Gisella melangkah dengan ragu ke dalam rumah megah bercat putih yang berdiri anggun di pinggiran kota. Halamannya luas, dipenuhi hamparan rumput hijau yang terawat, dengan beberapa pohon rindang yang memberi kesan asri. Bangunan itu memancarkan aura kemewahan dan ketenangan, sesuatu yang terasa begitu asing baginya.
Begitu ia melewati ambang pintu, seorang perempuan tua dengan pakaian rapi menyambut mereka dengan sopan. Wajahnya penuh ketenangan, seperti seseorang yang telah lama mengabdi di tempat ini. Dengan ramah, ia mengambil alih koper Gisella dan mengisyaratkan agar gadis itu mengikutinya.
“Silakan, Nona. Saya akan mengantar Anda ke kamar,” ujarnya lembut.
Gisella hanya mengangguk pelan, mengikuti langkah perempuan itu menuju sebuah ruangan di lantai atas. Saat pintu kamar dibuka, ia mendapati sebuah ruang yang luas dan tertata dengan sempurna. Udara di dalamnya terasa sejuk, aroma lembut lavender menguar dari lilin aromaterapi yang diletakkan di sudut ruangan.
Matanya menelusuri setiap sudut: ranjang kayu besar dengan seprai putih bersih, dua lemari tinggi berukir elegan, serta meja rias dengan cermin besar yang berbingkai emas. Di dekat jendela kaca yang terbuka, sebuah sofa panjang terletak nyaman, menghadap televisi layar lebar yang dipasang berhadapan langsung dengan ranjang. Meski belum menyentuhnya, Gisella tahu bahwa setiap furnitur di sini pasti bernilai mahal.
“Kamu suka?”
Sebuah suara bariton yang dalam tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Gisella terkejut, tubuhnya menegang sejenak sebelum ia berbalik. Ernest berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak.
Gisella menelan ludah, kemudian mengangguk kecil. “Iya, Tuan.”
Ernest menyeringai tipis, seolah puas dengan responsnya. “Bagus,” katanya, lalu melirik perempuan tua yang tadi menemani Gisella. “Bi Lilies yang akan mengurus keperluanmu di sini.”
Gisella melirik sekilas ke arah perempuan itu, yang tersenyum menenangkan.
“Sebaiknya kamu mandi, lalu turun untuk makan malam. Aku tak suka menunggu,” lanjut Ernest, suaranya terdengar tegas namun tidak bernada ancaman.
Gisella hanya bisa kembali mengangguk, menyadari bahwa hidupnya kini benar-benar berada di bawah kendali pria itu.
Saat membuka lemari untuk menyimpan pakaian yang dibawanya, Gisella terkejut mendapati bahwa lemari itu sudah dipenuhi berbagai macam pakaian. Gaun-gaun, blus, rok, hingga pakaian santai tersusun rapi, seolah telah lama dipersiapkan untuknya.
Dengan ragu, ia mengulurkan tangan, meraih salah satu pakaian berwarna merah muda yang terlipat sempurna. Begitu menyentuh kainnya, ia bisa merasakan tekstur lembut yang jelas berasal dari bahan berkualitas tinggi. Ia mengangkat pakaian itu dan mendapati ukurannya pas untuk tubuhnya. Dahinya mengernyit. Bagaimana mungkin Ernest tahu ukuran tubuhnya dengan begitu tepat? Pikiran itu membuatnya bergidik ngeri.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Gisella melangkah keluar dengan perasaan canggung. Di depan pintu, Lilies sudah menunggunya. Tanpa banyak bicara, perempuan tua itu mengantarnya ke ruang makan, di mana Ernest sudah duduk dengan tenang.
Di atas meja, berbagai hidangan tersaji dalam porsi melimpah. Gisella menelan ludah, merasa gugup. Saat Lilies membantunya mengambil nasi, ia hanya mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih.
Suasana makan malam terasa begitu sunyi. Hanya terdengar dentingan halus dari sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Gisella makan dengan pelan. Tenggorokannya terasa kering, seperti ada sesuatu yang mengganjal di sana. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Ernest, tapi pria itu hanya fokus pada makanannya, tanpa ekspresi.
Keheningan ini menyesakkan. Ia tidak tahu apakah lebih baik jika Ernest berbicara, atau justru begini lebih aman. Tapi satu hal yang pasti, keberadaan pria itu membuatnya merasa … terancam.
“Sudah selesai makannya?”
Ernest bertanya saat Gisella membalikkan sendok di atas piring dan mengangguk.
“Aku hanya akan mengatakan ini sekali, jadi dengarkan baik-baik dan jangan lupakan. Setiap minggu dan di akhir bulan, uang belanjamu akan tersedia. Terserah bagaimana kau menggunakannya, itu sepenuhnya hakmu. Aku tidak peduli.”
Ernest menatapnya tajam sebelum melanjutkan, suaranya dingin tanpa emosi.
“Tidak ada ikatan resmi antara kita. Satu-satunya tugasmu adalah melayaniku. Perjanjian ini berlaku selama dua tahun.” Ia berhenti sejenak, seolah memberi waktu bagi Gisella untuk mencerna kata-katanya.
“Jika dalam waktu itu kau bisa memberiku anak, aku akan memberimu rumah, mobil, dan apa pun yang kau inginkan. Namun, jika tidak… cukup jalani perjanjian ini hingga selesai. Setelah dua tahun berlalu, aku akan memastikan keluargamu terbebas dari utang mereka.”
Ernest bersandar di kursinya, sorot matanya tajam, menusuk ke dalam iris mata Gisella yang membeku di tempat. “Kau mengerti?”
Gisella mengangguk kecil, tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang terasa hancur. Bagai diremas-remas, harga dirinya terkoyak oleh keadaan yang memaksanya menjadi boneka pemuas nafsu. Ia manusia, seorang perempuan dengan kehendak dan perasaan, namun kini terjebak dalam perjanjian yang tidak bisa ditolaknya.
Yang lebih menyakitkan dari perlakuan Ernest adalah kenyataan bahwa ibunya sendiri—orang yang seharusnya melindungi—telah menyerahkannya dalam keadaan sadar. Bukan untuk dinikahkan secara terhormat seperti yang dikatakan dulu, melainkan dijual. Dijual. Kata itu terus bergema dalam benaknya, menggema sekuat petir yang memecah langit.
“Jadi ini yang Ibu maksud dengan ‘demi masa depan’? Masa depanku sebagai apa? Mainan laki-laki kaya? Apa aku hanya barang yang bisa dikemas dan dikirim, tanpa suara, tanpa hak, tanpa tanya? Ibu … kenapa tega …?”
Tangannya mengepal tanpa sadar, dadanya sesak oleh amarah dan kecewa yang tak tahu harus diarahkan ke siapa lebih dulu—Ernest, sang pembeli? Atau Marisa, ibu kandungnya, yang menjadikan anaknya sebagai barang dagangan?
“Aku bukan p*****r. Aku bukan barang. Tapi kenapa semuanya memperlakukanku seperti itu? Bahkan keluargaku sendiri. Aku nggak pernah minta hidup mewah … aku cuma ingin dicintai. Aku ingin punya hidup yang biasa, sederhana … bukan begini.”
Dunia yang ia kenal terasa runtuh. Tidak ada lagi rumah, tidak ada lagi tempat aman. Yang tersisa hanya tubuhnya—yang sekarang pun bukan lagi miliknya.
Penyesalan membuncah di dadanya. Seharusnya ia tidak pernah datang. Seharusnya ia melawan. Tapi bagaimana? Bahkan untuk sekadar menatap Ernest lebih lama pun, ia merasa ketakutan. Masa depannya kini tergantung pada pria itu.
Sebuah derit kursi terdengar, membuatnya tersentak dan mendongak.
“Pergilah ke kamarmu, aku menyusul tiga puluh menit lagi.”
Gisella mengangguk kecil sebelum melangkah dengan gemetar. Kakinya terasa lemas, seakan setiap langkah menuju pintu adalah perjalanan menuju ketidakpastian yang menakutkan. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, tubuhnya terasa kaku, seolah memberontak terhadap takdir yang kini harus ia jalani.
Begitu tiba di kamar, ia terduduk di atas ranjang. Dadanya naik turun, napasnya terasa berat. Perlahan, ia menekuk kepala di antara lutut, berusaha menahan isak yang nyaris pecah. Rasa sesak memenuhi dadanya—penolakan, ketakutan, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini, tapi hidup memang tak memberi pilihan.
Menit-menit berlalu, terasa seperti siksaan. Saat pintu akhirnya terbuka, jantungnya hampir melompat keluar. Dengan napas tercekat, ia mendongak dan menatap Ernest. Tanpa sepatah kata, pria itu mulai membuka kemeja birunya, menggantungnya di dekat pintu, lalu melepaskan ikat pinggang. Tatapannya lurus pada Gisella, mengunci pandangannya tanpa belas kasihan.
“Mau sampai kapan kamu duduk di situ?”
Gisella bangkit dari sofa, menatap nanar.
“Ke atas ranjang. Berbaringlah.”
Suaranya berat, dingin seperti perintah yang tak memberi ruang untuk penolakan. Gisella mengepalkan tangannya, keinginan untuk melawan bersaing dengan rasa takut yang menjalari tubuhnya seperti gelombang dingin dari kaki hingga ubun-ubun. Ia melangkah pelan, seakan setiap gerakan adalah pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, lalu berbaring dengan pandangan kosong ke langit-langit kamar.
“Lepas bajumu.”
Gisella terkejut, matanya berkedip cepat. “Tu–tuan, saya…”
“Lepas atau akan kuhancurkan dengan tanganku.”
Nada itu tak meninggalkan ruang bagi keraguan.
Dengan kepala tertunduk dan d**a yang terasa sesak oleh malu dan ketakutan, Gisella duduk di tepi ranjang. Jemarinya saling menggenggam erat, seolah mencari kekuatan dari satu-satunya hal yang bisa ia kontrol. Tubuhnya gemetar saat perlahan ia melepas gaun mini yang membungkus dirinya, menyisakan lapisan tipis kain sebagai perlindungan terakhir.
Ernest mendekat, berdiri di ujung ranjang seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Ia naik ke atas ranjang, langkahnya mantap, tatapannya penuh tekad. Gisella spontan menutupi dadanya dengan tangan, berusaha mempertahankan sisa harga diri yang masih ia punya. Tapi pria itu, dengan gerakan yang lembut namun tak terbendung, menyingkirkan perlawanannya, hingga tubuhnya terasa semakin kaku dalam ketakberdayaan.
Keheningan menyelimuti ruangan. Yang terdengar hanyalah tarikan napas mereka, berat dan tertahan. Gisella menahan napas saat Ernest mendekat, menyentuh wajahnya dengan kecupan yang perlahan turun ke pelipis, lalu menyusuri leher dan bahunya. Matanya terpejam erat, bibirnya digigit untuk menahan isak yang nyaris pecah.
Saat jemari pria itu menyentuhnya, seolah menghapus batas yang tersisa di antara mereka, Gisella hanya bisa diam. Ada sesuatu yang retak di dalam dirinya—tak bersuara, namun menggetarkan seluruh jiwanya.
“T-Tuan… tolonglah…”
Suara Gisella nyaris tak terdengar, bagaikan embusan angin yang lenyap di tengah malam. Matanya basah, namun pria di hadapannya seakan tak mendengar, tak melihat, tak peduli.
Dalam sekejap, kedua lengannya telah terangkat, ditahan dengan paksa di atas kepala. Ia tercekat, napasnya tersangkut di tenggorokan. Tubuhnya kaku, dicekam ketegangan yang tak ia pahami—antara ketakutan, keterkejutan, dan sesuatu yang lebih gelap yang mengendap di benaknya.
Ernest bergerak mendekat, langkahnya tak terburu-buru, namun membawa bobot yang tak bisa ditolak. Gisella merasa dadanya menegang, seluruh tubuhnya bereaksi dengan ketidaksanggupan yang menyakitkan. Ia ingin menghindar, namun tak punya tempat untuk berlindung. Tangannya meremas selimut, mencari pegangan saat kenyataan mulai merenggut keseimbangan jiwanya.
“Balikkan tubuhmu.”
“Tuan… saya…”
“Balikkan tubuhmu!”
Bentakan itu menggetarkan hatinya lebih dari udara dingin di sekitarnya. Perlahan, ia berbalik, gerakannya ragu dan terbebani. Di hadapannya berdiri pria yang tak hanya menguasai tempat ini, tapi juga menggenggam hidupnya di telapak tangan. Tatapannya kosong saat ia menatap pria itu, menyadari bahwa pilihan untuk melarikan diri tak pernah benar-benar ada.
Gisella menggeleng pelan, menepis rasa takut yang semakin menyesakkan. Ia mencoba memalingkan pandangan, namun suara itu kembali terdengar, tajam.
“Lihat aku.” Dengan gemetar, ia membuka mata, air mata tak terbendung lagi mengalir di pipinya. Di dalam hatinya, ia memohon—bukan hanya pada pria itu, tapi pada siapa saja yang mungkin mendengar: bebaskan aku.
Namun tak ada yang menjawab.
Saat pria itu mendekat, tubuh Gisella menegang, dibanjiri rasa tak nyaman yang menyelimuti seluruh dirinya. Setiap sentuhan terasa bagai duri. Ia menggigit bibir, tak ingin suaranya keluar, tak ingin dunia tahu betapa hancur hatinya. Di dalam diam, ia berusaha melindungi serpihan harga diri yang masih tersisa.
“Aku tidak akan membuatmu menderita,” bisik Ernest, suaranya rendah dan berat, seolah ingin menenangkan badai yang ia ciptakan sendiri.
Namun yang Gisella rasakan hanyalah hawa panas napas pria itu di lehernya—membuatnya ingin menghilang. Ia merasa asing dengan tubuhnya sendiri, muak dengan kenyataan bahwa dirinya telah dijual, bahwa setiap sentuhan bukan lagi miliknya. Ketika tangan laki-laki itu bergerak, menyusuri garis tubuh yang seharusnya sakral, Gisella hanya bisa memejamkan mata. Ia berusaha pergi jauh dari dirinya sendiri, mengubur kesadaran di tempat yang sunyi dan dingin.
Ia menahan napas, berusaha keras tak mengeluarkan suara, meski tubuhnya bereaksi tanpa bisa dicegah. Di dalam dirinya, ada bagian yang menangis pilu—bukan karena sakit semata, melainkan karena kehilangan kendali atas apa yang semestinya ia jaga.
“Ini akan menyakitkan,” bisik Ernest pelan, dan kalimat itu menancap seperti duri di relung hatinya.
Gisella menegang. Ia tidak menjerit. Ia hanya menatap langit-langit kamar, kosong, sembari menggigit bibir hingga nyaris berdarah. Ia merasa seperti retak dari dalam—bukan karena rasa yang menyerang tubuhnya, tapi karena luka yang tidak terlihat, yang mengalir pelan di dalam jiwa. Ketika rasa itu datang—tajam, dingin, menusuk—ia menangis. Bukan keras, bukan lantang. Tapi diam-diam, seperti gugurnya daun di musim gugur.
“Aku milikmu sekarang,” suara itu terdengar di telinganya, pelan namun menyesakkan. Gisella menutup matanya, dan air mata yang tertahan akhirnya luruh, membasahi pipi dan menyelimuti malam dengan perih.
Saat laki-laki itu berbisik sebelum mencapai puncak, Gisella terisak. Meratapi nasib sebagai wanita simpanan yang tidak punya kuasa untuk tubuh dan jiwanya sendiri. Bukan hanya tubuhnya yang luluh lantak, tapi juga jiwanya. Ia tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Tapi yang pasti, bagian dari dirinya tak lagi utuh.