Tiga

1771 Kata
Tiga  Langit gelap tanpa bulan dan bintang, latar belakang yang tepat bagi kedatangan sang iblis. Tetapi oh, mengapa tidak ada yang memperingatkanku bahwa senyumannya bisa begitu menggoda, dan rayuannya bisa begitu memikat? (Elma Jacobs, 1814) ------------------------------------------------------------------------------------- Tidak seperti biasanya, Eloise tampak gembira, murah senyum, dan bahkan melemparkan satu kedipan ke arah Dunford. Dunford nyaris menyemburkan ale yang diteguknya. Apakah Eloise mendadak gila setelah menikah dengannya? Dunford melirik cincin berbatu zamrud yang dikenakan Eloise di jari manisnya. Ukirannya sederhana dan tampak anggun melingkari jari mungil istrinya, hanya ada dua berlian kecil di kiri kanannya sebagai pendamping. Itu, cincin Ibunya. Eloise beseru kaget ketika Dunford menolak cincin yang ditawarkan oleh pandai besi untuk Eloise, dan sebagai gantinya meraih saku bajunya, mengeluarkan sebuah cincin zamrud sederhana, dan menyematkannya di jari Eloise. Pengantinnya menatapnya dengan pandangan tidak percaya, seolah-olah Dunford baru saja memenangkan pertarungan melawan Napoleon sebagai Duke of Wellington. Yang tentu saja mustahil. Dan membuat Dunford sadar Eloise sama sekali tidak mengira Dunford ternyata cukup mempersiapkan perkawinan mereka dengan caranya sendiri. Yang sebenarnya mustahil untuk dilakukan seorang Sebastian Ephraim Dunford, Earl of Clarendon. "Kita hanya membutuhkan cincin untukku... kalau begitu?" Dunford kemudian memilih satu cincin dengan ukiran yang agak sesuai dengan cincin ibunya. Paling tidak, ada beberapa persen kemiripan, pikir Dunford sambil membayar cincin yang menurutnya memiliki harga yang terlalu tinggi untuk desain yang jelek. "Ada apa?" Dunford bertanya ketika Eloise masih terpekur diam menatap cincin di jarinya. "Terlalu terpesona pada cincinnya atau padaku yang ternyata di luar dugaan, oh, sangat menawan?" Eloise dengan segera cemberut dan mendengus. "Cincinnya indah," bisiknya mengulum senyum, berusaha menutupi perasaan senangnya. "Walau menyebalkan, aku senang kau ternyata memikirkan dan mempersiapkan hal ini masak-masak." Dunford terkekeh. "Manis, jangan terlalu cepat senang. Pria dari keluarga Clarendon tidak ada yang pernah berpisah dengan pasangannya. Kami setia sampai mati. Jadi, kau tidak beruntung, kau mungkin sial. Kau terpaksa bersamaku seumur hidupmu..." Ketika Eloise tidak juga menanggapi, Dunford menghela nafas. "Kau seharusnya ketakutan mendengar ucapanku..." "Sungguhkah kau akan setia? Walaupun kau playboy? Walaupun kau pencinta ulung?" Dunford menatap wajah Eloise lama, yakin, bahwa mata gadis itu terlihat jernih dan sungguh-sungguh menantikan jawaban dari pertanyaannya. Dunford bermaksud untuk menjawab ketika kemudian pandai besi memanggil mereka dan kemudian bersama dengan kedua putrinya sebagai saksi, menikahkan mereka berdua. Sesederhana itulah, Eloise telah menjadi istri Sebastian Dunford sepenuhnya. Ia telah menjadi seorang Countess of Clarendon. "Heeeiiii...." Dunford tersedak ketika sebuah tangan bergelung di pundaknya. "Heiii....." panggil suara itu lagi. Dunford mengangkat wajah untuk melihat Eloise berdiri di depannya. Tersenyum lebar dengan pipi memerah dan—secara tidak wajar— tampak luar biasa ceria. "My Lady?" sahut Dunford sambil menarik tangan Eloise dan menciumnya sopan. Mereka memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan kecil. Dunford memutuskan untuk minum segelas besar ale dan untuk sesaat berusaha melupakan pernikahannya. Dan bahwa ia sekarang bukan lagi seorang bujangan yang diincar oleh para ibu kalangan ton. Ia sudah menikah, secara sadar, dan sekarang berada di sebuah penginapan bersama pengantinnya. Walaupun pengantinnya sekarang terlihat agak tidak normal, pikir Dunford sambil memberikan seulas senyuman lagi. Mungkin pemikiran bahwa statusnya sudah berubah menjadi seorang Countess agak mengerikan bagi Eloise, membuat wanita itu tiba-tiba mengubah sikapnya. "Kau.... Playboy..." Eloise menudingkan telunjuknya dan menyodok d**a Dunford, membuat pria itu mengernyit tidak paham. Dunford melirik meja tempat Eloise duduk makan bersama pemilik restaurant dan terkejut. Ada botol brendi yang kosong di sana, tentunya tidak mungkin Eloise meminumnya dan mabuk...? "Apakah... kau mabuk, sayang?" Eloise mengangkat sebuah alis, dan tersenyum. "Siapa sayangmu?" "Ehm..." Dunford berdehem. Sadar sepenuhnya perhatian seluruh isi bar penginapan kecil ini ditujukan kepada mereka berdua. "Eloise? Aku rasa kau mabuk, mari kita bicara di kamar..." Eloise tidak melawan ketika Dunford menariknya berjalan, tetapi belum beberapa langkah menaiki tangga, kaki gadis itu terantuk undakan dan ia jatuh terduduk di tangga. Dunford kaget ketika Eloise menepis tangan mereka dan memeluk pilar-pilar kayu di selasar tangga. "Aku tidak mau... tidur denganmu..." "Eloise..." Dunford memutar bola matanya. "Tidak mau... dengan yang hanya mempermainkanku..." "Oh ya ampun..." keluh Dunford. "Aku suamimu, mana mungkin aku mempermainkanmu?" Dunford berjongkok dan memeluk istrinya, menggendongnya masuk ke kamar dan membaringkannya dengan lembut. Ia mencukur dan membasuh wajah sambil mengulang-ngulang kalimat Eloise. "Tidak mau... dengan yang hanya mempermainkanku..." Apakah pernah ada pria yang mempermainkan Eloise? Pandangan Dunford kembali ke tempat tidur berukuran cukup besar dengan Eloise terlelap di atasnya. Segi positifnya adalah ia bisa tidur nyaman di sana dengan seluruh resiko Eloise akan memukulinya besok pagi karena mendapati mereka berada di ranjang yang sama. Dunford meraih handuk dan menyeka wajahnya, masih berusaha menerka siapa pria yang ada di masa lalu Eloise? Dan kenapa hal itu cukup mengganggunya? Mungkin karena sekarang Eloise istrinya? Bukankah sebagai suami, Dunford berhak tahu dan ikut campur? Mungkin karena sebagai suami, Dunford merasakan kepemilikan atas wanita yang kini tertidur pulas di ranjangnya? Dunford melepaskan jubah kamarnya, dan dengan hanya mengenakan celana panjangnya, ia menghampiri ranjang dan menyibak selimut, menempatkan posisinya dengan nyaman tepat di sebelah Eloise. Bertumpu pada sebelah tangan, Dunford menatap lama wajah Eloise yang terlihat lugu saat tertidur pulas. Bulu mata Eloise panjang, membentuk bayangan di tulang pipinya yang kurus dan aristoratik. Dagunya mungil, ditemani bibir penuh yang selalu mencibir saat melihat Dunford. Wanitanya punya wajah yang cukup simetris, dan sebenarnya, tidak membosankan untuk dilihat. Bahkan Dunford merasa ia bisa memandangnya cukup lama tanpa merasa bosan. Pendek kata, dibalik gaun jelek yang dikenakannya, istrinya sebenarnya... lumayan juga. Dunford melihat gaun yang dikenakan Eloise dan mendesah lagi. Bukan hanya bermodel kuno, warnanya yang abu-abu membuat Dunford menghela nafas lelah. Entah warna semacam itu favorit istrinya atau ia sengaja mengenakan gaun-gaun kusam untuk membuat Dunford sebal. "Kenapa kau selalu tidak senang melihatku, hm..." tergoda, Dunford menyisipkan rambut Eloise ke belakang telinga dan menjawil hidungnya. "Kenapa kau, selalu saja menguji kesabaranku, apakah kau sebegitunya membenciku?" Dunford terkejut ketika setetes airmata jatuh dan meluncur turun sepanjang tulang pipi Eloise. "Kenapa kau..." bisik Eloise tidak jelas. Dunford mendekat untuk mendengarkan gumaman istrinya lebih jelas. Tetapi ia tidak memahami kalimat apa yang hendak dikatakan Eloise. Karena di antara potongan kata yang diucapkan Eloise, terdengar kata rindu, dendam, pergi, dan pembalasan.                                                                              -00000-     Dunford membekap mulut Eloise tepat ketika gadis itu akan menjerit. "Astaga, aku tidak menikahimu untuk mendapatkan seekor ayam yang membangunkanku dengan jeritannya setiap pagi." Eloise menutup mulut, dan memberengut. Ia melihat kondisi tubuhnya dan dengan lega menghela nafas, yakin pria itu belum menyentuhnya. "Kau mabuk semalam, dan bertingkah luar biasa menyenangkan." Eloise melotot, tidak percaya dengan kalimat suaminya. "Pembohong." "Kau tersenyum padaku, penurut, membantuku membuka baju, dan bahkan menjanjikan ciuman untukku." "Aku ti-tidak mungkin..." "Kau menusuk dadaku dan mengataiku playboy tetapi kemudian bertingkah manis dan tersenyum padaku sepanjang waktu..." Dunford menarik tangan Eloise dan meletakkannya di atas d**a telanjangnya. Kulit Dunford hangat dan terasa kuat, membuat pipi Eloise memerah. Kilasan ingatannya saat dirinya menuding dan menusuk d**a Dunford membuatnya terkesiap malu. "Aku melakukan itu?! Aku..." Eloise gelagapan. "Aku sungguh minta maaf..." "Apa yang kau katakan? Mana mungkin hanya sekedar maaf saja cukup? Harga diriku terluka kalau kau melanggar janjimu..." "Janji?" Bibir Eloise membulat kaget. "Janji untuk sebuah ciuman?" tukas Dunford sambil menurunkan pandangannya ke arah Eloise. "A-aku..." Eloise memalingkan wajah, berusaha mengelak. "Aku harus membasuh diri dan bersiap..." "Nah, tidak secepat itu, manis." Dunford menangkap tangan Eloise dan memerangkapnya di bawahnya. Eloise kebingungan harus kemana mengarahkan pandangannya. Tepat di atas matanya, ada wajah Dunford yang terasa terlalu dekat, jauh lebih dekat dari biasanya. Di bawahnya, ada d**a bidang dan telanjang Dunford, sempurna dengan otot yang terpahat dan indah. Panas tubuh Dunford bagaikan menguar ke arahnya, membuat sesaat Eloise bergidik malu. "Ap-apa yang kau lakukan..." "Hmmm?" Dunford memasang wajah polos. "Seingatku kita sudah menikah, jadi aku bebas melakukan apapun pada istriku." Bahkan Dunford hanya menggunakan satu tangan untuk menangkup kedua tangan Eloise di atas kepalanya. Tangannya yang lain bergerak untuk menyentuh bibir istrinya dan mengusapnya pelan. Rona merah perlahan menjalar di pipi Eloise, membuat Dunford menarik senyuman simpul. "Menarik..." "Hentikan..." "Kenapa aku harus? Bahkan kemarin kau menyakiti hatiku ketika aku memanggilmu sayang..." Eloise memejamkan matanya, jengah. "Aku tidak ingat..." tukasnya putus asa. "Aha, kau pintar bisa memakai minuman keras sebagai alasanmu untuk melupakannya. Tetapi aku sudah terluka di sini. Kau bahkan bertanya padaku, siapa sayangmu? Tidakkah menurutmu itu agak kejam? Apakah itu ucapan yang pantas dari seorang yang sudah menikah, dari istri kepada suaminya?" "A-aku... minta maaf..." Tetapi Eloise terkejut setengah mati karena ketika membuka mata, Dunford tidak menatapnya dengan pandangan licik dan bengis. Mata pria itu menatapnya lembut, nyaris seperti membujuk, nyaris seolah ia sungguh peduli pada Eloise. Dan sesaat kemudian, bibirnya turun untuk mencicipi bibir Eloise. Eloise mendorong d**a Dunford, dan gagal. Ia setengah mati memberontak karena ia ingat betul bahwa mereka berdua sama-sama baru bangun. Bahwa mungkin Dunford akan merasa nafas Eloise tidak sedap dan menjadikan pengalaman ciuman pertama mereka tidak menyenangkan sedikitpun, dan bahwa.... Eloise mendadak lupa apa yang mau dikatakannya. Karena Dunford mengulum dan menggigit bibir bawahnya lembut, membuat Eloise tanpa sadar mendesah dan kemudian mati-matian menyesalinya karena merasa malu. Dan Eloise mendadak melupakan lagi rasa malunya ketika tahu-tahu lidah Dunford yang terasa panas masuk dan menjajah mulutnya dengan ganas. Ia tidak tahu bagaimana caranya membalas dan bereaksi, murni merasa tidak paham apa yang salah dengan dirinya. Kenapa ciuman dari Dunford terasa seperti menyedot semua energi dari hidupnya, dan membuat perutnya mulas dan tergelitik, sementara dadanya terasa penuh seperti kaca sesaat sebelum dipecahkan. Kemudian Dunford melepaskan ciuman mereka, dan dengan pandangan linglung, Eloise menatap suaminya. Dan kemudian menatap bibirnya. Ia bisa merasakan bibirnya terasa panas, berkedut, dan masih dipenuhi antisipasi untuk melanjutkan ciuman mereka. Mendadak, Eloise sadar alasan kenapa Dunford disebut playboy, pemain, dan pecinta ulung. Apakah ada wanita yang bisa bertahan dari ciuman Dunford dan tidak merasakan apapun? Kemudian, dengan bodohnya... Eloise teringat Lady Lucille Dunne. Dan perasaan mengganjal lain yang mendadak memenuhi dadanya. Apakah Dunford mencium Lady Lucy seperti cara mereka berciuman barusan? Karena kalau ya, sungguh mengherankan bagaimana Lady Lucy menolak pernikahan dengan Dunford dan memungkinkan Eloise mengajukan lamaran pada pria di depannya. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Dunford tiba-tiba. Matanya yang indah seperti lautan dalam menatap Eloise menyelidiki. "Pria lain?" "Gadis lain," jawab Eloise jujur. Melihat kening Dunford berkerut, Eloise menjelaskan. "Apakah kau mencium Lady Lucy seperti ini juga?" Dunford tertawa. "Tidak, aku tidak yakin dia bisa menerima ciumanku dengan baik sepertimu..." Pipi Eloise memerah. "Apakah... kau suka dicium olehku, Countess of Clarendon?" Eloise mengangguk malu. "Tadi... terasa menyenangkan..." "Itu belum ada apa-apanya..." Wajah Eloise berubah pucat pasi. "Apa maksudmu..." "Aku belum menggunakan tanganku untuk menggodamu. Kalau ya, kau sudah akan menjerit memintaku bercinta denganmu..." Dunford mengamati bagaimana pipi Eloise memerah walaupun dengan teguh gadis itu berusaha menahan ekspresinya. "Bisakah seorang Earl menahan kalimat tidak senonoh seperti bercinta?" "Jangan khawatir, manis..." Dunford mengusap pipi Eloise dengan senyuman menawan. "Kau hanya belum terbiasa, jadi untuk membuatmu terbiasa, aku akan lebih sering mengucapkannya." Oh, sialan... pikir Eloise kesal. Ketika Dunford melempar satu senyuman nakal lagi dan menawarkan Eloise untuk mandi bersamanya, Eloise kembali mengumpat dalam hati. Double sialan. Kenapa juga aku mau menikah dengannya kemarin? Ah, Eloise Turner, kau sungguh gila!   >>to be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN