Tiana menatap kaku pada kedua bayi yang berada di dalam tangan kanan dan kirinya.
Wanita itu langsung melotot pada dua baby sitter yang berdiri tak jauh dari posisinya berada.
Sementara Elle sendiri bertepuk tangan melihat kedua adiknya kini berada dalam dekapan mama tiri mereka. Elle ingat jika mamanya pernah berpesan kalau ia harus menyayangi Mama tirinya ini dan membuat Mama tirinya ini harus rajin merawat adik-adiknya
"Tuh, lihat, Brian dan Brama pada anteng gitu. Itu tandanya mereka suka dengan mama Tiana," ujar Elle santai.
Gadis kecil berusia 5 tahun itu menatap pada Mama tirinya yang sedang menggendong kedua adik bayinya. Elle kembali fokus pada tayangan televisi yang menayangkan acara kartun favoritnya.
Sedangkan Tiana sendiri melotot marah pada Elle.
Ekspresi wajahnya langsung berubah tegang ketika melihat salah satu bayi di tangan kanannya bergerak.
"Ambil bayi-bayi ini." Wajah Tiana pucat tegang ketika menatap kedua bayi ini bergerak secara bersamaan dan hampir menangis bersama.
Sungguh Tiana tidak tahu cara merawat bayi. Apalagi untuk menggendong mereka, dirinya tidak berani untuk bergerak sama sekali.
Tiana sudah pernah katakan jika hidupnya bebas melanglang buana kemanapun ia pergi. Jadinya tidak pernah berurusan dengan seorang anak kecil apalagi bayi-bayi yang baru lahir ini.
Kedua baby sitter yang memang bertugas untuk merawat kedua bayi itu akhirnya masing-masing mengambil Brian dan juga Brama di tangan mereka.
Tiana baru bisa bernapas lega setelah kedua beban itu terangkat dari tangannya. Sungguh meskipun mereka tidak memiliki beban berat badan yang berlebihan, memang rasanya berat sekali untuk mengangkat keduanya mengingat Jika ia tidak tahu apa-apa cara untuk merawat bayi dan mengurusnya.
"Kamu harus belajar untuk mengurus anak-anak ini. Terutama pada Brian dan juga Brama, mereka butuh kamu sebagai Mama mereka," ujar Hadi yang baru keluar dari kamar.
Pria itu mengambil salah satu bayi dari tangan babysitter kemudian menimangnya untuk duduk di sebelah Elle.
"Bukan tanggung jawab saya karena bukan saya Mama mereka," sergah Tiana mulai jengah.
Hadi melirik singkat pada Tiana kemudian fokus untuk bermain dengan bayinya. Tidak lupa pria itu juga meminta satu lagi bayinya untuk diambil agar bisa main bersamanya dan juga Elle tentunya.
Sedangkan Tiana hanya mendengus kesal dan tidak berbicara apa-apa lagi karena ketika mulutnya berbicara pasti kalimat menyakitkan yang keluar.
Tiana menelan ludah menatap pada hidangan yang disajikan di depan matanya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mencicipi makanan nusantara semenjak berada dan tinggal di luar negeri. Meskipun ada restoran Indonesia yang berada di luar negeri tetap saja lebih enak dan nyaman jika makan di negeri sendiri terutama dimasak oleh para pelayan di rumah ini.
"Kalau mau makan, makan aja." Hadi melirik pada Tiana yang terus menatap hidangan di hadapannya.
"Nanti kalau saya banyak makan pasti saya gendut," ujar Tiana. Wanita itu takut memiliki bobot badan berlebihan sehingga penampilannya tidak akan menarik minat bagi para pria yang melihat kemolekan tubuhnya.
"Mama harus makan yang banyak. Biar mama bisa sehat dan gendut," ujar Elle, menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Saya nggak mau gendut."
"Kenapa?" Elle menatap polos pada Tiana. "Padahal kalau gendut itu bagus, lucu kayak aku." Tidak lupa Elle juga mengembungkan pipinya, yang membuat Tiana memutar bola matanya.
"Kalau kamu gendut wajar karena kamu masih kecil."
"Memangnya kalau sudah besar nggak boleh?"
"Enggak."
Tidak ada lagi obrolan di dalam ruang makan tersebut karena semuanya hening dengan hidangan mereka masing-masing.
Tiana menyerah dan akhirnya melahap dengan banyak menu hidangan yang disajikan di depan matanya. Tidak perlu makanan cepat saji lagi karena di sini ia juga bisa makan dengan tenang dan lahap tentunya.
Wanita itu menatap kamar yang kembali ia memasuki setelah malam semakin larut.
Kamar ini dicat dengan d******i warna abu-abu muda. Tempat tidur berukuran king size dan tidak lupa dengan walking closet yang ada di sudut ruangan, di mana ia yakin di sana tempat tersembunyi barang-barang milik Silvi.
Rasa-rasanya Tiana ingin sekali pindah dari ruangan ini karena tidak mungkin ia akan menempati kamar yang pernah ditempati oleh sahabatnya sendiri bersama suaminya.
Hadi yang baru saja masuk menghembuskan napasnya. "Malam ini tidur di sini dulu. Besok kita akan cari kamar lain untuk ditempati," ujar Hadi pada Tiana.
Hadi juga mengerti posisi Tiana. Pasti tidak nyaman untuk menempati sebuah kamar yang dulunya pernah ia tempati bersama sang istri. Belum lagi dirinya yang memang harus berbagi ranjang dengan istri barunya di mana tempat ini juga tempat ia melabuhkan kasih sayang pada sang istri sampai berkeringat.
Tiana menolehkan kepalanya menatap Hadi. "Mas yakin kalau Mas mau meninggalkan kamar ini? Gimanapun ini kamar Mas dengan Silvi. Gimana kalau saya saja yang pindah dan Mas tetap di sini," ujar Tiana, berusaha untuk bernegosiasi.
"Lalu membiarkan kamu tidur sendiri sementara status kamu sudah jadi istri saya?" Hadi menggelengkan kepalanya. "Bagaimanapun, kamu adalah istri saya dan saya suami kamu. Meskipun nggak ada cinta di antara kita, kita harus tetap menjalani rumah tangga seperti pada umumnya."
Pria itu menatap serius pada wajah Tiana kemudian melangkah keluar dan tak lama ia kembali dengan membawa sebuah kasur lantai yang digelar di bawah tempat tidurnya.
"Saya tahu kamu mungkin nggak akan nyaman tidur di tempat tidur Silvi dan saya. Makanya kita akan tidur di sini."
Hadi tidak akan menciptakan sebuah drama di mana mereka akan pisah kamar. Menurutnya terlalu kekanakan dan malas untuk membuat hal-hal semacam itu.
"Kenapa Mas nggak tidur di atas aja? Biar aku yang tidur di bawah."
Hadi tidak menjawab apapun yang diucapkan oleh Tiana. Pria itu mengambil sprei baru dari dalam lemari kemudian menggelar untuk menutupi kasurnya. Tidak lupa untuk mengambil selimut serta bantal yang ada di atas tempat tidur.
"Bantal Silvi akan saya tempati dan ini kamu bisa menempati bantal saya." Tidak lupa Hadi melempar bantal yang biasa ia gunakan kemudian mengambil bantal Silvi yang akan ia gunakan.
Sementara Tiana tetap berdiri dengan kaku menatap pada Hadi. Melihatnya tentu saja pria itu langsung menatap tajam pada sosok wanita yang masih berdiri kaku tak jauh dari posisinya berada.
"Kamu mau jalan sendiri atau saya yang tarik kamu agar bisa tidur di sini?" Hadi menatap Tiana dengan tatapan mengancam karena ia sudah bosan menunggu dan sudah cukup banyak mengalah pada wanita di hadapannya ini.
Akhirnya Tiana dengan kaku melangkah dan merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sudah digelar oleh Hadi.