Bab 14. Perintah Ibu Mertua

1169 Kata
“Lo tahu gue nggak cocok sama sifatnya pak Bima, dan lo tahu kenapa gue milih buat nikah sama dia sekarang. Kita bikin perjanjian, Jen. Kalau gue nggak hamil anaknya, berarti pernikahan kita cuma sampai gue terbukti nggak hamil. Tapi kalau gue hamil, pernikahan kita bakal sampe gue ngelahirin anaknya aja.” “Apa?” Januar terbelalak. “Kalian gila, ya? Main-mainin pernikahan kayak gitu?” “Mau gimana lagi? Kita terpaksa begini, Jen. Makanya gue tanya, lo mau nggak temenan sama gue kalau gue janda?” “Ya maulah!” “Nah, ya udah.” Obrolan saat mereka makan sate tadi terus terngiang di benak Januar. Pria itu tak mampu menahan senyum. Ia bahkan tertawa pelan saking senangnya. “Berarti gue masih ada kesempatan, kan?” gumamnya sambil menyetir pulang ke apartemennya. Tiba-tiba, Januar teringat akan janjinya pada orang tuanya kemarin. Ia buru-buru memasang handsfree, menelpon mamanya. “Halo, Ma?” sapanya saat telepon sudah tersambung. “Ada apa, Nak?” “Ma, perjodohan besok batalin aja. Aku udah nggak minat.” “Hah? Kamu kok seenaknya gini sih, Janu? Mama bilang apa sama tante Soraya kalau kamu membatalkan tiba-tiba begini?” Suara mama Januar langsung melengking tinggi. “Aku udah nggak minat, Ma. Percuma juga besok kalau aku datang, aku nggak bakal betah di sana.” “Kamu nggak bisa membatalkan tiba-tiba begini, Januar. Mama dan tante Soraya sudah menantikan ini jauh-jauh hari. Mama mau bilang apa besok kalau kamu nggak ikut ke rumah tante Soraya?” “Bilang aja aku lagi sibuk. Lembur kerja gitu, Ma.” “Jangan bicara sembarangan, Januar! Mau ditaruh mana muka Mama dan papa kalau tiba-tiba batal begini? Mama nggak mau tahu, mau kamu minat atau enggak, pokoknya besok kamu harus tetap ikut ke rumah tante Soraya!” Akhirnya mama Januar memberi ultimatum. Januar mendengus. “Kalau gitu jangan salahkan aku kalau aku nggak betah dan mengabaikan anak tante Soraya di sana.” Lengang sejenak. Januar bisa menebak kalau mamanya itu sedang mati-matian menahan kesal. “Ya sudah terserah kamu! Pokoknya besok kamu harus tetap datang. Jangan terlambat dan jangan malu-maluin Mama. Kamu dengar itu, Januar?” Januar menghela nafas pelan. “Iya, dengar.” Maka keesokan harinya, Januar memang benar-benar datang. Tapi bukan Januar namanya kalau tidak berulah demi menggagalkan rencana perjodohannya sendiri. Makan malam di rumah tante Soraya itu memang berlangsung hangat. Mama Januar dan tante Soraya kerap menggoda Januar dan putrinya sendiri —Sabrina. Setiap kali digoda, Sabrina akan tersipu malu, tapi Januar hanya memasang tampang datar. Lantas, seperti yang sudah-sudah, mama Januar menyuruh Januar menemani Sabrina mengobrol setelah makan. Sementara para orang tua mengobrol sendiri di ruang tamu. “Katanya, kamu nggak kerja di perusahaan papa kamu, ya?” tanya Sabrina. “Iya.” Januar menjawab tak acuh. Ia sedang memutar otak untuk mengakhiri upaya perjodohan ini. “Kenapa? Kamu kan bisa bebas milih posisi di kantor papa kamu?” Sabrina bertanya sungguh-sungguh, penasaran. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benak Januar. “Di kantorku yang sekarang bosnya keren.” Ia tersenyum simpul. “Eh, keren gimana?” “Penampilannya keren, cara kerjanya keren, semuanya keren.” “Bos kamu… cewek?” tanya Sabrina lagi, wajahnya tampak sedikit masam. Januar menoleh, tersenyum penuh arti. “Enggak, cowok.” Sabrina terbelalak. Ia seperti hendak bicara lagi, tapi buru-buru mengurungkan. “Loh, ada Januar?” sapa seorang pria yang sudah berdiri di ambang pintu teras belakang. Januar tersenyum, berdiri. Ia menyalami pria itu. “Apa kabar, Bro?” “Baik. Lo gimana?” “Yah, gini-gini aja.” Pria itu tertawa. “Gue naik dulu, ya? Gerah banget baru pulang kerja.” Januar mengangguk, lalu kembali duduk. “Kakak kamu juga keren,” lirihnya dengan sebuah kerlingan nakal. Sabrina ternganga, lalu detik berikutnya ia segera berpamitan pergi. Sementara Januar mati-matian menahan tawa. Strateginya berhasil. Saat ini, Sabrina pasti mengira dirinya adalah seorang gay. *** “Kamu mau ke mana?” Pertanyaan Ratna mencegah langkah Binar untuk menyusul Bima ke kamarnya. Ia berbalik, menatap ibu mertuanya canggung. “Nyusul mas Bima ke kamar, Ma,” jawabnya disertai senyuman. Ratna mendesah, menggeleng pelan. “Mau kamu setelah makan malam langsung tidur gitu, ya? Malas sekali?” Keningnya berkerut, tangannya bersedekap di depan d**a. “Nggak pernah diajari ngurus suami sama ibu kamu?” Ah, Binar bisa merasakan tatapan merendahkan itu. Ia pernah menerimanya dulu. Gara-gara itu, Binar mudah merasa rendah diri. Seperti saat ini, ia jadi langsung tertunduk. “Ayo, Mama ajari apa saja yang harus kamu lakukan sebelum tidur.” Binar mendongak, segera menyusul mama mertuanya yang berjalan lebih dulu. Ratna berjalan menuju dapur, menyalakan lampu. “Coba lihat, kalau masih ada piring kotor, cuci dulu.” “Eh?” Binar tertegun, bingung. “Kenapa? Kamu kira bakal ada pembantu yang cuci piring? Memang ada, tapi kalau mereka nggak sempat ya cuci sendiri. Pekerjaan mereka juga banyak, jangan manja!” Ratna berjalan lagi meninggalkan sink, menuju kulkas. Ia membuka isi kulkas. “Kamu mau masak apa untuk sarapan Bima besok?” “Hah? Yang masak… saya?” Binar menunjuk dirinya sendiri, bingung. Ratna berdecak kesal. “Iya dong. Kamu juga harus siapkan bekal buat Bima. Dia agak rewel kalau makan di luar.” Binar menggaruk pipinya. “Perasaan si Bima selalu makan di luar deh, nggak pernah bawa bekal. Ini kenapa beda, ya?” “Jadi mau masak apa?” “Ah, itu… masak yang simpel mungkin, Ma. Sandwich atau salad mungkin?” “Ck, dasar anak muda zaman sekarang, maunya yang gampang-gampang. Nggak bisa dong, masak tuh harus yang gizinya lengkap. Kamu kira Mama ngebesarin Bima sembarangan? Enggak. Mama perhatikan setiap detail gizi makanannya,” sembur Ratna ketus. Binar menelan ludah. Ia benci situasi ini. Dibentak, dilabeli dengan label buruk, dipandang rendah, ia benci. Karena mengingatkannya pada pengalaman traumatisnya saat ia masih kecil dulu. “Ayo sini! Lihat isi kulkasnya, kamu mau masak apa?” Binar mendekat, menatap isi kulkas dari atas sampai bawah. Beruntung ia dibesarkan oleh ibu yang pandai memasak. Urusan dapur sih enteng. “Karena sarapan butuh masak yang cepat tapi tetap bergizi, mungkin saya mau masak tumis sayur sama ayam goreng aja. Gimana menurut Mama?” Binar tersenyum, merasa telah melakukan hal benar. “Sarapan kok ayam goreng? Berminyak!” semprot Ratna. “Pikirkan yang lain!” Sekali lagi, Binar menelan salivanya susah payah. Nyalinya mulai menciut. Ratna terus melangkahkan kaki keluar dapur. Binar mengekor di belakangnya. Tiba-tiba ia berbalik saat mereka tiba di dekat tangga. “Besok, bangun yang pagi. Masak yang enak dan bergizi. Buatkan bekal untuk Bima juga. Pokoknya jam 6 semuanya harus sudah beres. Jangan lupa juga siapkan pakaian kerja Bima sebelum kamu tidur. Kamu mengerti?” Ratna menatap tajam menantunya. Binar mengangguk patah-patah. “Ya sudah, sana naik! Oh, sebelum itu, cuci dulu piring yang belum dicuci tadi.” “Iya, Ma.” Ratna mendengus, lantas pergi meninggalkan Binar yang masih berdiri canggung. Selepas Ratna pergi, Binar menghela nafas berat. “Untung aja gue nggak akan lama jadi menantunya,” lirihnya lalu berbalik kembali ke dapur dan melaksanakan perintah ibu mertuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN