“Nggak akan, Binar. Aku sekarang tahu kenapa suami tante Ana selingkuh. Itu karena mereka menikah tanpa cinta, mereka dijodohkan. Sayangnya setelah menikah tante Ana justru jatuh cinta sendirian. Suaminya jatuh cinta dengan perempuan lain.”
“Kenapa kamu nggak akan begitu?” tanya Binar dengan suara sedikit tercekat.
“Karena kita nggak dijodohkan.”
“Tapi kita menikah karena kecelakaan kan?”
Bima terdiam. Ia menatap manik mata istrinya lekat. Sorot matanya seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi entah mengapa bibirnya tak melontarkan kata-kata, seolah lidahnya kelu.
Hingga akhirnya, pintu ruang kerja Bima diketuk dari luar.
“Permisi, Pak.”
Binar mendelik, gelagapan. “Bapak makan sendiri aja, ya?” bisiknya panik. Ia buru-buru beranjak, hendak meninggalkan ruangan.
“Mau ke mana?” cegah Bima cepat.
“Ada orang mau masuk, Pak. Apa katanya nanti kalau ketahuan saya lama banget di dalam sini?” Binar melotot tajam. “Jangan lupa, kita masih harus merahasiakan pernikahan kita. Saya belum siap jadi bahan gosip kantor.”
Bima mendengus, masih menahan tangan Binar dalam genggamannya. “Tapi kamu sudah paham kan kalau saya dan tante saya nggak ada hubungan yang aneh-aneh?”
“Iya, Pak, paham. Cepet lepas, itu dia udah ketok berkali-kali loh,” ucap Binar sambil menengok ke arah pintu yang baru saja diketuk lagi.
Akhirnya Bima melepaskan tangan istrinya, membiarkan Binar berlalu.
Binar membuka pintu dengan cepat, tersenyum canggung saat mendapati Kiran berdiri di depan itu. “Mau ketemu pak Bima?”
“Loh, lo belum keluar dari tadi?” tanya Kiran heran.
“Biasa, si bapak banyak mau. Ya udah sana lo masuk, mumpung pak Bima lagi santai makan tuh.”
Kiran mengangguk, bergegas masuk ke dalam ruangan. “Selamat pagi, Pak,” sapanya sopan.
“Pagi.” Bima membalas pendek.
“Ini bahan rapat untuk siang ini. Saya letakkan di meja Bapak, ya?”
“Nggak usah, taruh sini aja. Habis makan langsung saya baca.” Bima menunjuk meja tempat ia makan.
“Baik.”
Kiran menunduk, meletakkan dokumen di atas meja. Matanya tak sengaja melirik tangan Bima yang sedang memegang garpu. Seketika ia terbelalak dan buru-buru berpamitan pergi.
Setibanya di luar ruangan, Kiran heboh menghampiri Binar yang sudah sibuk di depan laptop.
“Binar, Binar, Binar! Gue ada bahan gosip baru!” serunya heboh. Matanya mendelik-delik seperti penari Bali.
“Apa sih? Gosip apa?” balas Binar tak acuh.
“Lo tahu nggak apa artinya kalau cowok pake cincin di jari manis?” Kiran sudah mendekatkan kursinya ke kursi Binar, siap bergosip.
“Hm? Apa? Tunangan ato nikah kan?”
“Dan pak Bima pake cincin di jari manisnya, Binar!” Kiran memekik tertahan, heboh sekali.
“Hah?!” Binar tergagap. Setengah mati menyamarkan ekspresi terkejutnya. Ia melirik jari manisnya sendiri, ada cincin juga di sana!
Binar buru-buru menurunkan tangannya, melepas cincin itu cepat.
“Nah kan! Reaksi gue juga tadi gitu di sana, makanya gue buru-buru keluar ruangan. Nggak tahan pengen cerita sama lo.”
Binar menelan ludah gugup. “Emang… sebelumnya pak Bima nggak pernah kelihatan pake cincin di jari manisnya, ya?”
Pertanyaan bodoh. Siapapun tahu bahwa Bima tak pernah mengenakan cincin!
“Nggak pernah! Aksesoris tangan dia itu cuma jam tangan setengah miliar-nya itu.” Kiran menyandarkan tubuhnya, menerawang. “Gue penasaran, siapa ya ceweknya? Model atau artis? Atau anak konglomerat juga? Pasti deh cantik banget, mana mau cowok sekelas pak Bima sama cewek remahan rengginang kayak kita.”
Binar meringis, tertawa miris.
Inilah kenapa ia setuju untuk merahasiakan sementara pernikahan mereka. Begitu juga dulu saat ia memutuskan untuk pacaran backstreet dengan bosnya sendiri. Takkan ada yang percaya bahwa ia dan Bima sekarang adalah sepasang suami istri.
Para karyawan pasti akan bergosip bahwa dirinya menggoda Bima dengan tubuhnya supaya mereka bisa menikah. Atau lebih parahnya lagi, ia akan dituduh hamil dengan pria lain, tapi menjebak Bima untuk bertanggung jawab karena ia ingin mengeruk harta bosnya itu.
Membayangkannya saja sudah mampu membuat Binar bergidik ngeri, apalagi kalau kejadian betulan? Tidak, ia sama sekali belum siap.
“Bin, lo kok nggak nanggepin sih?” tegur Kiran.
Binar sudah hendak bicara ketika Bima keluar dari ruangannya. Pria itu langsung menatap Binar, seolah hanya ada Binar seorang di sana.
Melihat si bos sudah siap, Binar dan Kiran segera berdiri. Bersiap menghadiri rapat mingguan.
***
“Tuh kan, coba lihat, Bin.” Kiran berbisik, menyikut lengan Binar. “Dia pake cincin di jari manisnya.”
“Diem, Kiran. Dengerin si bos ngomong apa, nanti lo disuruh ngulang penjelasan beliau baru tahu rasa loh!” ancam Binar, setengah berbisik.
Kiran langsung melipat bibir, diam seketika. Namun tak butuh waktu lama, wanita itu sudah bicara lagi.
“Gue kayaknya tahu deh siapa ceweknya,” bisiknya tiba-tiba.
“Hah? Siapa?” Mau tak mau, Binar menoleh. Tapi ia buru-buru memperbaiki ekspresi ketika Bima terlihat melirik ke arahnya.
Binar pura-pura mengambil air mineral di tengah meja. Meneguknya agar tenggorokannya sedikit lega sekaligus mengusir canggung.
“Dulu pernah ada gosip kalau pak Bima tuh deket sama designer gitu. Soalnya si designer ini deket sama ibunya pak Bima. Kayaknya sama itu deh, mereka juga kelihatan cocok banget.”
“Uhuk!” Binar terbatuk seketika. Air di mulutnya nyaris muncrat jika ia tak menutupinya dengan tengan.
Namun bukan itu yang menarik perhatian para peserta rapat hari ini. Melainkan reaksi Bima yang terlihat panik.
Pria itu langsung berdiri, menghampiri Binar dan bertanya khawatir. “Kamu nggak apa-apa, Binar?”
Binar menggeleng, mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa dirinya baik-baik saja meski tetap terbatuk.
“Uhuk, uhuk!” Binar tetap terbatuk-batuk.
Bima menepuk-nepuk punggung Binar pelan. “Ini, coba minum lagi.” Ia menawarkan botol air mineral yang tadi diminum Binar.
Binar segera menyambarnya, meneguknya pelan, barulah batuknya perlahan mereda.
“Udah enakan?” tanya Bima perhatian.
Binar mengangguk. Wajahnya sudah memerah. Ia ingin bersembunyi di bawah kolong meja sekarang juga. Lihatlah, semua orang sedang menatapnya. Beberapa berdehem pelan, beberapa menatap bingung, dan sisanya menghujaninya dengan tatapan curiga.
Sayangnya, penderitaan Binar masih harus berlanjut. Karena kini Bima telah mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku. Tangan kirinya terulur, mengangkat dagu Binar hingga sang wanita mendongak, sementara tangan kanannya menyeka mulut Binar dengan sapu tangan.
“Lain kali kalau minum hati-hati, pelan-pelan aja biar nggak tersedak kayak tadi,” tegurnya lembut dengan tatapan yang sama sekali tak beralih dari wajah wanita di hadapannya.
Lantas, Bima kembali ke kursinya sambil memasukkan sapu tangannya kembali ke dalam saku. Lalu ia melanjutkan rapat seperti tak terjadi apa-apa. Padahal hampir seluruh pasang mata kini menatap Binar dan Bima bergantian.
Termasuk Kiran yang duduk di sebelah Binar. Di wajahnya seolah ada tulisan, ‘ada hubungan apa lo sama pak Bima, hah?’