BAB 4

1425 Kata
Setelah malam yang merenggut bukan hanya kepolosan tubuhnya, tetapi juga kedamaian jiwanya, Gisella terbaring diam di atas ranjang. Sepi menyelubungi kamar itu, menyisakan jejak keheningan yang menyesakkan. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menemukan kehangatan di tengah udara dingin yang menusuk kulit. Namun, tidak ada yang bisa mengusir kegelisahan yang mengakar di dadanya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, mengalir perlahan saat ia menggigit bibir untuk menahan isakan. Tidak berani menangis terlalu kencang, takut suara tangisnya menjadi saksi atas kehancuran yang ia rasakan. Perasaan asing menyusup ke dalam dirinya, mencengkeram hati dengan erat. Untuk pertama kalinya, ia merasa begitu asing dengan tubuhnya sendiri, seolah telah kehilangan kendali atas dirinya. Gisella membalikkan tubuhnya, membiarkan wajahnya tenggelam di bantal yang kini basah oleh air mata. Ia ingin menghilang, ingin menghapus semua yang telah terjadi. Namun, kenyataan tetap ada, menjeratnya dalam cengkeraman tak kasatmata yang tak bisa ia lawan. Rumah megah ini, yang dari luar tampak indah dan sempurna, kini terasa seperti penjara yang mengekangnya. Matanya menatap nanar pada tembok putih yang berdiri bisu di hadapannya. Ia merasa begitu kecil, begitu tak berdaya. Seandainya waktu bisa diputar kembali, seandainya ia bisa memilih jalan lain. Namun, semua itu hanya harapan kosong. Kini, ia hanya bisa bertahan, menghadapi hari-hari yang menanti dengan ketidakpastian yang mengerikan. “Jangan lupa memberi kabar kalau kamu tinggal di rumah Tuan Ernest.” Ia teringat ucapan sang ibu, sesaat sebelum pergi. Merasakan tusukan kesedihan. Marisa tidak berusaha menghibur atau menahan langkahnya. Yang dikeluarkan oleh wanita itu, justru kata-kata yang membuat dirinya makin terhina. “Ini kesempatanmu jadi kaya. Kapan lagi jadi simpanan orang kaya. Awas kalau kamu bersikap bodoh!” Saat itu Gisella berharap, seandainya ia tidak dilahirkan ke dunia, tentu akan lebih bagus. Untuk apa ia lahir dan dibesarkan kalau pada akhimya menjadi b***k dari orang lain. Semua terjadi karena uang. Meringkuk lebih dalam, Gisella menahan perih di ulu hati. Tubuhnya menggigil dan isak tangis mulai tak terkendali. Ia terdiam saat terdengar ketukan lirih di pintu. Berniat untuk tidak membukanya, sampai terdengar suara Lilies. Ia tidak tega dengan perempuan tua itu. Lilies tidak mengatakan apa pun saat melihat Gisella berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Ia menyodorkan minuman di dalam gelas kristal. “Silakan diminum, ini akan membuat tubuhmu bugar kembali.” Gisella menerima minuman itu dengan enggan. Tangannya gemetar sedikit saat meneguknya perlahan. Rasa hangat segera menjalari tenggorokannya, tetapi hatinya tetap terasa dingin. Lilies, yang berdiri di dekatnya, mengisyaratkan agar ia duduk di sofa. Tanpa perlawanan, Gisella menuruti arahan itu, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelembutan sandaran yang tak mampu meredakan beban pikirannya. Lilies bergerak dengan tenang, mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. Dengan cekatan, ia meraih selembar mini dress dan menyodorkannya pada Gisella. Gadis itu menerima tanpa berkata-kata, pandangannya kosong saat jemarinya meraba kain di tangannya. Ia menyesap minuman itu lagi, mengernyit ketika aroma rempah menyentuh hidungnya. Jahe, kunyit, serai... ada beberapa yang tidak ia kenali. Sementara itu, Lilies mengganti seprai tanpa kata, wajahnya tetap datar meskipun bercak merah masih terlihat di sana. Gerakannya cepat dan rapi, seakan ini adalah hal biasa baginya. Ketika ia selesai, matanya menatap Gisella yang masih duduk tanpa pergerakan, tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Mau saya buatkan sesuatu untuk makan?” Gisella menggeleng. “Nggak, Bi. Aku ingin istirahat. Apa Tuan sudah pergi?” “Sudah, dua puluh menit lalu mungkin. Beliau berpesan, akan datang kembali esok siang.” Gisella menahan rasa lega yang diam-diam membanjiri perasaannya. Dalam keadaan serapuh dan sehancur ini, ia tidak ingin bertemu dengan laki-laki itu. Ia butuh waktu untuk bernapas, untuk setidaknya mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Setelah Lilies pergi, Gisella kembali berbaring. Pandangannya kosong, menatap nanar ke langit-langit kamar yang terasa semakin menyesakkan. Rumah ini begitu sunyi, jauh dari keramaian, membuat keheningan terasa semakin menusuk. Sesekali, suara kendaraan terdengar samar dari kejauhan, tetapi itu pun jarang. Keadaan ini membuatnya merasa semakin terasing. Ia merindukan kehangatan keluarganya, sesuatu yang kini terasa begitu jauh dari genggamannya. Akhirnya, tubuhnya yang lelah membuatnya terlelap, berharap bahwa ketika ia membuka mata nanti, semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, harapan itu pupus ketika pagi datang dengan suara sapu yang menggesek lantai. Gisella mengerjap, menyadari bahwa fajar telah merekah di ufuk timur. Perlahan ia bangkit, tubuhnya terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk melangkah menuju kamar mandi. Air dingin membasuh kulitnya, sedikit memberi kesegaran. Saat ia sedang mengeringkan rambut, terdengar ketukan pelan di pintu. “Nona, saya bawakan sarapan,” suara Lilies terdengar lembut dari luar. “Sarapan, Nona.” Roti panggang dengan berbagai pilihan selai tersaji di atas meja, ditemani secangkir kopi dan teh panas. Gisella menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil sepotong roti dengan selai kacang. Ia mengunyah perlahan, menyesap teh tawar hangat untuk membantu menelan. Meski lidahnya terasa pahit dan nafsu makannya hilang, ia tahu tubuhnya butuh tenaga. Setelah menyelesaikan sarapannya, Gisella bangkit dan mulai berjalan mengelilingi rumah. Langkahnya lambat, sekadar ingin tahu bagaimana tempat ini sebenarnya. Ia menyusuri lorong, membuka satu per satu pintu yang ada. Rumah ini ternyata memiliki tiga kamar, semuanya tertata rapi, tanpa kesan dihuni. Hawa kesunyian masih begitu kuat. Tidak tahu harus berbuat apa, Gisella kembali ke kamarnya. Ia membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kasur yang dingin, matanya terpejam. Tanpa sadar, ia kembali tertidur, membiarkan pikirannya melayang dalam kelelahan yang masih menggantung. Gisella terjaga kala merasakan sentuhan hangat merayap di kulitnya—lembut, namun tak diundang. Hembusan napas seseorang di lehernya membuatnya tersentak ringan. Saat matanya terbuka, ia mendapati Ernest terbaring di belakangnya, kehangatan tubuh pria itu menyatu di ruang sempit di antara mereka. “Tu...tuan...” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Tenang saja... nikmati,” bisik Ernest pelan, suara yang terasa menekan udara di sekitarnya. Gisella menggeleng pelan, mencoba menjauh meski ruang tak memberinya tempat. Jemari laki-laki itu mulai menelusuri bagian perutnya, membuat pakaiannya bergeser perlahan. Ia menggeliat, tak nyaman—namun tak mampu menghentikan langkah yang telah dimulai. “Jangan tegang,” katanya lagi, lembut tapi penuh kuasa. Tubuh Gisella menegang seiring pakaian tidurnya tersingkap lebih jauh, menyisakan kulit yang terpapar dingin malam dan panas sentuhan. Ia hanya bisa memejamkan mata saat bibir Ernest menelusuri leher dan bahunya, meninggalkan jejak yang tak terlihat, namun terasa. Ia tak melawan, namun juga tak menerima. Hanya diam, membatu, dalam pergulatan sunyi yang tak pernah ia inginkan. Saat batas yang tersisa perlahan lenyap, Gisella menahan napas. Ada rasa asing yang merayap, tak lagi sekuat semalam, tapi tetap menciptakan perih yang menyelinap diam-diam. Desah berat terdengar di telinganya, irama yang tak sejalan dengan degup jantungnya sendiri. Ia menggigit bibir, menahan gejolak yang tak punya nama—bukan cinta, bukan rindu, bukan pula harap. Hanya kekosongan yang terasa berat, menggantung di antara dengus napas dan tubuh yang tak ia kuasai. Ia diam, sementara dunia di dalam dirinya perlahan tenggelam dalam senyap. “Jangan tegang begitu, Gisella. Luruskan kakimu, santai saja. Aku tak sedang memaksamu,” bisik Ernest—suara lembut yang terdengar seperti bayang-bayang perintah yang tak bisa dibantah. Gisella tak menjawab. Ia hanya menurut, perlahan meluruskan kakinya meski setiap helai nadi dalam dirinya menolak. Ia bertanya dalam hati—jika sebuah kehendak hanya datang dari satu sisi, apakah itu bukan juga bentuk pemaksaan? Dan jika begitu, apa bedanya dengan apa yang tengah ia rasakan saat ini? Saat Ernest menghentikan geraknya sejenak, seberkas harapan sempat tumbuh di d**a Gisella—mungkin semuanya telah selesai. Namun harapan itu cepat memudar, seperti debu yang tersapu angin, ketika tubuhnya ditarik mendekat, diposisikan kembali dengan cara yang membuatnya makin terpuruk dalam ketidakberdayaan. “Sudah kubilang santai. Kenapa kamu kaku sekali?” ucap Ernest lagi, nada suaranya masih tenang, namun bagi Gisella—suara itu membawa dentuman kehampaan. Ia tetap diam. Tak sanggup mengeluarkan suara, hanya menggigit bibir saat rasa yang menusuk menjalar di tubuhnya. Tapi yang lebih menyakitkan adalah luka yang tak terlihat—rasa kehilangan atas dirinya sendiri, atas martabat dan harga diri yang perlahan terasa menghilang. Jiwanya seolah terhempas, terhanyut dalam ruang kosong yang tak punya dasar. Kala tubuh Ernest akhirnya terbaring di atasnya, dan napasnya mengembus hangat di kulit, Gisella hanya bisa menatap kosong pada langit-langit kamar. Dalam diam, pikirannya penuh oleh pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban. Untuk apa semua perjuangan selama ini? Untuk apa ia hidup dengan harapan, jika akhirnya harus terjebak di titik ini—tak berdaya, tak berharga, tak bersuara? Masa depannya yang dulu pernah tampak begitu terang kini hanya serpihan bayangan—retak dan tak dapat digenggam kembali. Dadanya sesak, namun air matanya telah lama kering. Tak ada lagi perlawanan yang bisa ia beri. Yang tersisa hanya keheningan, kehampaan, dan sepi yang menggulungnya seperti malam tanpa fajar. Dunia yang dulu penuh warna kini menjadi abu-abu tak bernyawa. Ia hidup... tetapi rasanya seperti mati perlahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN