bc

Gisella Sang Wanita Simpanan

book_age18+
109
IKUTI
1.4K
BACA
contract marriage
HE
friends to lovers
heir/heiress
city
affair
like
intro-logo
Uraian

Demi menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan, Gisella dipaksa menjalani hidup yang tidak pernah ia pilih. Dijual oleh orangtuanya untuk menjadi simpanan seorang miliarder muda, Ernest, yang sudah memiliki istri, Gisella merasa tak ada harapan selain melanjutkan hidup dalam keterpaksaan. Namun, kenyataan berkata lain. Ernest, yang awalnya ia anggap kejam dan penuh ambisi, perlahan menunjukkan sisi lain dirinya—penuh perhatian dan kasih sayang yang tak pernah Gisella bayangkan.

Tapi cinta yang tumbuh di tengah kepahitan itu tak lepas dari bahaya. Ketika hubungan gelap mereka terbongkar oleh istri sah Ernest, kehidupan mereka berubah menjadi mimpi buruk yang mengancam nyawa. Di tengah ketakutan dan kebingungan, Gisella harus memilih: melarikan diri dari cinta yang telah mengubah hidupnya, atau bertahan dalam bayang-bayang ancaman yang tak kunjung reda.

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1
Memang klise, hidup sengsara seperti dalam sinetron—di mana tokoh perempuan jarang sekali mengecap kebahagiaan meskipun menjadi pemeran utama. Gisella selalu menganggap dirinya hanya tokoh latar, sekadar figuran yang keberadaannya tidak penting. Ia tidak pernah meminta sorotan, tidak pernah berharap menjadi pusat perhatian, cukup baginya menjadi pelengkap dalam kisah orang lain. Namun, kenyataan berkata lain. Hidup justru menempatkannya sebagai pemeran utama dalam cerita yang penuh luka dan kepedihan. Sejak kecil, ia seolah ditakdirkan untuk berjuang tanpa jeda, berperan sebagai korban dalam drama kehidupan yang tak pernah memberinya kesempatan untuk bernapas lega. Orang-orang selalu berbicara tentang cinta sebagai pengorbanan, tetapi bagi Gisella, cinta adalah alasan di balik penderitaannya. Ia menjadi korban dari keserakahan yang dibungkus dengan kata-kata manis, dari janji-janji yang hanya memberinya harapan palsu. Dunia tidak memberinya pilihan selain menerima takdir yang ia benci, seakan perlawanan hanyalah kesia-siaan. Di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, ia dipaksa menelan kenyataan pahit—ayahnya yang selama ini menjadi sosok paling kuat dalam hidupnya, meninggal akibat kecelakaan. Kehilangan itu bukan hanya merenggut figur pelindung, tetapi juga menghancurkan keluarganya hingga berkeping-keping. Rumah yang dulunya penuh canda tawa kini terasa sunyi dan dingin. Tanpa sosok ayah sebagai penopang ekonomi, keadaan berubah drastis. Orang-orang yang dulu menyanjung mereka karena kekayaan dan pengaruh, perlahan menjauh. Kerabat, saudara, bahkan teman yang dulu begitu dekat, menghilang satu per satu, meninggalkan mereka sendirian dalam keterpurukan. Gisella dan ibunya terpinggirkan dari lingkungan mereka, menjalani hidup dengan penuh keterbatasan. Sang ibu bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tidak masalah hanya bekerja sebagai pelayan dan makan sederhana, asalkan cukup untuk kita.” Gisella setuju dengan perkataan sang ibu, pada dasarnya ia tidak pernah mengeluh karena menjadi berbeda. Dulu terbiasa mendapatkan semua yang ia mau, sekarang tidak bisa Iagi. Tidak masalah untuknya yang penting bahagia bisa bersama ibunya. Kebahagiaan mereka semakin lengkap ketika, dua tahun kemudian, ibunya, Marisa, menikah lagi dengan pemilik restoran tempatnya bekerja. Laki-laki itu, Jordan, baru saja kehilangan istrinya dan masih dalam masa berduka ketika bertemu Marisa. Kecantikan serta kelembutan wanita itu perlahan mengobati kesedihannya. Tidak butuh waktu lama, setelah seratus hari kepergian sang istri, Jordan mempersunting Marisa dan membawa keluarganya ke dalam kehidupannya. Bersama Jordan, datang pula seorang anak laki-laki—putranya—yang usianya dua tahun lebih muda dari Gisella. Anak itu pendiam, pemalu, dan tidak banyak bicara, berbeda jauh dari bayangan Gisella tentang seorang adik tiri. Namun, justru sifatnya yang tertutup itu menarik perhatian Gisella. Alih-alih merasa terganggu dengan kehadiran anggota keluarga baru, ia justru menyukai anak laki-laki itu. Baginya, memiliki seorang adik bukanlah hal yang buruk. Ada perasaan nyaman yang perlahan tumbuh, seolah keberadaan mereka saling melengkapi satu sama lain. “Namamu Dalfon? Apa kamu tahu namamu itu dalam bahasa Ibrani artinya adalah hujan? Apa kamu dilahirkan saat hujan atau kamu suka hujan?” Seperti yang sudah diduga, remaja laki-laki itu tetap diam. Gisella tidak kecewa, apalagi mendesaknya untuk berbicara. Ia sudah memahami bahwa Dalfon bukan tipe yang mudah mengungkapkan isi hatinya, dan ia tidak berniat memaksanya. Baginya, kehadiran Dalfon saja sudah cukup, meskipun tanpa banyak kata. Sementara itu, kehidupan ibunya mulai berubah. Setelah menikah dengan Jordan, Marisa mendapat kenaikan jabatan dari sekadar pelayan menjadi wakil manajer restoran. Namun, tidak semua orang melihatnya sebagai keberuntungan. Bisik-bisik di antara pegawai mulai terdengar—mereka menganggap Marisa hanya mendapatkan posisi itu karena menjadi istri pemilik restoran, bukan karena kerja kerasnya. “Aku melihat wanita itu bertingkah tidak pantas di ruangan Pak Jordan, bahkan berusaha menarik perhatiannya dengan cara yang berlebihan.” “Aku juga pernah memergokinya melakukan hal tidak senonoh di depan Pak Jordan. Sungguh memalukan.” “Wanita itu benar-benar tidak tahu malu.” Marisa tentu saja mendengar semua bisikan penuh iri dan makian yang ditujukan padanya, tetapi ia tidak peduli. Baginya, menikahi Jordan adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya, dan tidak ada satu pun kata-kata buruk yang bisa menggoyahkan posisinya. Ia yakin bahwa waktu akan membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar istri pemilik restoran. Cepat atau lambat, ia akan membuat semua orang yang meremehkannya diam. Dan Marisa memang membuktikan ucapannya. Setelah resmi menjadi istri Jordan, ia segera mengambil kendali dan menerapkan berbagai kebijakan baru di restoran. Ia tidak ragu menggunakan kekuasaannya untuk menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Beberapa pegawai yang berani mengkritiknya langsung dipecat tanpa uang pesangon, seolah mereka tak lebih dari sampah yang harus disingkirkan. Baginya, mereka seperti anjing yang menggigit tangan tuannya sendiri—dan Marisa tidak punya belas kasihan untuk mereka. Sikapnya terhadap anak tirinya cukup baik. Bocah pendiam itu tidak terlalu merepotkannya. Sehari-hari, karena sibuk di restoran, ia menitipkan Dalfon pada Gisella. Ia dan Jordan pergi pagi dan pulang larut malam, bekerja di restoran. “Gisell, lindungi adikmu, apa pun yang terjadi. Sekarang kamu adalah seorang kakak, dan sudah seharusnya bertanggung jawab atasnya.” Gisella hanya mengangguk sambil tersenyum, merasa lega karena setelah pernikahan ibunya, ia tidak perlu lagi bersusah payah bekerja sebagai pelayan. Hidup mereka berubah drastis, dari tinggal di kontrakan kecil yang sempit kini berpindah ke rumah besar milik Jordan. Meski suasana rumah jauh lebih nyaman, tidak ada pelayan yang membantu mereka dalam pekerjaan rumah. Karena itu, Gisella mengambil alih semua tugas—membersihkan rumah, memasak untuk Dalfon, dan memastikan adik tirinya terurus dengan baik. Ia tidak mengeluh, sebab merawat rumah dan Dalfon terasa lebih ringan dibandingkan kesulitan yang dulu pernah ia lalui. Hubungannya dengan Jordan pun berjalan cukup baik, meskipun mereka tidak terlalu dekat. Jordan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, layaknya seorang ayah terhadap anak perempuannya. Ia bahkan memberinya kamar sendiri, lengkap dengan dekorasi cantik dan perabotan baru. Perlakuan hangat itu membuat Gisella sedikit demi sedikit merasa diterima dalam keluarga barunya. “Bagaimana Gisell? Kamu senang bukan di kamar ini? Harus berterima kasih sama Ayah.” Marisa berucap dengan rona wajah bahagia suatu sore, setelah selesai menata kamar anaknya. Gisella, dengan malu-malu mengucapkan terima kasih pada sang ayah tiri dan mengatakan kalau kamarnya sangat bagus. Setelah setahun menikah, Marisa dan Jordan punya anak. Mereka dianugrahi bayi yang cantik. Sekali lagi, Gisella merasa gembira, punya adik baru. Sayangnya, sikap sang ibu perlahan berubah setelah adiknya lahir. Lebih banyak marah-marah dan menumpahkan kekesalan pada Gisella. Tidak ada yang tahu apa penyebanya, bahkan Gisella pun tidak mengerti. “Kamu anak paling besar, tapi tidak becus jaga rumah. Ngapain saja kamu seharian?” Setiap kali Jordan pulang terlambat, itulah yang selalu diucapkan Marisa. Ia tidak pernah berani menanyakannya langsung pada suaminya, tetapi justru melampiaskan kekesalannya pada Gisella. Gadis itu hanya diam, memilih untuk tidak membantah. Ia memahami bahwa ibunya sedang lelah dan dipenuhi banyak pikiran. Sebagai anak tertua, ia merasa harus mengerti keadaan dan tidak menambah beban keluarga. Gisella pernah membaca bahwa wanita yang baru melahirkan sering mengalami perubahan emosi yang drastis. Sensitivitas yang meningkat setelah persalinan adalah hal yang wajar. Ia berharap ini hanya fase baby blues yang akan segera berlalu. Mungkin, setelah beberapa waktu, ibunya akan kembali seperti dulu—lebih tenang dan penuh kasih sayang. Ia hanya perlu bersabar dan bertahan, seperti yang selalu ia lakukan. Harapan tinggal harapan, semakin hari sikap sang ibu semakin menjadi-jadi. Semakin besar usia Gisella, semakin jauh hubungan mereka. Marisa memperlakukan anak perempuannya ibarat anak pungut, dan lebih perhatian pada anak perempuannya yang baru yang bemama Gradia. Gradia, diperlakukan seperti putri kecil, dengan Gisella sebagai pelayan. Orang yang memprotes perlakukan itu adalah Dalfon yang selama ini jarang bicara. “Gradia memang masih kecil, tapi bukan berarti harus dimanja. Kasihan Gisell.” Itu pertama kalinya, Gisella yang berumur 18 tahun, mendengar pembelaan dari sang adik yang baru beranjak dewasa. Hati Gisella merasa bahagia karenanya. “Sudah sewajamya, seorang kakak menjaga adiknya.” Jawaban dingin dari Marisa, mematahkan semangat Gisella. Lulus SMU, Gisella ingin melanjutkan kuliah, tapi Marisa menentang. Saat ia ingin bekerja, juga tidak diperbolehkan. “Kamu di rumah, mengurus adik-adikmu. Yang penting kamu bisa makan tiap hari, harusnya kamu bersyukur.” Hancur sudah cita-cita Gisella untuk menjadi dokter. Nilai-nilainya yang bagus, terbengkalai karena sang ibu sendiri. Percuma ia merengek karena Marisa berkemauan keras. “Bu, aku sudah dewasa. Ingin menentukan sendiri hidupku.” “Justru karena kamu sudah dewasa, harus mengerti balas budi.” Gisella tidak habis pikir, kenapa harus balas budi pada orang tuanya, sedangkan ia tidak pernah minta dilahirkan, rasanya seperti punya utang miliaran pada Marisa dan tidak terbayarkan. Masalah besar datang saat Gisella menginjak umur dua puluh tahun. Restoran milik Jordan bangkrut karena terlilit utang. Marisa bercerita pada anak-anaknya sambil menangis kalau itu kesalahan yang tidak disengaja. Mereka ingin membuka cabang, menginvestasikan seluruh uang ke sana dan ternyata, kena tipu makelar. Gisella tidak paham, bagaimana bisa kena tipu, setahunya sang ibu dan ayah tirinya orang yang pintar. Namun, ia menyimpan sendiri pertanyaan itu karena tidak ingin membuat orang tuanya sedih. Keesokan harinya, tanpa disangka kedua orang tuanya mengajak ke restoran dengan ingin makan bersama di sana. Hal yang jarang terjadi. Seingatnya, terakhir kali Gisella datang ke restoran adalah tahun lalu. Dalfon menolak pergi, ingin di rumah. Gisella menggandeng tangan Gradia memasuki restoran dan diarahkan untuk duduk di meja dekat jendela. “Ada teman lbu yang akan ikut makan dengan kita.” Marisa berucap dengan berseri-seri. Di sebelahnya, Jordan terlihat murung. Minum kopi dalam diam. Gisella tidak tahu, siapa yang dimaksud dengan teman. Ia sibuk menyuapi makan Gradia, hingga terdengar suara berat dari seorang laki-laki menyapa mereka. “Selamat siang.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.2K
bc

My Secret Little Wife

read
127.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
14.9K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
179.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
229.5K
bc

Ibu Susu Anak Dosen Duda

read
4.2K
bc

Diam-diam Suami Temanku Menyimpan Rasa

read
1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook