BAB 11

1453 Kata
Gisella berdiri di bawah naungan pohon mangga tua yang rindang, mengipasi perlahan seorang nenek renta yang duduk tenang di kursi roda. Sudah hampir dua puluh menit berlalu, tapi tak sekalipun ia mengeluh. Tangannya tetap sabar bergerak, sesekali menyeka keringat di pelipisnya dengan ujung jilbab. Nenek Saniah tampak nyaman. Wajah keriputnya berseri-seri setiap kali Gisella datang, seolah kehadiran gadis muda itu mampu menghidupkan kembali semangat yang lama padam. Hari itu, seperti biasa, Nenek Saniah mulai bercerita—tentang anak-anaknya yang dulu lucu dan manja, tentang suara tawa mereka yang memenuhi rumah, lalu mendadak hening. Ceritanya sering terputus. Kadang ia terdiam lama, menatap jauh, seolah mencoba mengais ingatan yang tercecer di sela waktu. Gisella hanya tersenyum, tak pernah menyela atau mengoreksi. Ia tak pernah menganggap Nenek Saniah pikun. Baginya, itu bukan kehilangan ingatan, hanya kepingan-kepingan masa lalu yang masih menunggu untuk ditemukan kembali. Mungkin ada luka, mungkin ada kerinduan yang terlalu dalam hingga membuatnya sulit bicara. Tapi bagi Gisella, selama Nenek Saniah ingin bercerita, ia akan selalu mendengarkan. ”Giselll! Ini.” Seorang gadis berseragam suster, berlari mendekat dan memberikan sebotol air dingin untuknya. Gisella membuka tutup dan meneguknya. “Seger.” ”Kamu, berdiri lama banget, tapi nggak minum. Nenek, mau minum juga?” Gadis berjongkok dan membantu Nenek Saniah minum. “Nggak kepanasan di sini?” Gisella menggeleng. ”Sedikit, tapi suasananya cukup nyaman. Di dalam terlalu ramai.” ”Memang, jam segini para orang tua sedang suka mengobrol. Karena tidur juga kepanasan biar pun ada kipas. Untuk beberapa orang malah nggak suka kipas karena masuk angin.” ”Nita, berapa lama kamu kerja di sini?” ”Belum satu tahun.” ”Kelihatannya kamu suka.” Nita tertawa. “Aku yatim pialu, Gisell. Di sini seperti menemukan keluarga, selain itu juga dapat uang.’” “Hebat kamu.” ”Nggak, kamu yang hebat. Bisa menaklukkan Nenek Saniah yang terkenal rewel. Ngomong-ngomong, kamu mau kerja di sini juga?” Gisella menggeleng, meski jujur saja ingin juga kerja di sini, tapi ia tahu tidak mungkin. Satu karena ia fidak punya keahlian apa-apa untuk merawat orang tua, selain memberikan perhafian. Kedua yang paling besar alasannya adalah Ernest. Ia tidak mungkin meninggalkan laki-laki ilu hanya untuk kerja di sini. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai ia melakukan itu. Bisa jadi keluarganya akan menjadi gelandangan dan Ernest menutup tempat ini. Berdasarkan pada sifat laki-laki itu, entah kenapa ia merasa apa yang ada di pikirannya bukan mengada-ada. "Kenapa Gisell? Kamu ada kerjaan tetap?” ”Bisa dibilang begitu. Aku sudah terikat.” Ia tidak menjelaskan lebih lanjut tentang arti kata terikat. Nita pasti berpikir kalau ia terikat pekerjaan, padahal bukan im maksudnya. Ia ikut Ernest belum dua bulan, dan selama ini menjalani kehidupan sebagai wanita simpanan dengan cukup baik. Mengesampingkan harga diri dan melayani laki-laki itu. Pekerjaan dan hutang keluarga yang mengikatnya pada Ernest. ”Sayang sekali, padahal aku senang temenan sama kamu. Kak Andre baik, tapi dia laki-laki. Lebih enak mengobrol sama perempuan.” Keduanya bertukar pandang, lalu tertawa bersamaan. Pintu gerbang membuka, Andre datang dengan mobil berisi bahan makanan. Nita pamit untuk membantu laki-laki itu membongkar sayur mayur dan membawanya ke dapur. Selesai semua, Andre menghampirinya. ”Gisell, sudah lama di sini?” ”Sudah satu jam.” ”Yah, udah mau pulang? Padahal aku baru datang.” "Lain kali datang lagi.” Andre berdiri terpaku di sudut taman, matanya tak lepas memandangi punggung Gisella yang perlahan menjauh. Ada dorongan kuat untuk menahan langkah gadis itu, tapi lidahnya kelu. Ia ingin sekali tahu lebih banyak tentangnya—di mana rumahnya, bagaimana caranya menghubungi dia, bahkan sekadar nama belakang pun belum sempat ia tanyakan. Tapi entah kenapa, setiap kali niat itu muncul, nyalinya runtuh. Gisella terlalu misterius. Sikapnya manis, namun terasa berjarak, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin diketahui siapa pun. Andre menghela napas panjang, menunduk pasrah saat sosok itu hilang di balik tikungan jalan. Meski enggan melepaskannya, ia tahu tak bisa memaksa. Ia hanya bisa berharap dan berjanji dalam hati, akan mencari cara untuk tetap dekat, perlahan namun pasti. Sementara itu, di tempat lain, Gisella baru saja memasuki rumahnya ketika ponselnya berdering. Nama Ernest muncul di layar. Ia menjawab dengan suara datar, dan hanya selang beberapa menit setelah panggilan berakhir, mobil mewah pria itu sudah terparkir di depan rumahnya. Untung saja ia sudah pulang saat ditelepon. Jantungnya berdebar lebih cepat, bukan karena rindu—tapi karena kegelisahan yang sulit ia jelaskan. ”Untung Nona sudah pulang. Saya sempat kuatir tadi waktu beliau menelepon. Saya bilang saja Nona ke warung membeli sesuatu dan lupa membawa ponsel.” Lilies menyambut kedatangannya. ”Iya, Bi. Ponselku habis baterai.” ”Syukurlah. Nona ganti baju dulu, nggak enak dilihat Tuan kalau keringetan begitu. Nanti dia curiga.” Tanpa kata Gisella berlari ke kamar. Menyiram tubuh dengan air, mengeringkannya, dan memakai gaun yang baru. Ia sedang menyisir saat terdengar suara mobil berhenti di halaman. Meletakkan sisir, ia melangkah ke ruang tamu untuk menyambut Ernest. ”Tuan.” Ernest menyodorkan dua kantong besar padanya dan Gisella menerima dengan bingung. ”Baju untukmu, semoga ukurannya cocok,” ucap Ernest. "Eh, di lemari masih banyak yang belum terpakai.” ”Terserah kamu mau apakan, jual saja kalau nggak suka.” ”Nggak, Tuan. Saya suka.” Gisella melangkah pelan menuju kamar, membawa kantong berisi pakaian yang baru dibelinya. Tangannya terampil menyusun isi kantong ke dalam lemari, rapi dan teratur seperti biasa. Hatinya sedikit gelisah, namun ia tetap berniat keluar ke ruang tengah, tempat Ernest menunggunya. Tapi sebelum sempat melangkah, suara langkah berat di belakang membuatnya berbalik. Ernest sudah di ambang pintu. Tatapannya dalam, menyala, seperti ada bara yang tak padam sejak tadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menghampiri Gisella, membungkusnya dalam dekap yang mendesak. Ciumannya mendarat begitu saja—panjang, dalam, dan sarat emosi yang sulit ditebak: rindu, hasrat, atau mungkin sesuatu yang lebih rumit. Gisella tak banyak bertanya. Ia membiarkan tubuhnya larut dalam arus yang datang seperti badai. Jemari Ernest yang kuat dan terburu-buru meluruhkan sisa-sisa jarak di antara mereka. Dalam senyap, mereka berbagi kehangatan di balik tirai malam. Namun, ketika ia merasa tubuhnya diposisikan berbeda—membungkuk, tak seperti biasanya—ada kegelisahan yang menyusup perlahan. Bukan rasa sakit, tapi tanya yang berdesir lirih di benaknya, tentang batas, tentang kerelaan, dan tentang dirinya sendiri. "Tu-tuan, ada apa?” ”Kamu sudah melihat film yang aku suruh,” bisik Ernest sambil menggigiti telinga Gisella. ”Su—sudah, Tuan.” ”Kalau begitu kamu tahu apa artinya ini.” Gisella terkejut ketika tubuhnya menyentak pelan, suara lirih lolos dari bibirnya—bukan jeritan, melainkan desahan yang tertahan oleh keterkejutan. Ia tak pernah membayangkan akan merasakan sesuatu yang begitu asing, begitu membingungkan. Ada perih yang samar, berbaur dengan gerakan Ernest yang tak sabar, seolah terburu oleh gejolak yang tak bisa dikendalikannya. Ia mencoba menenangkan diri, menggigit bibir agar tidak mengeluarkan suara yang mencerminkan kegelisahan. Tubuhnya menegang, bukan karena kenikmatan, melainkan karena rasa tak nyaman yang menusuk pelan tapi dalam. Seakan dirinya hanya menjadi wadah, bukan lagi sosok yang dianggap penting dalam keintiman itu. Ketika semua berakhir, Gisella merasa kedua kakinya lunglai, seperti kehilangan tenaga. Ia membalikkan tubuh, membiarkan punggungnya menempel pada seprei yang telah basah oleh keringat. Ernest hanya menatapnya sekilas, lalu melangkah menuju kamar mandi tanpa sepatah kata. Suara air dari pancuran terdengar menggema, sunyi, seperti jeda dari sesuatu yang seharusnya penuh makna. Gisella memejamkan mata, membiarkan setitik air mata mengalir di pipinya. Ia mengepalkan tangan, menahan sesak yang perlahan menggunung di dadanya. Tak ada lagi ruang untuk penyesalan—ini adalah jalan yang telah ia pilih, meski pahitnya kadang terlalu dalam untuk dilupakan. "Kamu sudah menghubungi orang tuamu?” Ernest bertanya saat keluar dari kamar mandi. Gisella yang terduduk di pinggir ranjang menggeleng. ”Belum, Tuan.” ”Punya ponsel untuk apa kalau begitu?” Gisella menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata yang pas untuk diucapkan. la tidak mau Ernest terlalu banyak tahu tentang urusannya dengan sang ibu. Meskipun ia yakin kalau laki-laki itu sedikit banyak pasti menduga. ”Saya sudah mengirim pesan pada Dalfon." Ernest mengernyit. ”Siapa, Dalfon?” ”Adik tiri.” ”Baguslah. Jangan tidak sama sekali. Aku tidak mau membuat masalah yang akhimya menjauhkanmu dari mereka.” Nyatanya, hubungannya dengan keluarga memang jauh. Bukan perkara jarak, tapi juga perasaan. Ada jarak luas dan panjang yang tidak ingin ia perpendek, setidaknya sekarang. Cukup komunikasi dengan Dalfon, Gisella belum siap untuk menyapa sang ibu. ”Iya, Tuan,” jawab Gisella saat Ernest memanggilnya. ”Aku sudah mentransfer uang jajanmu.” Kali ini Gisella hanya mengangguk, mengamati dalam diam, Ernest yang sedang memakai baju. Berarti laki-laki itu tidak menginap. Datang hanya untuk bersetubuh dengannya lalu pergi lagi. ”Apa kamu ingin membeli sesuatu yang lain? Perhiasan mungkin?” Pertanyaan dari Ernest membuat Gisella menggeleng kecil. ”Nggak ada, Tuan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN