Chapter 6- Mencari Tahu

1184 Kata
Riiinnnggg! Bunyi alarm tepat pukul setengah enam pagi memenuhi kamar Aresha dengan suara yang bising. Tepat di deringan kedua, Aresha terbangun. Matanya mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadaran dirinya. Dengan malas, dia mematikan alarm di wecker model retro vintage ala Korea yang ada di samping tempat tidurnya. "Hoaaamzz!" Aresha menguap lebar sambil menegangkan otot-otot tubuhnya yang masih terasa kaku. "Morning, Aresha," sapanya pada dirinya sendiri, seolah menyemangati. "Hari ini aku punya waktu lima belas menit lebih lama," gumamnya sambil tersenyum kecil, mengingat bahwa hari ini adalah hari pertama dia akan sengaja terlambat ke kantor. Namun, rutinitas pagi yang sudah dia jalani selama tiga tahun terakhir telah menjadi kebiasaan yang sulit diabaikan begitu saja. Setelah bangun, Aresha melangkah menuju dapur untuk membuat segelas s**u hangat. Tidak butuh waktu lama, dia langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi. Hanya sepuluh menit, dan Aresha sudah selesai dengan ritual mandinya. Dia memutuskan untuk mengenakan pakaian semi-formal ke kantor hari ini. Aresha memadukan blazer oversize berwarna kuning dengan celana jeans abu-abu muda. Penampilannya dilengkapi dengan high heels setinggi lima sentimeter dan handbag putih yang baru dibelinya kemarin. Rambutnya ia biarkan terurai, memperlihatkan keindahan rambut panjangnya yang telah diwarnai burgundy. Warna itu membuat rambutnya tampak lebih berkilau. Setelah itu, dia memoleskan makeup tipis di wajahnya dan menambahkan lip cream berwarna peach untuk menyempurnakan penampilannya. Aresha berdiri di depan cermin, mematut dirinya dengan seksama. "Hmm, not bad," ucapnya puas melihat pantulan dirinya di cermin. Setelah selesai bersiap, Aresha melirik jam di ponselnya. "Baru jam tujuh. Jalan ke kantor cuma sepuluh menit, jadi masih ada waktu tiga puluh menit. Biasanya Pak Alvarro sarapan jam tujuh lewat lima belas menit," ujarnya sambil berpikir keras. Biasanya, di jam seperti ini, dia sudah berangkat ke kantor dan mampir ke kafe untuk membeli sarapan bagi bosnya. Tapi hari ini berbeda. Aresha gelisah. Dia mondar-mandir di dalam kost-annya. Perasaannya tidak tenang, namun dia sudah bertekad untuk memulai aksi protes dan balas dendamnya hari ini. Mungkin, ini adalah satu-satunya cara agar dia bisa dipecat oleh bos bulenya yang menyebalkan itu. Sementara itu, di kantor, Alvarro tiba tepat pukul tujuh pagi. Seperti biasa, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Dia melirik sekilas ke arah meja sekretarisnya yang masih kosong, lalu berjalan masuk ke ruangannya tanpa ekspresi. Lima belas menit berlalu. Alvarro melirik jam tangannya. "Sudah jam tujuh lewat lima belas menit. Kenapa kopi ku belum ada?" gumam Alvarro sambil mengerutkan dahi. Dia menekan tombol intercom yang terhubung ke meja sekretarisnya. Namun, tidak ada jawaban. Dengan cepat, Alvarro melirik layar monitor CCTV yang terhubung langsung ke ruangannya. Dia tidak mendapati sekretarisnya di meja. "Apa dia tidak masuk?" ujarnya dengan nada khawatir. Alvarro mencoba mengalihkan pikirannya dengan kembali berkutat pada dokumen-dokumen di mejanya. Namun, sesekali dia tetap melirik ke jam tangannya. "Sudah setengah delapan," gumamnya lagi, kali ini sambil mengetukkan ujung sepatunya ke lantai. Suara hentakan itu terdengar berisik, memenuhi ruangan yang sunyi. Sementara itu, Aresha melihat jam di ponselnya dan keluar dari kost-annya tepat pukul tujuh lewat dua puluh menit. Dalam perjalanan menuju kantor, dia mampir ke Cafe Zoe untuk membeli sarapan untuk dirinya sendiri, sekaligus kue pendamping kopi untuk bosnya. "Pagi, Nona Aresha!" sapa Vincent, barista kafe itu, dengan ceria. "Pagi, Kak Vincent!" balas Aresha, tak kalah semangat. "Tambah cantik aja nih!" goda Vincent, terpukau melihat penampilan Aresha pagi itu. "Hehehe, thank you, Kak! Oh iya, Kak, aku pesan strawberry cakes-nya dua, ya!" ujar Aresha sambil tersenyum tipis, memperlihatkan smirk khasnya. Vincent mengerutkan kening, bingung. Baru kali ini Aresha memesan strawberry cakes. Biasanya, dia hanya memesan cheesecake atau tiramisu. "Buat kamu?" tanya Vincent penasaran. "Bukan, Kak!" jawab Aresha santai sambil melirik ponselnya. Vincent akhirnya memilih diam, tak melanjutkan rasa penasarannya, dan segera menyiapkan pesanan Aresha. "Thank you, Kak!" seru Aresha setelah selesai membayar dengan kartu debit khusus yang diberikan oleh Alvarro untuk kebutuhan kerjanya. Dia meninggalkan kafe dengan langkah ringan dan senyum puas di wajahnya. Vincent hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Aresha. "Apa Aresha nggak tahu kalau Alvarro nggak suka strawberry?" gumam Vincent pelan. Di ruangannya, Alvarro semakin gelisah. Kini sudah pukul setengah delapan, dan sekretarisnya itu belum juga datang. Tok tok tok! Alvarro terkejut mendengar suara ketukan pintu. Dengan cepat, dia kembali duduk di kursinya, berusaha bersikap tenang sambil menatap dokumen-dokumen di mejanya. "Permisi, Pak," seru Aresha sambil membuka pintu. Dengan langkah santai, Aresha berjalan mendekat dan meletakkan secangkir kopi serta dua potong strawberry cakes di meja bosnya. Alvarro melirik sekilas ke arah meja dan melihat kue yang sangat tidak dia sukai. Namun, bukannya marah atau protes, dia justru mengangkat wajahnya dan menatap sekretarisnya itu. "Terima kasih, Nona Aresha," ucap Alvarro singkat sambil mengambil cangkir kopi dan meminumnya. "Hah?! Sejak kapan dia bisa menyebut namaku dengan benar?" batin Aresha, bingung sekaligus heran. "Sama-sama, Pak," jawab Aresha singkat, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Alvarro kemudian mengambil piring kecil berisi kue itu dan menyuapkan potongan demi potongan strawberry cake ke mulutnya. Aresha hanya bisa menatapnya dengan ekspresi penuh kebingungan. "Apa Pak Alvarro selama ini tidak bermasalah dengan strawberry cake? Tapi aku baca dengan jelas dari catatan sekretaris lama kalau dia sangat tidak suka rasa strawberry!" batin Aresha, sambil tanpa sadar menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Kalau begitu, saya permisi, Pak," ucap Aresha sambil berbalik dan berjalan menuju pintu. Namun, tepat sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, suara Alvarro menghentikannya. "Tunggu sebentar!" Spontan Aresha berhenti dan berbalik ke arah suara itu. Dia melihat Alvarro berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat ke arahnya. "Ya, Pak?" balas Aresha gugup, sementara langkah Alvarro semakin mendekat. "Mampus... mati gue!" batin Aresha, yang tiba-tiba merasa tubuhnya menciut. Seketika, Alvarro mengangkat tangannya, membuat Aresha semakin ketakutan. Refleks, dia menutup matanya rapat-rapat, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang buruk. "Maaf," ucap Alvarro dengan nada lembut, membuat Aresha membuka matanya perlahan. Alvarro memegang kening Aresha dengan telapak tangannya, wajahnya begitu dekat hingga Aresha bisa melihat dengan jelas setiap detail di wajah bosnya itu. "Pak...?" gumam Aresha tanpa sadar, suaranya hampir tidak terdengar. Alvarro tetap memegang kening Aresha cukup lama, matanya menatap tajam seolah memastikan sesuatu. "Hmmm... Kau boleh pergi," ucap Alvarro santai sambil menurunkan tangannya dan kembali berjalan ke kursinya. "Ehh...? Ah... Iya, baik, Pak!" jawab Aresha gugup, masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia segera keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi. Sepi... Ruangan kembali terasa kosong setelah Aresha pergi. Alvarro menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya tertuju pada piring kecil di mejanya yang kini sudah kosong. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia menghabiskan strawberry cake sebanyak itu. "Arghh... Ada yang tidak beres dengan Nona Aresha!" gumam Alvarro sambil mengusap pelipisnya. "Selama tiga tahun bekerja denganku, dia tidak pernah terlambat... apalagi membuat kesalahan kecil seperti salah membawa kue tadi!" Alvarro menghela napas panjang. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. "Aresha selalu jadi yang paling handal dalam pekerjaannya. Dia satu-satunya sekretaris yang bisa mengikuti pola kerjaku. Dia adalah sekretaris sempurna!" ucapnya pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri. "Tapi Nona Aresha yang sehebat itu bisa melakukan kesalahan kecil seperti tadi? Apa dia sakit? Tapi tadi dia tidak demam..." Alvarro memejamkan matanya sejenak, mencoba mencerna semua hal yang baru saja terjadi. "Aku harus mencari tahu... Ada apa denganmu, Nona Aresha?" tekad Alvarro. Dia tidak rela kehilangan sekretarisnya yang selama ini menjadi tulang punggung pekerjaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN