Tiana menggeliat dengan mata terpejam kesal ketika sebuah tangan terus mengusap bagian perutnya.
"Chiko, please, stop," gumam Tiana, mengerang kesal.
Wanita itu berusaha untuk menarik tangan pria itu untuk keluar dari perutnya.
Bukannya tertarik keluar dari bajunya, tangan itu semakin merapat dan memeluk perut Tiana sambil mengusapnya dengan gerakan sensual.
"Argh! Chiko, i said, stop it!"
Kesal karena peringatannya tidak hiraukan oleh Chiko, Tiana membuka kelopak matanya kemudian mengeluarkan tangan kekar itu dari piyama yang dikenakan olehnya.
Tiana langsung memutar tubuhnya yang membelakangi sosok tersebut dan segera membelalak kaget tepat pada saat itu karena sosok itu juga ikut membuka matanya dengan jarak yang begitu dekat.
"Aaa!"
Tiana yang tidak memahami situasi langsung mendorong wajah pria yang begitu dekat dengannya itu, kemudian segera mendudukkan dirinya dan menatap waspada pada lingkungan sekitar.
"Apa-apaan ini?" Pria yang tidak lain adalah Hadi langsung melemparkan tatapan tajamnya ketika tangan kurang ajar itu mendorong wajahnya begitu keras. Padahal dirinya sendiri juga baru saja bangun dari tidur dan terkejut dengan posisi mereka yang begitu dekat.
Bisa dikatakan Hadi memang sudah terbiasa tidur bersama Silvi dan selalu mengusap perut istrinya itu dalam keadaan tidak sadar guna mencari kenyamanan dalam tidurnya. Hadi tidak ingat jika ia sudah kehilangan Silvi. Pria itu juga tidak ingat jika sosok istri baru lah yang berada tepat di sampingnya. Mana istri barunya ini mereka belum saling terlalu mengenal, gumam Hadi mengerang dalam hatinya.
"Mas yang apa-apaan? Bisa-bisanya Mas usap-usap perut saya. Ini namanya pelecehan dan saya bisa melaporkan Mas ke kantor polisi!" Tiana menatap garang pada Hadi. Ingin rasanya ia menonjok wajah pria yang menampilkan raut wajah tidak bersalah itu.
Sementara Hadi hanya menggelengkan kepalanya dan bangkit duduk. "Kamu lupa kalau sekarang ini kita suami istri?"
Pria itu menguap malas dan menatap jam dinding yang baru saja menunjukkan pukul 05.00 pagi.
"Saya lupa dan saya nggak mau ingat kalau saya udah jadi istrinya Mas! Semua ini gara-gara Silvi!"
Segera pria itu langsung melemparkan tatapan tajam dan bengisnya menatap pada Tiana.
"Jangan coba-coba untuk menyalahkan Silvi. Dia mempercayakan kamu untuk menjadi istri saya pasti ada sebabnya," ujarnya geram.
"Terus apa sebabnya? Mas nggak mungkin cari tahu sendiri dan tanya sama Silvi yang lagi ada di dalam kubur 'kan? Saya benar-benar frustrasi. Saya ini nggak siap untuk jadi seorang istri. Saya juga nggak tahu saya harus ngapain karena menikah nggak pernah ada dalam daftar list dalam hidup saya. Tiba-tiba saya harus menikah dengan suami sahabat saya sendiri, Mas pikir enak ada di posisi saya? Saya ini belum terbiasa."
Tiana ikut mendudukkan dirinya sambil menatap ke sekeliling yang penting tidak menatap ke wajah Hadi.
"Saya ini nggak tahu caranya jadi istri. Kita bahkan nggak pernah dekat. Gimana caranya saya bisa jadi istri? Kenapa Silvi nggak bilang dari jauh-jauh hari kalau dia mau menjodohkan saya dengan suaminya? Biar saya ada kesempatan."
"Kesempatan apa?" Hadi bertanya menatap wanita yang duduk di sebelahnya.
"Ya kesempatan buat nggak datang ke sini. Memangnya apa lagi?" Wanita itu menatap Hadi dengan tatapan sewotnya.
Apakah pria di sebelahnya ini tidak mengerti atau tidak peka jika dirinya tidak ingin menjadi seorang istri, gumam batin Tiana.
"Suka atau enggak memang kamu harus terima kenyataan sekarang kamu sudah menjadi istri saya." Pria itu bangkit berdiri. "Kamu siapkan pakaian saya untuk berangkat bekerja."
Mendengar perintah dari pria itu tentunya Tiana langsung naik emosinya.
"Mas siapin aja sendiri kenapa harus suruh saya!"
"Kamu lupa kalau kamu sekarang jadi istri saya?" Pria itu menolehkan kepalanya menatap pada Tiana. "Ini kewajiban yang akan kamu lakukan sebagai istri mulai hari ini."
Hadi langsung berbalik masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci wajah dan juga menggosok gigi.
Sementara Tiana sendiri menggerutu kesal karena harus mendapat perintah ini dan itu dari Hadi yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
Wanita itu merapikan lebih dulu tempat tidur dengan cara mendirikan kasur ke tembok kosong agar tidak kesulitan saat mereka berkeliaran di kamar ini.
Sungguh bukannya apa-apa, hanya tidak sanggup saja berada di kamar yang pernah ditempati oleh sahabatnya memadu kasih dengan Hadi.
Entah mengapa rasanya agak aneh meskipun tidak ada cinta apalagi kasih sayang di antara mereka berdua.
Tiana membuka lemari pakaian yang diyakini adalah milik Hadi, kemudian menatap setelan kemeja, jas, dan juga, celana yang bisa dikenakan oleh pria itu.
Sebagai orang yang sering berinteraksi dan bahkan banyak bergaul dengan orang-orang di luar sana tentunya Tiana tidak buta fashion. Lebih lagi ia sangat tahu dan pintar untuk mencocokkan warna.
Tiana menatap setelan celana dan juga kemeja serta jas dengan kerutan di dahinya. Tidak mungkin Hadi hanya mengenakan ini tanpa mengenakan pakaian dalam.
"Ck, merepotkan saja."
Akhirnya wanita itu membuka sebuah laci yang berada di sisi lain lemari hanya untuk melihat banyaknya tumpukan pakaian dalam milik pria itu. Iseng, Tiana membuka bagian atas dan menemukan banyak sekali pakaian dalam milik perempuan yang diyakini Tiana jika ini adalah milik Silvi.
Tiana menutup kembali laci tersebut kemudian segera berbalik pergi dengan membawa setelan yang akan dikenakan oleh Hadi.
Tepat pada saat itu pria 32 tahun itu melangkah keluar dengan handuk yang menutup bagian pinggang sampai atas lutut.
Tiana hanya menatap dengan sebelah alis terangkat sebelum akhirnya ia meletakkan pakaian tersebut di atas tempat tidur, lalu pergi menuju kamar mandi.
Tiana menatap peralatan mandi yang tidak ada untuknya sama sekali. Semua peralatan mandi di kamar mandi milik Silvi dan juga Hadi.
Wanita itu menghela napas kemudian segera melangkah keluar yang tepat pada saat itu Hadi mengulurkan plastik berisi kebutuhan Tiana.
"Gunakan ini."
Tiana mengambilnya kemudian menatap isi dalam plastik tersebut dan semua produk-produk yang ada di dalam plastik tersebut adalah apa yang biasa digunakan olehnya.
Wanita itu mengangkat kepalanya menatap Hadi. "Kenapa Mas bisa tahu merek-merek yang biasa saya gunakan?" Wanita itu bertanya dengan rasa penasaran.
"Kebetulan." Pria itu menjawab dengan satu kata sebelum akhirnya berbalik untuk mengenakan pakaiannya.
Tiana segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam kamar mandi ketika melihat Hadi tanpa perasaan langsung melepaskan handuk di depan matanya.
Wanita itu merenggut kesal sebelum akhirnya menutup kamar mandi dengan suara yang keras karena menganggap Hadi tidak punya sopan santun berniat untuk menunjukkan asetnya padanya.
"Dipikir aku bakalan tertarik apa?"
Wanita itu menggerutu sambil melepaskan helai demi helai pakaian yang melekat pada tubuhnya sebelum memutuskan untuk membasahkan tubuhnya dengan air.