Sebelum ditodong berbagai pertanyaan oleh Kiran, Binar buru-buru mengekor Bima masuk ke ruangannya.
“Kenapa tadi kamu begitu sih?” todongnya kesal.
Bima melirik istrinya sekilas, kembali melepas jasnya, menyampirkannya di kursi. Sementara ia duduk di tepi meja, menatap Binar lekat dengan sepasang matanya yang layaknya permukaan danau di malam hari. Tenang dan misterius.
“Begitu gimana?” tanya Bima tenang.
“Tadi waktu rapat, gimana kalau setelah ini ada banyak gosip soal kita?”
“Terus kamu maunya gimana? Saya diam aja waktu lihat kamu batuk-batuk begitu?” Sebelah alis Bima terangkat, menantang.
“Iya. Kayak biasanya kamu cuek sama karyawan gitu loh. Nggak usah sok perhatian begitu.”
“Sok perhatian kamu bilang?”
Binar terdiam, dadanya naik turun dengan cepat karena kesal.
“Saya nggak sok perhatian, Binar. Saya memang khawatir lihat kamu batuk-batuk begitu.”
“Ya tapi nggak usah pake ngelap mulutku segala dong. Itu jelas-jelas treatment yang nggak kamu lakukan ke orang lain, Bima!”
“Kenapa kamu marah banget?” Bima sudah berdiri, berjalan mendekati sang istri. Tubuh setinggi 183 sentimeter itu berdiri menjulang di hadapan Binar. “Apa salah kalau seorang suami menunjukkan perhatian pada istrinya?” tanyanya dengan suara rendah dan dalam.
“Masalahnya kita sedang merahasiakan pernikahan kita, Bima.” Binar melempar tatapan memohon, berharap Bima sedikit melunak.
“Ck, saya nggak pernah setuju buat merahasiakan pernikahan kita,” pungkas Bima lantas berbalik dan duduk di kursinya.
“Iya iya, memang aku yang setuju. Tapi untuk sekarang, memang itu yang terbaik buat kita, Bima.”
“Buat kita?” sergah Bima dengan kening yang sedikit berkerut. “Bukan buat kita, tapi buat kamu dan nama baik perusahaan kita. Saya sih bisa menanggung apapun konsekuensi mengumumkan pernikahan kita ke publik. Tapi kamu enggak kan?”
Binar tertegun. Kalimat Bima seperti menusuk dadanya tepat di jantung.
Benar, memang Binar setuju karena ia mengkhawatirkan dirinya. Ia tak peduli bagaimana pernikahan mereka akan berdampak bagi perusahaan, asal tidak merugikan dirinya, kalau harus merahasiakan pernikahan pun akan ia lakukan. Ia benar-benar belum siap menjadi bahan gosip karyawan kantor!
Kalau sudah digosipkan orang kantor, bukan hanya seluruh karyawan TravelYuk yang akan mendengarnya, bahkan seluruh gedung setinggi dua puluh lima lantai ini akan mengetahui gosip itu!
Binar mendesah pelan. “Tapi orang tua kamu kan juga setuju merahasiakan pernikahan kita?”
“Saya bilang, saya siap menanggung konsekuensi apapun termasuk menentang orang tua saya. Asal kamu bersama saya, saya akan maju, Binar. Tapi kamu malah setuju dengan ide konyol itu.” Bima tertawa sinis. Mengambil sebuah dokumen dan mulai membacanya. “Kalau nggak ada lagi yang mau kamu bicarakan, silakan keluar. Pembicaraan ini nggak akan ada ujungnya, kamu akan tetap mau merahasiakan pernikahan kita kan?”
Perasaan Binar jadi campur aduk. Ia yakin saat masuk ke ruangan Bima ia merasa sangat kesal pada pria itu. Tapi sekarang, ia justru sedikit merasa bersalah dan ragu.
Binar maju selangkah, ia meremas jemari gelisah.
“Ada apa lagi?” tanya Bima.
“Setidaknya… sampai ketahuan aku hamil atau enggak,” lirih Binar.
Sebuah seringai tipis terkembang di wajah Bima. “Bulan depan, saat tiba waktunya kamu harusnya menstuasi, telat sehari langsung tes, oke?”
“Hah? Mana bisa ketahuan kalau baru telat sehari?”
“Bisa. Beli alat tes yang bagus. Berapapun akan saya beli,” ucap Bima angkuh.
Binar memutar bola matanya jengah. Ia masih belum terbiasa dengan sikap Bima yang angkuh itu. “Ya sudah, aku keluar dulu.”
“Iya. Jangan lupa pesan tiket pesawat dan paket bulan madu ke Bali, Binar.” Bima berpesan. Ia bicara tanpa menoleh, masih membaca dokumen di tangannya.
“Harus ke Bali?” tanya Binar lagi.
“Kamu mau ke mana?”
“Hm… belum tahu. Tapi boleh nggak kalau bukan Bali? Tempat lain kan banyak?”
Bima tersenyum tipis. “Boleh. Sebebas kamu aja. Pesankan paket bulan madu yang paling bagus dan eksklusif, oke? Jangan khawa—”
“Jangan khawatir soal uang?” potong Binar cepat. “Iya iya, saya tahu Bapak sangat kaya sampai nggak peduli soal uang Bapak sendiri.”
Bima tertawa pelan, amat pelan. Namun sukses membuat Binar melongo. Pasalnya, ini pertama kalinya ia melihat bosnya itu tertawa. Bahkan itu tak bisa disebut sebagai tawa. Hanya sebuah senyuman yang jauh lebih lebar daripada biasanya.
***
Binar memilih untuk tidak pulang bersama Bima agar gosip di kantor tidak semakin membesar. Tadi ia sudah kewalahan mengatasi Kiran yang terus menodongnya dengan berbagai pertanyaan. Ia tak mau lebih kesulitan lagi menangani rekan kerjanya itu jika ia ketahuan pulang bersama Bima.
“Jangan tunggu aku pulang, aku mau makan malam dulu sama Januar,” ucap Binar sesaat sebelum pulang kerja tadi.
“Januar lagi. Bisa nggak sih kamu nggak usah ketemu dia lagi?” Bima merengut kesal.
“Nggak bisa. Kami bersahabat dari SMA, dia adalah orang yang menemaniku di saat-saat paling rendah di hidupku. Aku nggak akan melepaskan orang berharga di hidupku hanya karena kamu memintanya,” ucap Binar tegas.
Bima mendengus. Masih merengut tak suka. Tapi ia tak membantah.
Binar berdehem pelan, tersenyum profesional. “Saya pamit pulang, ya, Pak. Bapak mau saya antar ke bawah?”
“Iya.” Bima berdiri, mengambil jasnya yang tersampir di kursi, lalu mengenakannya.
Ia mulai berjalan menghampiri Binar, mengulurkan tangan.
“Apa?” tanya Binar bingung.
“Pegang.”
“Ngapain?”
“Pulang sambil pegangan tangan.”
“Udah gila!” sembur Binar kesal. Ia buru-buru mendorong tubuh jangkung suaminya. “Sana cepet pulang! Januar udah nunggu dari tadi.”
“Ck, apa sih spesialnya Januar dibanding saya?”
“Banyak! Udah sana-sana!”
Akhirnya sepasang suami istri itu pulang seperti biasa. Seperti tak ada ikatan apa-apa di antara mereka. Binar mengangguk sopan saat mereka berpisah di lobi kantor, seperti sedang melepas kepulangan bosnya. Lantas detik berikutnya, ia sudah berlari menghampiri Januar yang juga sudah menunggunya di parkiran.
“Makan di mana?” tanya Binar tak sabar.
“Gue pengen sate. Makan pinggir jalan yuk?”
“Boleh boleh.” Binar mengangguk antusias. “Jajan juga, ya? Lo yang traktir?”
“Bahkan setelah lo jadi istri anak konglomerat pun masih minta gue yang traktir? Bener-bener lo, Binar!” Januar menyentil jidat Binar, tapi yang disentil justru tertawa lepas. Ekspresi yang amat Januar sukai. Pun ekspresi Binar yang hampir tak pernah ia tunjukkan pada Bima sekalipun.
Sepasang sahabat itu akhirnya berkendara menggunakan mobil Januar, berkeliling kota Jakarta mencari pedagang sate favorit mereka.
Saat langit mulai gelap, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah pedagang sate yang terlihat sibuk melayani pembeli.
“Bang, pesen dua porsi, ya? Pake lontong.” Januar yang memesan.
Pedagang sate itu mengacungkan jempol. Januar dan Binar pun mencari tempat duduk yang agak jauh dari keramaian antrian pembeli sate.
“Gue kira pak Bima nggak bakal ngizinin lo pergi sama gue.” Januar membuka obrolan.
“Gue kabur kalau dia nggak ngizinin,” sahut Binar enteng.
Januar tertawa pelan. “Eh, gue penasaran sama sesuatu deh.”
“Hm? Penasaran apa?”
“Lo pernah bilang, gue mau temenan lagi sama lo atau enggak kalau lo jadi janda. Itu kenapa sih lo tanya gitu? Ada hubungannya sama pernikahan lo sama pak Bima?”