingkuhannya?”
Bima mengangguk. “Dan waktu ketahuan itu, anaknya udah gede. Udah SD kelas 6 kalau nggak salah.”
“Astaga!” Binar menutup mulutnya dengan tangan. “Kenapa lama banget baru ketahuan?”
“Karena tante Ana terlalu percaya sama suaminya. Dia selalu percaya kalau suaminya keluar kota berhari-hari itu ya beneran karena urusan pekerjaan. Tante Ana nggak tahu kalau ternyata suaminya sedang bersama istri keduanya.”
Binar menggigit bibir. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya tante Ana saat mengetahui fakta itu.
“Waktu itu aku sudah SMA. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana hancurnya tante Ana gara-gara pria b******k itu. Aku dan papa melabraknya, mengancamnya, membuat dia memilih antara tante Ana dan istri keduanya.”
Binar kembali menyuapi Bima gulungan besar pasta. Obrolan terjeda sejenak, Bima mengunyah makanannya.
“Dan kamu tahu dia memilih siapa?” Bima menatap istrinya lekat.
“Jangan bilang istri keduanya?”
Bima mengangguk. “Dia bilang, dia sangat mencintai istri keduanya itu dan tidak bisa melepaskannya. Dia lebih memilih menceraikan tante Ana.”
Binar mendesah berat, termenung kemudian. Binar merasa seperti dejavu. Kisah rumah tangga tante Ana mirip dengan ibunya, tapi berbeda.
“Tante Ana hancur sekali waktu itu. Hidupnya berantakan, dia bahkan sempat kecanduan alkohol. Sampai akhirnya, papa mengirim tante Ana ke Aussie, menyuruhnya memulai hidup baru di sana.” Ada jeda sejenak. “Karena itu, waktu tante Ana bilang lagi deket sama om Bagas, aku sama papa sedikit merasa waspada. Aku takut tante Ana hancur lagi kayak waktu itu. Dan yang kamu lihat semalam, itu sebenarnya aku marah banget karena khawatir. Makanya tante Ana menenangkanku dengan memelukku.”
Binar baru menyadari, bukannya memang wajar seorang tante memeluk keponakannya sendiri? Apalagi ternyata ada masalah seberat itu yang melatarbelakangi kedekatan mereka.
Binar menoleh, menatap Bima lekat.
“Kenapa?” tanya Bima bingung. “Kamu takut aku tiba-tiba punya istri kedua juga?”
“Hah?!” Binar terbelalak. Kenapa suaminya itu menebak sampai jauh ke sana? Eh, tapi… bagaimana jika itu betulan terjadi?
Tiba-tiba, sorot mata Binar berubah ngeri.