Dua

1855 Kata
Dua  Ia, sang Iblis, menatapku dengan kedua mata birunya yang indah dan dingin bagaikan es. Dan sejenak, nafasku tertahan, lidahku kelu, dan aku kehilangan kemampuan untuk berbicara. (Elma Jacobs, 1814) ------------------------------------------------------------------------------------- Dunford sedang membersihkan lumpur dari sepatu botnya ketika pintu penginapan terbuka dan seorang gadis melangkah masuk dengan kepala tertunduk. "Kau bisa bertahan di sini, manis?" Eloise mengangguk sambil menatap sekeliling kamar. Mereka menumpang tinggal di sebuah penginapan yang kecil namun nyaman. Ia baru saja memaksa dirinya menelan beberapa potong roti selai dan sebutir telur. Ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi semalam. Kereta berguncang sepanjang jalan yang tidak rata, membuat Eloise merasa dirinya mendapatkan beberapa memar di bokong dan punggungnya. Ia semalam terlelap di kereta, nyaris kelelahan karena berupaya mempertahankan kesadarannya namun gagal. Ia tidur seperti pingsan dan ketika terbangun, dirinya sudah berbaring di atas kasur yang hangat, berselimut, dan masih berpakaian lengkap. Mata biru Dunford menatapnya tajam, membuat Eloise mengalihkan pandangannya lagi. Eloise terbiasa menjadi seorang wallflower. Ia terbiasa dengan panggilan Unseen Elie, yang artinya Elie yang tidak terlihat. Itu, ditambah dengan kebiasannya mengenakan gaun cream kusam atau putih seperti dinding, membuat Eloise sama sekali tidak dipandang ketika menghadiri pesta pada season pertamanya. Karena itu, berhadapan dengan Dunford dan diamati untuk setiap gerak-gerik yang dilakukannya terasa meresahkan. Bahkan untuk menarik nafas pun membuat Eloise bergetar dengan antisipasi. "Miss Turner..." Dunford menelengkan kepalanya, lalu tersenyum, menampilkan sederetan gigi putih yang menawan, "Tidak terdengar apik, seharusnya aku memanggilmu sayangku, bukan begitu? Kita akan menikah sebentar lagi." Pipi Eloise memerah, ia bersyukur rambutnya tergerai sedikit menutupi telinganya. Ketahuan memerah sampai telinga terasa memalukan. Ia berusaha mempertahankan posisinya sama kuat dengan pria playboy tampan di depannya. Ia berusaha menampilkan sosok gadis berani yang tidak akan melemah di bawah tatapan mata biru Dunford, dan sejauh ini dia berhasil. Pria itu terus berusaha melemahkan lututnya, tetapi Eloise tahu ia masih kuat untuk bertahan dari seringai jahil Dunford. "Baiklah, ehm... kau bahkan tidak tersenyum, sungguh tidak menggemaskan." Dunford berdehem. Eloise berdiri sekaku patung lilin dan mengalihkan matanya. Ia yakin pipi gadis itu memerah, tetapi gadis itu dengan keras kepala mempertahankan sikap kakunya. "Aku yakin pernah mendengar ada seorang gadis cantik bernama Emilie Turner." "Dia kakakku..." Suara Eloise bergetar saat menyahut, membuat Dunford sesaat menoleh kepadanya. Tetapi reaksi apapun yang diinginkannya dari Eloise, kini tidak tampak sedikitpun dari gadis itu. "Kakakku membuat skandal dengan menikahi golongan pedagang. Aku butuh kau untuk memulihkan nama baik keluargaku." Dunford tertawa. "Kau tidak akan pernah memulihkan nama baikmu kalau menikah denganku. Pilihannya hanya dua, sayang. Pertama, membuat skandal karena menikah denganku. Kedua, membuat skandal seumur hidup setelah menikahiku." Eloise membatin dalam hati, sepenuh hatinya, bahwa Dunford pria yang tidak tahu malu dan kurang ajar. Ia berusaha terus mengingat kenyataan itu dan berharap senyuman menawan jahil yang ditunjukkan Dunford tidak akan membuatnya gamang. "Saatnya tidur, manis..." ujar Dunford sambil mengangkat selimut, menepuk kasur di sebelahnya. "Aku..." Eloise menarik nafas. "Aku akan tidur di kamar lain... atau di lantai..." Ia tidak mau terlihat norak, tetapi sungguh, tidak adakah sopan santun pada diri pria ini? Setidaknya kan, mereka belum resmi menikah. Setidaknya, sekarang cincin Dunford belum melingkar di jari Eloise. Walaupun Eloise sendiri tidak yakin Dunford menyiapkan cincin atau semacamnya untuknya. Pria itu terlihat sama sekali tidak peduli dan santai, membuat Eloise panas dingin sendiri. "Lantainya dingin dank eras. Berada di bawah selimut lebih nyaman. Kau tahu kenapa para kucing lebih suka menempelkan tubuh mereka saat tidur di musim dingin? Supaya terasa hangat. Kau bisa menganggapku kucing besarmu." Eloise melotot menatap Dunford dan berpikir, pria ini lebih menyerupai black panther daripada kucing. Eloise menutup matanya dan mendesah. Ia membongkar kopernya dan mencari-cari gaun tebal untuk dijadikan alas tidur di lantai. "Astaga, kenapa kau sama sekali tidak manis?" keluhan Dunford yang berlebihan sengaja diabaikan oleh Eloise. "Kemari." "Ahh!!" Eloise melepaskan pegangannya pada kopernya, terkejut karena Dunford sudah memeluk pinggangnya dan menggendongnya begitu saja. Kepala Eloise menempel pada dadanya yang kuat, sementara kaki Eloise berayun-ayun karena Dunford menggendongnya seperti menggendong pengantin wanita. "Tolong lepaskan saya, My Lord..." pinta Eloise. Ia merasa jengah dan terus mengalihkan pandangan dari otot dada Dunford yang terlihat kuat. Pria itu melonggarkan cravatnya lagi. "Tenang saja, manis..." Dunford menurunkan Eloise di atas tempat tidurnya, dan menarik selimut tebal itu sampai menutupi dagu Eloise. "Aku tidak akan menyerangmu malam ini. Belum..." ada lirikan jahil di kedalaman mata Dunford. "Aku lelah dan aku berniat melakukannya dengan benar nanti..." Jantung Eloise berdetak menyakitkan. Pria itu begitu dekat, Dunford-nya itu... calon suaminya. Pria yang dihampirinya dengan berani, dan menerima tawaran pernikahannya dengan senyuman misterius. Nafas pria itu terasa di pipi Eloise. Eloise menutup mata ketika pria itu mendekatkan wajahnya. Dunford mencium kening Eloise lembut. "Setidaknya, aku akan menjadi suami yang benar," bisik Dunford. "Dan kau boleh menjadi istri teladan untukku..." "Kedengaran membosankan..." protes Eloise. Dunford tertawa sebelum menyelipkan anak rambut Eloise ke belakang telinganya. "Kenapa kau selalu punya kata-kata balasan untukku? Dasar gadis bandel..." Tetapi, tidak ada sinisme ketika Dunford mengucapkannya. Bahkan, Eloise berani bersumpah, sorot mata pria itu terlihat nyaris tulus. Dunford mengambil tempat lilin dan meniupnya hingga padam. Ketika kasurnya lama tidak berderit, Eloise menyadari dengan terkejut bahwa Dunford sudah memposisikan diri dengan nyaman di atas sofa. "K-kau tidur di sana?" "Bagaimana lagi? Calon pengantinku ketakutan padaku..." canda Dunford. Eloise terdiam. "Lehermu akan terasa sakit besok." "Tidak, kurasa sofa ini cukup nyaman." Eloise terdiam lagi. Hatinya terasa tidak nyaman dan iba. Namun, ia yakin seratus persen kalau membiarkan Dunford tidur di sebelahnya, ia tidak akan bisa memejamkan mata sedetik pun. Ada beberapa pria yang bahkan keberadaannya sama sekali tidak terasa nyata, Dunford jelas tidak masuk ke dalam kategori tersebut. Pria itu muncul dengan karisma, percaya diri, dan tatapan yang tajam seolah ia bisa melihat sampai ke dalam isi hati Eloise. Bahkan kehadirannya begitu terasa hanya dengan langkahnya memasuki ruangan. "Selamat malam," bisik Eloise. Ia meminta maaf dalam hatinya. "Selamat malam, manis... besok akan menyenangkan." oooo Eloise marah besar. Dunford baru tahu calon istrinya itu punya kadar emosi yang tinggi dan terkubur dalam tubuh mungilnya. Semalam Dunford tidak bisa tidur nyenyak, lehernya sakit, punggung dan bokongnya yang terantuk-antuk sepanjang jalan terasa ngilu, dan ia menggeram kesal. Ia bisa mendengar sayup-sayup suara tarikan nafas Eloise, tersenyum puas saat menyadari gadis itu sudah tertidur nyenyak. Dunford bergidik lagi. Udara mulai terasa semakin dingin. Ia pun bangun dari sofanya dan berjingkat masuk ke kasur. Awalnya ia berencana untuk bangun sebelum Eloise terbangun. Kau tahulah, para lady rata-rata punya kebiasaan bangun saat matahari sudah tinggi. Karena itu, ketika teriakan kaget dari Eloise adalah suara pertama yang membangunkannya di pagi hari, Dunford pun melompat bangun dari kasurnya. "Dasar bajingan! Aku memang salah sudah mempercayaimu..." "Aku bisa menjelaskannya," sahut Dunford sambil mengggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Semalam dingin dan badanku sakit semua. Aku butuh kasur dan selimut yang layak. Apa kau berniat menikah dengan seorang Earl yang sakit-sakitan?" "Apa yang kau lakukan! Apa yang terjadi!" Eloise menutup tubuhnya dengan selimut, membuat Dunford memutar bola matanya. Istrinya itu toh mengenakan gaun tidur lengkap, berbahan katun tebal, dan sama sekali tidak seksi. Ditambah dengan deretan kancing dari dadanya sampai ke leher, pasti akan makan waktu seharian untuk membuka kancing-kancing itu saja. Dunford menghela nafas. Merobeknya akan lebih efisien. "Tidak ada yang terjadi, aku terlalu capek untuk bergerak, apalagi untuk menerkammu." Wajah Eloise memerah sampai telinga. Lucu sekali bagaimana selama lebih dari dua puluh empat jam terakhir sejak Eloise menawarkan pernikahan, Dunford terbiasa menganggap calon istrinya kaku dan terlalu serius. Sekarang, melihat wajah Eloise memerah seperti tomat, Dunford mendadak merasa tidak yakin. "Ha," tawa lolos dari mulut Dunford, membuat Eloise membelalakkan matanya. "Tidak ada yang lucu," keluh Eloise. Ia mengangkat selimut dan terlihat lega memastikan pakaiannya masih utuh. "Aku cukup ahli memasangkan pakaian seorang wanita. Sentuhan tanganku bisa membuat mereka terlihat utuh seperti tidak terjadi apapun." Eloise melotot lagi, membuat Dunford tertawa lagi. "Tidak lucu," keluh gadis itu sambil memalingkan wajah dan menyerah. Dunford hanya sedang berlaku menyebalkan seperti anak kecil. Pria itu hanya senang melihat Eloise mencak-mencak. "Lucu," jawab Dunford akhirnya. Dalam dua langkah panjang, ia tiba di depan Eloise. Gadis itu dengan terkejut memandang wajah pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Eloise menahan nafas dan mengamati mata yang balas menatapnya tajam. Mata Dunford biru, indah, dengan warna biru yang menggelap ke iris terluar, diisi dengan gurat-gurat biru tua di sekelilingnya. Beberapa helai rambut jatuh menutupi wajah Dunford, dan caranya melengkungkan bibir dan tersenyum terlihat berbahaya. Tanpa sadar, Eloise mundur selangkah. "A-ada apa..." di luar dugaan, suara Eloise terdengar kaget, nyaris seperti mencicit. Eloise mengutuk dirinya sendiri. Dunford tersenyum, masih dengan tatapan langsung dan dalam, tepat ke mata Eloise. Pria itu tidak memalingkan pandangannya sedetik pun. Eloise menelan ludah gugup, kenapa pandangan Dunford turun ke bibirnya? Tiba-tiba perutnya terasa mulas. "Ha," pria itu tertawa lagi, kali ini wajahnya memamerkan senyuman kemenangan. Ia menjangkau ke arah Eloise, dan dengan terkejut, Eloise melihat pria itu menarik segelung rambutnya dan membawanya ke bibir, menciumnya, tetapi matanya masih menatap Eloise. Eloise menahan nafas ketika tiba-tiba kepala Dunford tergelak ke belakang dan ia tertawa terpingkal-pingkal, "Menakjubkan!" "A-apa?" "Kau, manis, sangat menakjubkan..." Dunford bertepuk tangan, terlihat bangga pada dirinya sendiri. "Kau dan aktingmu yang menakjubkan sepanjang jalan sampai kemari. Kau dan egomu yang kaku dan dingin seperti patung. Ha, kalau saja kau menyadari betapa merahnya wajahmu barusan..." Dunford berdehem dan menangkup kedua pipi Eloise di tangannya. "Kau gadis lugu, sama sekali belum tersentuh pria, wallflower sejati yang pemalu..." Eloise merasakan pipinya memerah semakin parah ketika Dunford menyentuhkan ibu jarinya dan menyapu semburat merah di pipinya. "Kau bertindak seolah kau tidak takut padaku, kau tidak terintimidasi padaku. Ternyata, kenyataannya, tidak. Benar bukan?" Pandangan Dunford tajam menyelidik, membuat Eloise menelan ludah takut. "Aku pastikan satu hal, aku akan membuatmu tergila-gila padaku, kau akan menginginkan sentuhanku, kau akan memintaku menyentuhmu lagi dan lagi... dan kau akan meneriakkan namaku di malam pengantin kita..." "Tidak sopan..." geram Eloise sambil menutup matanya takut. "Aha," Dunford terpingkal lagi. "Tidak perlu takut sayang, aku akan memastikan semuanya nikmat untukmu."   -00000-   Dunford melirik calon istrinya yang mungil, menekuk lutut sopan, duduk dengan punggung tegak dan kaku, serta mulut terkunci rapat. Gadis itu menatap jendela dan sama sekali tidak berusaha untuk melakukan pembicaraan dengan Dunford. Pikiran Dunford dengan cepat kembali ke kejadian pagi ini, dimana ia membuat Eloise malu dan salah tingkah karena dengan telak menebak keluguan gadis itu. Bukan hanya itu, ia juga berhasil membuat gadis itu ketakutan dengan gagasan malam pengantinnya. Hebat, sungguh cerdas sekali kau, Dunford, sindir Dunford kepada dirinya sendiri dalam hati. Hanya saja, Dunford sudah tidak tahan dengan cara Eloise menjaga jarak darinya. Bukankah mereka akan menjadi suami istri? Kenapa Eloise bahkan terlihat menghindari pemikiran untuk berdekatan atau tidur seranjang dengan Dunford? Wanita lain pada umumnya berusaha dan berlomba-lomba merebut perhatiannya, berdandan secantik mungkin, dan memohon untuk menghabiskan satu malam di ranjang Dunford. Bersanggul sederhana dan kaku, Eloise duduk diam dalam gaun crepe berwarna putih keabuan yang dikenakannya. Sejak kemarin Dunford tak urung memperhatikan selera berpakaian Eloise. Gadis itu muncul dengan pakaian... yang tidak pernah terlihat menarik. Sungguh berkebalikan dengan Dunford yang sangat mementingkan fashion dan urusan penampilan. Kalau ada yang menyebut Eloise sebagai seorang governess dan bukan lady, mungkin Dunford akan percaya dalam sekali pandang. Eloise terlihat samar, tidak mencolok, nyaris seperti dinding tak kasat mata. Gadis itu juga tidak mengenakan perhiasan apapun yang membuat penampilannya lebih mencolok. "Apakah semua gaunmu berwarna putih?" Eloise menoleh dan tersenyum sopan. "Aku punya warna lavendel, crème, dan coklat susu." Dunford mengangguk, "Warna kesukaanmu?" Eloise menolak menjawab, ia kembali memalingkan wajahnya ke jendela. Baiklah, pikir Dunford kesal. Pekerjaan pertamanya adalah memanggil penjahit datang ke rumah untuk membuatkan gaun yang tepat untuk Eloise. Ia tidak bisa menahan pemikiran seorang Countess of Dunford mengenakan pilihan warna mengerikan sesuai kehendak Eloise. -00000-   >>to be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN