BAB 2

1560 Kata
Gisella mendongak, matanya bertemu dengan sosok laki-laki paling tinggi yang pernah ia lihat. Dengan rambut yang disisir rapi, rahang kokoh, serta wajah yang tak bisa disangkal ketampanannya, pria itu memiliki aura yang begitu kuat. Namun, bukan ketampanannya yang membuat Gisella terpaku, melainkan sorot matanya—dingin, tajam, dan penuh wibawa. Ada sesuatu yang membuatnya bergidik ngeri, seolah ia sedang berdiri di hadapan seorang pemangsa yang hanya menunggu waktu untuk menerkam. Saat tatapan mereka bertemu, jantung Gisella berdegup kencang. Ada tekanan tak kasat mata yang membuatnya sulit bernapas. Secepat mungkin, ia menundukkan kepala, berharap pria itu tidak memperhatikan ketakutannya. Namun, entah mengapa, tubuhnya tetap terasa kaku, seolah kehadiran pria itu saja sudah cukup untuk menguasai ruangan dan mengendalikan dirinya sepenuhnya. “Tuan Ernest, silakan duduk.” Marisa berdiri, menatap penuh hormat pada laki-laki itu. Begitu pula Jordan yang sedari tadi terdiam, kali ini tersenyum. “Maaf atas keterlambatannya,” kata pria itu. “Tidak masalah, Tuan. Kami juga baru saja tiba,” jawab mereka. Gisella tidak mengerti apa hubungan pria itu dengan orang tuanya. Kenapa ibunya terlihat begitu hormat, bahkan Jordan, yang biasanya berwibawa, kini tampak merendah di hadapannya? Seharusnya mereka adalah pemilik restoran ini, tapi entah mengapa, Ernest justru terlihat seperti majikan yang sebenarnya. Cara mereka berbicara, sikap penuh kehati-hatian, serta tatapan penuh rasa segan membuat Gisella bertanya-tanya—siapa sebenarnya pria itu hingga membuat kedua orang tuanya begitu tunduk? Saat meraih minumannya, Gisella kembali mendongak, dan sekali lagi, matanya bertemu dengan tatapan laki-laki itu. Ernest tampak lebih muda dari ibunya, Marisa—hanya terpaut sekitar sepuluh tahun. Namun, ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatnya tampak jauh lebih dewasa dan berwibawa. Tatapan matanya yang tajam, ekspresi datar yang sulit diterka, serta aura dingin yang mengelilinginya membuat siapa pun enggan berbicara padanya, termasuk Gisella. Ia merasa, menjaga jarak dari pria itu adalah keputusan terbaik. Tidak ada alasan baginya untuk terlibat lebih jauh dengan sosok yang memberi kesan begitu mengintimidasi. Namun, sepulang dari acara makan malam itu, sesuatu yang aneh terjadi. Marisa dan Jordan, yang sebelumnya selalu bermuka masam dan dipenuhi kecemasan, kini tampak lebih cerah. Wajah mereka berbinar seolah baru saja mendapatkan harapan baru. Mereka bahkan sibuk membicarakan rencana-rencana besar untuk restoran yang sempat tertunda. Perubahan drastis itu membuat Gisella curiga, dan beberapa hari kemudian, ia mengetahui penyebabnya. Saat kedua orang tuanya memanggilnya di suatu malam, firasat buruk menyelimuti hatinya. Dan benar saja—di malam itu, ia akhirnya sadar bahwa menjadi pemeran pembantu dalam hidup tidak selalu lebih baik daripada menjadi tokoh utama. Kadang, justru lebih mengenaskan. “Tuan Ernest menyukaimu, Gisella. Itu adalah sebuah kehormatan bagimu. Tahukah kamu bahwa pria itu adalah seorang miliarder dan salah satu orang paling berpengaruh di kota ini?” Gisella mengerutkan kening, kebingungan. Ia menggeleng pelan. “Lalu, apa hubungannya dengan kita, Bu?” Marisa tersenyum samar, tangannya mengusap bahu putrinya dengan lembut. “Tentu saja ada hubungannya, dan semua ini demi kebaikanmu.” “Kebaikanku?” Gisella menatap ibunya penuh tanda tanya. “Maksud Ibu apa?” Marisa duduk di hadapan putrinya, meraih tangan Gisella dan menggenggamnya erat. “Kamu tahu, kan, kalau kita sedang mengalami masalah keuangan? Restoran hampir tutup karena kebangkrutan.” Gisella mengangguk pelan. “Tuan Ernest-lah yang membantu kita keluar dari situasi ini. Dia menginvestasikan banyak uang, bukan hanya untuk menyelamatkan restoran, tapi juga melunasi semua utang kita.” Gisella tetap diam, mendengarkan dengan saksama. “Tapi ada satu hal yang ia minta sebagai imbalan atas semua bantuannya,” Marisa berhenti sejenak, menatap putrinya dengan penuh harap. “Dia menginginkanmu.” Gisella mengerutkan kening. “Aku? Maksudnya bagaimana?” Marisa menggigit bibirnya, berusaha menjaga ketenangannya. “Gisella, kamu sudah berusia dua puluh tahun. Harusnya kamu mengerti apa yang Ibu maksud.” Namun, Gisella menggeleng, kebingungan. “Tidak, aku benar-benar tidak paham.” Marisa menarik napas dalam, suaranya lembut tapi penuh penekanan. “Tuan Ernest menyukaimu, Sayang. Dia ingin kamu menjadi istrinya.” “Apa?” Gisella terbelalak. “Kamu tidak salah dengar, Gisell,” lanjut Marisa. “Ini justru kesempatan besar untukmu.” Gisella menggeleng pelan, mencoba memahami kata-kata ibunya. Seorang pria menyeramkan, yang nyaris tak ia kenal, tiba-tiba dikatakan menyukainya? Itu terdengar mustahil. Bagian mana dari dirinya yang menarik perhatian laki-laki itu, padahal mereka hanya bertemu sekali? Ia tidak mengerti, tidak bisa menerima kenyataan ini. Gisella berharap ibunya salah, bahwa semua ini hanya kesalahpahaman. Namun, melihat ekspresi serius di wajah Marisa, harapan itu perlahan memudar. “Bu, aku tidak mau,” ujar Gisella dengan suara lirih. “Kamu tidak punya pilihan!” bentak Marisa, matanya tajam menatap putrinya. “Jangan berani menolak! Jika kamu menolak, itu sama saja menghancurkan keluarga kita. Apa kamu ingin melihat kami berakhir di penjara?!” Gisella mengusap wajahnya, mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini hanyalah sebuah sandiwara. Andai saja ada tumpukan skrip di hadapan mereka, andai ini hanyalah adegan dari drama murahan tentang miliarder kaya yang mencari istri dengan melunasi utang keluarganya. Tapi tidak, ini bukan sekadar cerita. Ibunya tidak sedang berakting, tidak ada kamera yang merekam. Kenyataan menamparnya—ini benar-benar terjadi, dan ia tidak bisa lari darinya. “Uang yang kita gunakan untuk modal restoran dan melunasi utang-utang itu berasal dari Tuan Ernest. Sejak awal, kesepakatannya adalah dia menginginkanmu menjadi istrinya, dan sebagai gantinya, semua utang akan terbayar lunas.” “Aku bukan barang, Bu. Aku juga punya perasaan! Bagaimana bisa kalian begitu mudahnya menjualku seperti ini?!” Gisella berteriak keras, suaranya menggema di seluruh rumah, membuat Jordan dan Gradia berhamburan keluar dari kamar mereka. Dalfon, yang baru pulang sekolah, tertegun di ambang pintu, menatap kakaknya yang sedang dilanda emosi. Melihat Gisella yang biasanya lembut dan tenang, kini meluapkan amarah, membuat mereka terkejut. Situasi yang tidak biasa ini jelas mengguncang mereka semua. “Kamu bilang punya perasaan? Tapi, bagaimana dengan nasib kami? Kalau kamu menolak, bukan hanya orang tuamu yang akan masuk penjara, tetapi adik-adikmu juga akan terlantar! Apa itu yang kamu inginkan? Apa kamu tega mengorbankan kami semua, Gisella?” Marisa menghardik dengan suara penuh tekanan, menambah berat beban di hati putrinya. Gisella menangis terisak, berusaha memohon dengan suara terbata-bata, suaranya hampir hilang tertelan tangis. “Ibu ... tolong, jangan ...” Namun Marisa tetap tak tergoyahkan, wajahnya tetap datar. “Tuan Ernest sudah punya istri, Gisella. Kamu hanya akan menjadi istri keduanya. Lakukan ini untuk kami, demi orang tuamu, dan adik-adikmu. Ini bukan tentangmu, ini demi keluarga.” Malam itu, Gisella menangis tanpa henti, air matanya tak bisa dihentikan meskipun ia ingin sekali menahannya. Marisa dan Jordan sudah mengambil keputusan, dan ia tidak bisa menolaknya. Dalfon yang melihat kakaknya terisak, masuk ke kamar Gisella dengan ragu, lalu menyodorkan sebatang cokelat padanya. Gisella menatap adiknya, berusaha tersenyum, namun tenggorokannya terasa tercekat, menyakitkan. “Kalau kamu mau kabur, aku akan membantumu,” kata Dalfon dengan suara lembut, namun tegas. Gisella terkejut mendengar perkataan adiknya itu, namun rasa sedih yang menguasai hatinya membuatnya tak bisa menjawab. Ia hanya meraih cokelat dari tangan Dalfon, mengucapkan terima kasih dengan suara terbata-bata. Di rumah ini, hanya Dalfon yang benar-benar mengerti perasaannya, meskipun pemuda itu jarang sekali berbicara. Dalfon adalah orang yang membelikannya pembalut saat haid, membawakan jajanan kesukaannya sepulang sekolah, dan menemaninya di malam-malam sunyi ketika orang tua mereka harus lembur sampai larut. “Kalau aku kabur, kalian semua akan masuk penjara,” Gisella berkata dengan suara bergetar. “Mereka yang berutang, tapi kamu yang harus menanggung akibatnya. Itu tidak adil,” balas Dalfon, penuh rasa prihatin. Gisella mengangguk pelan. “Hidup memang tidak pernah adil padaku, Dalfon. Aku bingung dan merasa putus asa.” Pada akhirnya, Gisella tak bisa lagi menolak keinginan orang tuanya. Marisa, yang ketakutan akan ancaman penjara, jatuh sakit, dan dalam kesedihannya, ia terus memohon kepada Gisella. Meski hati Gisella terasa berat, melihat penderitaan dan ketakutan ibunya, ia akhirnya luluh. Mengabaikan rasa takut dan kecewa, ia menyetujui untuk menjadi istri simpanan Ernest. Saat mendengar keputusan Gisella, Marisa memeluknya erat, mengucapkan terima kasih berulang kali. “Aku yakin kamu akan bahagia, Gisell. Ernest itu laki-laki kaya yang akan memenuhi semua kebutuhanmu. Bersamanya, kamu nggak akan pernah kekurangan, dan aku yakin kamu akan bahagia.” Namun, kebahagiaan itu terasa jauh dari Gisella. Tidak ada pernikahan resmi—Ernest hanya menginginkannya sebagai wanita simpanan. Ketika Marisa memberitahukan Ernest tentang keputusan Gisella, keesokan harinya, rumah mereka dipenuhi oleh hadiah-hadiah mewah. “Kenapa kamu menjual tubuhmu demi mereka? Kenapa?” Dalfon bertanya dengan suara bergetar. “Dalfon, aku—” “Jangan bilang kamu lakukan ini demi orang tua kita, Gisell. Ingat, kamu bukan b***k di sini.” Meski Dalfon pendiam, saat Gisella tersakiti, hanya dia yang berani berteriak dan melawan. Satu-satunya orang yang tak bisa menerima keadaan ini adalah Dalfon. Melihat tumpukan hadiah yang datang dari Ernest, rasa kebahagiaan Gisella semakin jauh. Dengan hati yang hancur, Gisella merapikan pakaian dan memasukkan barang-barangnya ke koper. Ernest akan menjemputnya untuk membawanya tinggal di rumahnya. Ia ingin melarikan diri, namun tidak punya keberanian untuk melakukannya. “Tuan Ernest menunggumu di mobil,” ujar seorang pria kurus yang datang dengan mobil Mercy putih. “Mana barang-barangmu, biar saya bawa ke mobil.” Gisella hanya menunjuk dua koper kecil yang sudah ia siapkan, membiarkan pria itu membawanya ke mobil. Tidak ada orang di rumah saat ini, dan rasa kesedihan memenuhi dadanya. Saat masuk ke dalam mobil, ia terisak. Ernest duduk di jok depan, namun Gisella tak berniat untuk menegurnya. Ia merasa seperti seorang pemeran utama dalam sinetron kehidupan yang paling kejam—tak ada yang bisa ia lakukan, selain mengalaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN