Bagian 9

1069 Kata
"Pa, tadi malam aku bermimpi bertemu dengan Mama." Langkah kaki Tiana yang akan masuk ke dalam ruang makan akhirnya terhenti ketika mendengar Elle yang sepertinya sedang berbicara dengan papanya. "Oh, iya? Elle bermimpi seperti apa? Boleh ceritakan dengan papa?" Terlihat Elle yang sudah mengenakan seragam sekolahnya mengangguk dengan antusias. "Iya, Pa. Tadi malam Mama cantik sekali. Aku mimpi Mama lagi masak untuk kita. Terus, kita makan bareng-bareng sama adik-adik aku. Terus Mama Tiana juga gabung dengan kita. Mama Silvi kelihatan bahagia sekali." "Dalam mimpi kamu, Mama Silvi terlihat sangat bahagia sekali?" Elle menganggukkan kepalanya dengan antusias. "Mama Silvi bilang kalau mama Tiana adalah mama terbaik yang akan jadi Mama kami. Waktu mama bilang seperti itu aku menangis, soalnya mama Silvi adalah mama terbaik. Tapi, Mama justru marah dan bilang kalau mama Tiana adalah mama terbaik. Terus Papa datang bujuk mama Silvi biar nggak marah. Jadinya Mama Silvi tertawa lagi deh," celoteh Elle panjang lebar. Terekam dengan jelas dalam ingatannya ekspresi wajah mamanya yang semula marah karena tidak terima disanggah olehnya ketika mengatakan jika mama Silvi adalah mama terbaik. Lalu, senyum wanita yang sudah melahirkannya itu kembali terbit dengan bahagia ketika dibujuk oleh papanya. "Elle senang sekali mimpi bertemu dengan Mama. Elle yakin kalau mama pasti ada di surga." Tidak lupa gadis kecil itu merentangkan kedua tangannya membayangkan jika mamanya saat ini sudah berada di surga. "Pa, mana mama Tiana?" Tiana yang semula menghentikan langkahnya kemudian berdeham dan masuk ke dalam ruang makan. Wanita cantik itu menarik kursi untuk diduduki dengan posisi yang agak jauh dari jangkauan ayah dan anak itu. Bukan apa-apa, dirinya hanya canggung saja kalau harus berada di dekat-dekat mereka mengingat Jika dia sendiri adalah anggota baru di keluarga ini yang membutuhkan waktu beradaptasi untuk akrab dengan lingkungan keluarga yang dimasuki secara paksa olehnya. Ah, lebih tepatnya dirinya yang dipaksa untuk masuk. "Selamat pagi, Mama Tiana." Elle tersenyum manis menatap Tiana yang duduk agak jauh dari posisinya. "Mama Tiana, kenapa duduk jauh-jauhan dari papa? Biasanya Mama Silvi bakalan duduk di dekat Papa," ujarnya. Ekspresi wajahnya yang polos tentu membuat Tiana yang semula menatap Elle kemudian mengalihkan tatapannya ke arah kursi yang berada di dekat Hadi. Sekejap, Tiana langsung menggelengkan kepalanya. "Di sini aja." "Ya sudah, Elle, kita mulai sarapan sekarang. Elle bukannya nggak mau kalau terlambat sekolah?" Elle yang ditanya segera menganggukkan kepalanya dengan antusias dan mulai sarapan paginya dengan sepiring nasi goreng karena memang ia sudah biasa sarapan berat di pagi hari. Sementara Tiana sendiri hanya mengambil buah apel serta satu gelas s**u hangat untuk sarapan paginya. Percayalah makan nasi di pagi hari jelas tidak baik untuk perutnya karena memang bertahun-tahun berada di luar negeri ia tidak pernah sarapan berat di sana yang mungkin akan dibawa menjadi kebiasaan di sini. Tiana mengernyit aneh ketika Hadi mengulurkan tangan padanya. Wanita itu kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang berwarna merah yang memang selalu ada di setiap saku pakaian yang dikenakan olehnya untuk jaga-jaga. "Ini." Hadi tercengang, begitu juga dengan Bu Ani yang membawa tas kerja tuannya. Agak tidak menyangka dan tidak percaya jika saat akan berangkat bekerja seperti ini tuannya akan diberikan uang 100 ribu oleh istrinya. "Apalagi? Masih kurang? Aku lagi nggak pegang uang cash banyak. Kalau mau nanti aku ambil di ATM," ujar Tiana. Tidak salah kalau wanita itu mengira Hadi ingin meminta uang untuk bensin karena tahu pria ini bisa saja belum gajian di kantor. Yah, Tiana mengenali beberapa orang yang memiliki rumah besar mewah dan bagus namun tidak memiliki uang. Bisa dikatakan rumah besar dan bagus hanya untuk kamuflase agar terlihat kaya. Itu 'sih yang pernah dilihat oleh Tiana saat ia masih duduk di sekolah menengah pertama. Tetangga sebelah rumah neneknya sendiri contohnya. "Kamu tidak tahu adab saat suami mau ke luar rumah? Salim tangan, di mana istri harus mencium punggung tangan suami," ujar Hadi menatap Tiana. "Ambil uangnya dan kamu ganti cium punggung tangan saya." Tiana meringis mendengar perkataan Hadi. Wanita itu kemudian mengambil kembali uang di tangan Hadi dan mengganti untuk mencium punggung tangan pria itu. Hadi menganggukkan kepala kemudian pamit untuk pergi berangkat ke kantor karena hari sudah siang. Sementara Elle sudah diantar oleh sopir pergi ke sekolah tentunya menggunakan kendaraan lain karena arah kantornya juga sekolah Elle agak berlawanan. Setelah melihat kepergian Hadi, Tiana masuk ke dalam kamarnya berniat untuk membersihkan diri. Wanita itu tadi hanya bisa membersihkan wajah dan sikat gigi saja, tidak sempat untuk mandi karena Hadi memintanya untuk sarapan bersama. Jorok? Bukan maunya pula tidak mandi tapi ini permintaan dari Hadi yang ingin ia menemani mereka untuk sarapan bersama. Usai membersihkan dirinya sendiri, Tiana kemudian duduk di ruang tengah. Wanita itu merinding ketika berada di dalam kamar sendiri. Tiana tahu jika Silvi itu jail dan ia hanya takut saja tiba-tiba arwah Silvi datang menemuinya. Konyol memang. Namun, seperti itulah Tiana, yang kadang memiliki pikiran abnormal dan absurd. Kemudian saat dia sedang bermain dengan ponselnya, ia melihat ada beberapa orang pria yang dipimpin oleh seorang wanita melangkah masuk ke dalam rumah. "Nyonya Tiana, saya adalah Ema, sekretaris Pak Hadi. Saya diminta oleh Pak Hadi untuk membantu mengkoordinasi para pekerja agar bisa merombak salah satu kamar yang ada di rumah ini." Kening Tiana spontan mengerut menatap wanita bertampang serius di hadapannya. Tiana mengangguk dan menjawab, "silakan." Akhirnya Ema segera memerintahkan orang-orang yang dibawanya untuk merombak kamar yang akan ditempati oleh atasannya dengan istri barunya di lantai dasar rumah ini. Sementara Tiana sendiri duduk dengan tenang menikmati pemandangan ruang tengah yang memang banyak terdapat berbagai macam furniture. Dimulai dari lemari hias yang berisi banyak penghargaan, lemari hias terdapat barang-barang mewah seperti toples, gelas, dan peralatan lainnya yang dapat dilihat melalui kaca tembus pandang. Ada dinding kosong yang terisi gambar pernikahan Hadi dan juga Silvi diambil beberapa tahun yang lalu. Ukurannya yang besar tentu saja akan langsung menarik perhatian ketika orang lain akan masuk ke ruang tamu. "Nah, nggak adil banget. Lo nikah dapat frame foto besar kayak gini. Lah, gue nikah cuma dapat hikmahnya doang. Mana ada tiga buntut lagi. Lagian gue heran juga sama lo, alangkah banyak saudari-saudari yang bisa lo jadikan istri pengganti lo, kok bisa-bisanya otak pintar lo itu justru pilih gue yang lo jelas tahu hidupnya serampangan." Tiana mengomeli sambil menatap foto Silvi yang tersenyum begitu lebar mengenakan gaun pengantin bersama Hadi yang berdiri di sebelahnya. Pasangan di dalam gambar itu terlihat sangat serasi. Tiana mengakui akan hal itu. Hanya saja hal yang disayangkan adalah mengapa sahabatnya itu justru memilih dirinya? Batin Tiana bertanya-tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN