"Nih orang suka banget bikin senam jantung!" batin Aresha sambil sedikit memundurkan dirinya, menjaga jarak karena kini posisi mereka sangat dekat.
"Hmm, iya, Pak... Eh, maksud saya, sudah gak sakit, Pak," jawab Aresha dengan gelagapan.
"Hati-hati," ucap Alvarro, kemudian berjalan masuk ke ruangannya.
"What?! Hati-hati? Siapa yang tiba-tiba berhenti coba?!" gumam Aresha kesal.
Aresha segera menuju mejanya dan menyiapkan keperluan meeting untuk pagi ini sesuai instruksi bosnya. Sebelum masuk ke ruangan Alvarro, Aresha membuat segelas kopi untuk bosnya itu.
Tok tok tok
"Permisi, Pak," sapa Aresha sambil membawa nampan yang berisi secangkir kopi dan sepotong blueberry mousse cake.
Alvarro melihat sekilas kue yang dibawa Aresha. Tiba-tiba, dirinya merasa kesal sendiri.
"Aku tidak suka kue ini!" seru Alvarro ketika Aresha meletakkan cangkir dan piring kue di mejanya.
Aresha menjadi bingung karena tadi dia tidak sempat membeli kue lain untuk bosnya.
"Tapi, Pak... Yang ada cuma kue ini," balas Aresha dengan nada tidak enak.
"Ehh... ini bisa jadi kesempatan!" batin Aresha senang.
"Tapi kalau Bapak tidak suka, boleh untuk saya? Karena semua kue dari Cafe Zoe sangat enak!" seru Aresha, berniat mengambil kembali piring kecil dari meja Alvarro.
"Siapa yang suruh kamu ambil?!" seru Alvarro marah.
"Maa-aaf, Pak..." jawab Aresha dengan gagap.
"Sht!"* batin Alvarro, sadar kalau dia sudah bersuara besar ke sekretarisnya.
"Ambil minuman kamu dan semua kue ini!" titah Alvarro dingin.
"Baik, Pak," jawab Aresha cepat, lalu keluar dari ruangan.
"Sht! Gue kenapa sih?!"* kesal Alvarro setelah Aresha menghilang dari ruangannya.
Tidak berselang lama, Aresha kembali masuk dengan membawa secangkir teh, sepiring kue, dan map-map yang akan dia berikan ke bosnya.
Melihat Aresha yang kesulitan, Alvarro segera berdiri dan menghampirinya. Dia mengambil nampan yang dipegang Aresha tanpa berkata apa-apa.
Alvarro berjalan menuju sofa dan menaruh nampan di atas meja. Aresha terdiam, terkejut melihat bosnya untuk pertama kali melakukan hal itu.
Dengan santai, Alvarro mengambil kopi dan piring kuenya, lalu memindahkan semuanya ke tempat yang sama dengan letak cangkir teh dan piring kue Aresha.
Kemudian, Alvarro duduk di sofa dan menatap Aresha dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Kemarilah!" seru Alvarro.
"Ehh...? Tapi, Pak?!" jawab Aresha bingung. Biasanya, kalau mereka membahas pekerjaan untuk meeting pagi, Aresha selalu duduk sendirian dan bolak-balik memberikan proposal ke Alvarro yang duduk di mejanya.
"Kemarilah!" ulang Alvarro sambil menunjuk jam tangan yang dia kenakan.
"Baik, Pak," jawab Aresha pasrah, lalu ikut duduk di sofa yang terpisah dari Alvarro. Padahal, Alvarro sengaja duduk di sofa yang cukup untuk tiga orang, berharap Aresha mau duduk di sebelahnya.
Aresha menjelaskan semua yang ada di proposal kepada Alvarro dengan serius. Tanpa Aresha sadari, Alvarro terus melihat ke arahnya.
Entah apa yang membuat perhatian Alvarro saat ini hanya terfokus pada Aresha yang sedang berbicara. Tanpa sadar, matanya tertuju pada bibir Aresha yang terus bergerak, berbicara dengan begitu baik. Kadang, tanpa Aresha sadari, dia menggigit bibir bawahnya ketika sedang berpikir.
Alvarro terus memperhatikan mata, hidung, dan bibir Aresha. Lalu, tanpa dia sadari, dirinya bergumam, "Cantik..."
"Ya, Pak?" seru Aresha bingung sambil melihat ke arah bosnya.
"Ah... maksud saya, desain kemasan makanan instan ini cantik," sambung Alvarro, berusaha tetap tenang.
"Yakin, Pak?" tanya Aresha sambil memperlihatkan ulang desain kemasan yang ada di proposal. Kata "cantik" sangat tidak cocok dengan desain tersebut, yang menampilkan gambar tengkorak dan api, didominasi warna hitam dan merah.
Alvarro mengernyitkan alisnya, membatin betapa bodohnya dia saat ini.
"Hmm... itu bisa lebih cantik apabila sesuai dengan isi makanan yang mereka jual. Mungkin dengan beberapa perubahan, akan membuatnya jauh lebih cantik dan bagus," sambung Alvarro dengan tenang.
Aresha yang mendengar penjelasan Alvarro mengangguk setuju dengan ucapan bosnya, lalu mencatat semua yang Alvarro katakan.
"Ok, meeting sudah selesai, kan?" seru Alvarro sambil menutup map berwarna biru di depan Aresha. Kini, Alvarro sudah berpindah tempat duduk menjadi lebih dekat, tepat di sisi Aresha.
Deg!
Kembali, Aresha dibuat jantungan oleh bosnya dengan gerakan tiba-tiba itu.
"I-iya, Pak," jawab Aresha, kemudian sedikit mundur karena tadi jarak mereka sangat dekat.
"Kalau begitu, saya permisi, Pak," seru Aresha, lalu hendak berdiri.
Namun, Alvarro dengan cepat menahan tangan Aresha. "Kamu lupa dengan janjimu semalam?" seru Alvarro sedikit tegas, masih menahan tangan Aresha.
"Janji?" balas Aresha, benar-benar lupa apa yang sudah dia janjikan kepada Alvarro.
"Duduklah!" titah Alvarro. Aresha pun menuruti perintahnya.
"Ehmm... Pak?" tegur Aresha sambil melirik ke arah tangan Alvarro.
Alvarro kemudian melepaskan tangan Aresha dan kembali duduk dengan tegap.
"Sekarang waktunya kamu ceritakan apa yang terjadi semalam?" seru Alvarro sambil menatap Aresha, menunggu jawaban.
"Ehmm... oh, itu, Pak..." Aresha menjadi bingung harus memulai dari mana. Hal pribadi seperti ini biasanya hanya dia ceritakan kepada Luna, sahabatnya.
Aresha sedikit menghela napas dengan berat. "Apa aku harus menceritakan masalah pribadi saya ke Bapak?" seru Aresha sedikit tegas.
Alvarro terkejut mendengar ucapan Aresha. Raut wajahnya berubah dingin, menatap Aresha dengan tajam. Namun, bukan Alvarro namanya kalau dia akan mengalah dan pasrah menerima apa yang orang lain katakan.
"Ya tentu saja. Karena kamu sekretaris saya!" jawab Alvarro santai sambil melipat kedua tangannya di d**a.
"What?!" pekik Aresha tanpa sadar mendengar jawaban dari Alvarro.
"Aresha!" seru Alvarro, suaranya terdengar mengintimidasi.
"Baik, baik, Pak!" kesal Aresha sambil menatap tajam ke arah bosnya.
"Kemarin itu saya melihat kekasih saya di restoran, tapi dia bersama wanita lain. Mungkin saja itu rekan bisnis atau tamu yang harus dia temani untuk berbicara mengenai perusahaan," jawab Aresha, mencoba tetap berpikiran positif.
Alvarro yang mendengarnya malah tersulut amarah. Tapi dia berusaha tenang, tidak memperlihatkan emosinya kepada Aresha.
"Lalu kenapa kamu tidak mencoba menghubungi kekasih kamu untuk memastikan?" seru Alvarro.
"Hmm... sudah, Pak. Tapi dia tidak mengangkat. Mungkin saja memang dia tidak bisa mengangkat ponselnya karena tidak enak dengan tamunya itu," jawab Aresha lagi.
"Apa gadis ini bodoh atau polos?!" batin Alvarro kesal.
"Siapa nama kekasih kamu?" tanya Alvarro.
"Untuk apa, Pak?" tanya Aresha bingung.
"Hmm... siapa tahu aku ketemu dengan dia. Jadi bisa menyapanya dengan baik," jawab Alvarro asal.
"Oh, namanya Erza. Erza Pratama," jawab Aresha santai, tidak memikirkan hal lain.
"Ok, Aresha. Terima kasih untuk hari ini," ujar Alvarro dengan senyum manis, kemudian berdiri.
"Oh my, tampannya ciptaan Tuhan!" batin Aresha melihat wajah bosnya yang begitu bersinar, ditambah efek pantulan sinar matahari pagi yang masuk dari celah kain jendela.
"Iya, sama-sama, Pak," balas Aresha, kemudian meninggalkan ruangan Alvarro sambil membawa nampan berisi gelas dan piring kosong.
Setelah melihat Aresha menutup pintu, Alvarro mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Cari informasi pria bernama Erza Pratama. Secepatnya!"