Bagian 12

1040 Kata
Hadi memutuskan pulang padahal hari masih siang. Hal ini dikarenakan pria itu masih dalam kondisi berduka setelah sang istri pergi meninggalkan dunia. Hadi mendapatkan banyak sekali ucapan bela sungkawa dari para bawahan yang turut sedih atas kepergian Silvi. Mereka tahu jika Silvi adalah wanita yang baik. Hubungan keduanya pun memang terkenal dan bahkan banyak yang sangat menyukai keduanya. Tidak ada yang tahu ajal, semua terjadi begitu tiba-tiba. Sebenarnya tidak begitu tiba-tiba mengingat Silvi memang sudah menderita penyakit kanker sejak 2 tahun yang lalu. Kehamilannya pun tidak direncanakan, yang awalnya ingin digugurkan oleh Hadi karena ingin istrinya tidak menghentikan pengobatan, wanita itu tetap teguh ingin mempertahankan bayinya. Terlebih lagi ketika mengetahui jika bayinya adalah bayi kembar yang membuat Silvi semakin bersemangat. "Nggak apa-apa kalau aku kehilangan nyawaku, Mas. Bagiku yang penting anak-anakku selamat dan sehat." Silvi berkata seraya menatap pada Hadi. "Ini memang sudah ajalku kalaupun kematian sudah mendekat. Semua manusia akan mati dengan berbagai macam cara dan ini mungkin cara Tuhan untuk memberitahuku jalan kematian dan memberiku kesempatan untuk memberikan kamu hadiah, yaitu anak-anak kita." Hadi teringat akan ucapan yang dilontarkan oleh Silvi, kala kandungan istrinya sudah memasuki bulan kelima saat itu. Pria itu menghela napas. Tidak ada yang tahu beban berat yang menggantung di hatinya saat harus kehilangan istri namun harus tetap terlihat tegar di hadapan banyak orang terutama anak-anaknya. Hadi melangkah masuk ke dalam dengan membawa tasnya yang langsung disambut oleh Bu Ani. Segera setelah itu ia melepaskan kancing lengan dan juga kancing kemeja atasnya sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Biasanya jam segini Silvi pasti sedang tidur siang. Sayangnya, saat membuka pintu kamar bukan Silvi yang ia lihat, tapi sosok wanita yang mengenakan celana pendek setengah paha dengan tank berwarna hitam, tertidur dengan gerakan gelisah di atas sofa. Hadi melangkah mendekati sofa tersebut kemudian melirik pada lantai yang berlapis karpet di mana ada laptop serta kertas-kertas yang tidak bisa dibaca oleh Hadi dari jarak jauh seperti ini. Hadi menarik napas, sebelum akhirnya pria itu mendekati sofa dan melihat bulir keringat keluar dan membasahi dahi Tiana. Istri barunya ini terlihat sangat gelisah dalam tidurnya dengan menggumamkan kata-kata yang membuat Hadi menunduk untuk mendengar apa yang diucapkan oleh wanita ini. "Pergi." "Jangan ganggu gue, Silvi." Hanya beberapa kalimat yang membuat Hadi akhirnya tahu jika wanita ini pasti mimpi buruk di siang bolong seperti ini. "Aaa!" Hadi spontan mengulurkan tangannya menahan bagian punggung serta paha Tiana ketika melihat tubuh wanita itu oleng ke samping. Terdengar deru napas Tiana yang ketakutan, sambil menatap sekitar dengan waspada. "Aaa!" Sekali lagi wajahnya terdorong oleh tangan Tiana ketika menyadari jika jarak mereka terlalu dekat. Tidak siap dengan apa yang dilakukan oleh Tiana, Hadi jatuh terduduk dengan wanita itu yang berada dalam dekapannya. "Ishh!" Tiana langsung mendudukkan dirinya di atas perut Hadi. Tidak lupa mengusap keningnya yang penuh dengan keringat dan juga baru saja terantuk oleh d**a bidang pria itu. "Mas ngapain muncul tiba-tiba di depan mata saya? Enggak lihat apa kalau saya lagi berjuang tadi?" Tiana tidak menyadari posisinya yang saat ini sedang menduduki perut Hadi. Belum lagi pakaiannya yang sedikit terbuka, membuat Hadi meneguk ludahnya. Apalagi melihat gundukan dan belahan d**a wanita itu. Hadi adalah jenis pria normal yang tentu saja akan bereaksi ketika melihat kemolekan tubuh dari wanita yang duduk di atas perutnya. Belum lagi bagian bawah b****g Tiana yang menyentuh bagian bawah perutnya, membuat Hadi kehilangan fokus. "Mas, oy!" Wanita itu bahkan tidak sadar sudah melambaikan tangannya di depan wajah Hadi, membuat Hadi tersentak dan menatap langsung pada wajah Tiana. "Mas ngapain melamun? Terus kenapa tiba-tiba aja udah muncul di depan saya?" Tiana kembali bertanya seraya menatap Hadi tanpa merubah posisinya. "Kamu sepertinya mimpi buruk." Itulah yang dikatakan oleh Hadi seraya menatap Tiana. Mengingat itu tentunya Tiana langsung menghembuskan napasnya. "Iya. Tadi saya mimpi dikejar sama Silvi. Dia terbang melayang terus ketawa-ketawa. Dia juga suruh saya jaga anak-anaknya. Apa nggak gila, dunia nyata dia sudah mengacaukan saya, dalam mimpi pun dia datang dengan ketawanya yang menyeramkan." Tiana berkata seraya mengingat mimpinya tadi. Mimpi di siang bolong benar-benar hal aneh menurut Tiana. Seharusnya ia memang tidak usah pindah dari karpet ke sofa. Hanya saja, Tiana takut jika sedang tidur ia menatap di bawah tempat tidur dan mendapati sosok Silvi di sana. Jadinya Tiana pindah ke atas sofa. Tidak tahunya ia justru didatangi Silvi dalam mimpi buruknya. "Mungkin Silvi percaya sama kamu." "Ya memang dia lebih percaya sama saya." Tiana menyahut dengan sewot. "Cuma aja 'kan kenapa harus jadi Mama anak-anak Mas dan istri? Saya ini nggak tahu apa-apa, lho." Hadi yang sudah merebahkan tubuhnya kemudian mendudukkan dirinya dengan Tiana yang agak mundur sedikit dan duduk di pahanya. "Mungkin udah takdirnya. Bisa aja Silvi memang sudah ada pertimbangan, yang membuatnya memilih kamu untuk menggantikan posisinya." Hadi berkata seraya menatap mata Tiana tanpa berani untuk menundukkan kepalanya. "Ah, tahulah pusing saya." Tiana merenggut kemudian sepertinya sadar akan posisi mereka, Tiana berdeham salah tingkah dan segera mundur. "Sorry." Hanya itu kata yang diucapkannya saat sadar ia sudah menindih tubuh Hadi sejak tadi. "Kalau begitu saya mau mandi dulu." Hadi segera berbalik pergi masuk ke dalam kamar mandi karena jika berlama-lama di dekat Tiana, otak gilanya pasti akan kumat. Hadi tidak mungkin meminta haknya pada Tiana mengingat wanita itu bahkan belum menerimanya sebagai suami begitu pula sebaliknya. Pria itu langsung menyalakan shower dan berdiri di bawahnya. Matanya terpejam berusaha untuk mengenyahkan pikirannya dari dua benda empuk yang menggelantung di tubuh wanita itu. Tangan Hadi rasanya gatal ingin menyentuhnya, namun ia harus sadar diri. Tidak boleh menyentuh wanita yang tidak menginginkannya. Terlebih lagi ia juga baru saja kehilangan istrinya. Sementara Tiana sendiri mengangkat bahunya. Wanita itu bergerak merapikan berkas-berkas miliknya serta laptop dan diletakkan di dalam sebuah lemari yang dikhususkan untuknya. Tiana kembali membuka pesan dari Chiko yang menanyakan keberadaannya. Namun, wanita itu enggan membalas dan lebih memilih untuk mengabaikan pesan dari Chiko. Salah satu penyebab mengapa dirinya memilih untuk pulang ke Indonesia adalah pria bernama Chiko ini juga. "Dasar," gerutu Tiana. Ditatapnya jam di dinding yang baru saja menunjukkan pukul 3 sore, membuat Tiana menghela napas. Rasa haus membangkitkan dirinya membuat ia harus pergi keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil minuman yang bisa menyegarkan tenggorokannya. Tidak menyadari jika saat ini Hadi sedang memuaskan dirinya sendiri di dalam kamar mandi akibat melihat lekuk tubuh wanita itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN