Gisella terbaring lemah di ranjang, tubuhnya menggigil meski sudah berselimut tebal. Kepala terasa berat, seolah dihantam palu tanpa henti. Mual yang datang setiap beberapa jam membuatnya enggan menelan apa pun. Sudah dua hari ia seperti ini, tanpa tenaga, tanpa selera makan. Lilies, satu-satunya orang yang bersikap baik padanya di rumah ini, dengan telaten merawatnya. Perempuan itu memasakkan bubur yang hanya disentuh sedikit oleh Gisella, menyuapkan obat dengan sabar, bahkan berkali-kali menawarkan untuk membawanya ke dokter. Namun, Gisella tetap menolak.
"Aku hanya butuh istirahat," gumamnya lemah, meski dalam hati ia tidak yakin.
Tapi ketika hari ketiga tiba dan demamnya tak kunjung turun, ia mulai ragu. Dadanya sesak, tubuhnya lemah, dan matanya terasa panas. Namun, satu hal yang membuatnya sedikit lega adalah Ernest sedang tidak ada. Laki-laki itu pergi ke luar negeri dan baru kembali minggu depan. Setidaknya untuk beberapa hari ini, ia bisa bernapas tanpa ketakutan.
Namun, dalam diamnya, di antara demam yang membakar tubuhnya, pikiran gelap merayap masuk. Sakit ini, mungkin lebih baik jika membawanya mati. Setidaknya, ia tidak perlu lagi merasa terpenjara dalam hidup yang bukan pilihannya. Tapi segera ia mengusir pikirannya sendiri. Ia harus kuat. Ia harus bertahan, meskipun dunia ini tidak adil padanya.
Mungkin, suatu hari nanti, ia bisa bebas.
Setiap kali mual menyerang, rasa takut merayapi benak Gisella. Ia tak bisa lagi menunda, segera meminta Lilies membeli alat pendeteksi kehamilan. Tangannya gemetar saat menunggu hasilnya, napasnya tertahan di tenggorokan. Detik-detik terasa begitu lambat hingga akhirnya satu garis muncul. Negatif.
Kelegaan menyelimuti dirinya, hampir membuatnya lemas. Bukan karena ia membenci anak, tapi membayangkan hidupnya yang sudah begitu rumit ditambah kehadiran bayi membuatnya ngeri. Ia belum siap. Bukan dalam keadaan seperti ini. Untuk saat ini, satu-satunya yang ia inginkan hanyalah kebebasan.
Lilies masuk dengan membawa kain basah untuk mengompres Gisella. "Demammu masih tinggi. Bagaimana kalau kita ke dokter?" tanyanya dengan cemas.
Gisella menggeleng pelan. "Aku sudah merasa lebih baik. Mungkin besok sembuh," jawabnya lirih.
Lilies ragu sejenak sebelum berkata, "Bolehkah aku menelepon Tuan Ernest? Mungkin beliau ingin tahu kondisamu."
Gisella buru-buru meraih tangan Lilies, menggenggamnya erat. "Jangan, Bi. Tuan sedang sibuk. Kita tidak perlu mengganggunya," ucapnya dengan nada memohon.
Bukan soal tidak ingin mengganggu, tetapi lebih tepatnya, Gisella tidak ingin diganggu. Itulah alasan ia enggan menghubungi Ernest. Laki-laki itu sedang di luar negeri, dan bagi Gisella, ketidakhadirannya adalah satu-satunya hal yang membuatnya bisa bernapas lega. Untuk pertama kalinya sejak ia terperangkap di rumah ini, ia bisa menikmati kesunyian tanpa rasa takut.
Sudah hampir tiga minggu ia terpisah dari keluarganya. Tanpa ponsel dan tanpa cara untuk berkomunikasi, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah merindukan mereka dalam diam. Meski hatinya masih sakit mengingat bagaimana sang ibu menyerahkannya begitu saja, ada bagian dalam dirinya yang tetap merindukan wanita itu. Ia masih ingat bagaimana ibunya dulu merawatnya dengan penuh cinta, bagaimana tangan hangat itu selalu membelai rambutnya saat ia kecil. Saat itu, meskipun hidup serba kekurangan, ia merasa bahagia. Ia bangga memiliki seorang ibu yang begitu menyayanginya.
Namun, waktu telah mengubah segalanya. Kini, dalam kesendirian dan sakit yang melemahkan tubuhnya, kerinduan itu semakin menyesakkan. Gisella ingin menelepon ibunya, ingin mendengar suaranya, ingin menumpahkan semua luka dan kepedihan yang ia pendam. Tapi ia tahu, itu tidak mungkin. Selain karena ia tidak memiliki ponsel, ia juga sadar bahwa ibunya tidak akan mau mendengarkan.
Menutup matanya, Gisella membiarkan air mata mengalir. Ia benci keadaannya sekarang. Ia merasa begitu rapuh, begitu hina. Hidupnya berantakan, jauh dari yang ia impikan. Seharusnya, ia bisa menjalani kehidupan yang normal—kuliah, bekerja, dan menikah dengan seseorang yang ia cintai. Namun kenyataan berkata lain. Bahkan sebelum ia sempat merasakan cinta, kebebasannya sudah direnggut.
Lilies masuk membawa semangkuk sop panas, namun langkahnya terhenti saat melihat Gisella terisak. Wajahnya penuh kebingungan.
“Nona, apa yang sakit? Di bagian mana?” tanyanya cemas.
Gisella buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menggeleng pelan. “Nggak, Bi. Aku nggak sakit,” jawabnya lirih.
Lilies menatapnya ragu, namun akhirnya menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Sekarang makan dulu sopnya, nanti minum obat. Kalau masih merasa tidak enak badan, biar saya pijat supaya lebih rileks.”
Gisella mengangguk pelan, berusaha menahan air matanya agar tidak kembali jatuh. Ia tidak ingin memberikan alasan bagi Lilies untuk menghubungi Ernest. Pikiran itu saja sudah cukup membuatnya gemetar. Ia tahu betul bagaimana laki-laki itu—posesif, tidak suka dibantah, dan bisa saja marah jika tahu dirinya sakit tanpa izin untuk berobat. Gisella tidak mau mengambil risiko.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia meraih mangkuk yang disodorkan Lilies. Uap hangat mengepul dari kuah bening yang berisi irisan daging dan sayuran. Perlahan, ia meniup sendoknya sebelum mencicipi suapan pertama. Kehangatan segera menjalar ke tenggorokannya, memberi sedikit kenyamanan di tengah tubuhnya yang masih terasa lemah.
Gisella makan dengan perlahan, meski setiap suapan terasa berat. Ia tahu, ia harus menguatkan dirinya. Tidak ada yang bisa ia andalkan di tempat ini selain dirinya sendiri.
“Kalau sudah merasa lebih baik, sebaiknya Nona keluar sebentar. Hirup udara segar, sekalian berkeringat sedikit,” saran Lilies dengan lembut.
Gisella mengangguk pelan. “Iya, Bi. Besok pagi tolong bangunkan aku.”
Lilies tersenyum, lalu mengambil beberapa lembar tisu dan menyerahkannya pada Gisella. “Baik, besok kita jalan-jalan keliling kompleks. Semoga saat itu Nona sudah benar-benar sehat.”
Gisella tersenyum tipis, tapi senyuman itu kosong, tanpa rasa. Ia mengunyah sayuran perlahan, sementara pikirannya dipenuhi kepahitan. Jika boleh memilih, mungkin mati adalah pilihan yang lebih baik. Setidaknya, dengan begitu, ia tidak perlu lagi menjalani hidup seperti ini—terjebak dalam keadaan yang tidak ia inginkan.
Tapi ia tahu, kematian pun tidak akan menyelesaikan apa pun. Hutang keluarganya tetap ada, tak akan lunas hanya dengan hilangnya nyawa. Mau tak mau, ia harus bertahan, meski ia sendiri tak yakin apa arti bertahan baginya. Masa depan? Kata itu terasa begitu jauh, begitu asing.
***
Ernest berjalan dengan langkah tegap melintasi lobi bandara yang dipenuhi orang berlalu-lalang. Sorot matanya tajam, wajahnya tanpa ekspresi. Di belakangnya, lima orang mengikuti dengan sigap, termasuk seorang wanita bersetelan jas dan celana abu-abu yang sesekali melirik arlojinya. Mereka bergerak cepat, menghindari kerumunan dan langsung menuju pintu keluar, tempat kendaraan mewah telah menunggu.
Di sepanjang perjalanan, seorang wanita berjas merah maroon sibuk menerima telepon. Suaranya tegas, nada bicaranya profesional. Setiap kali panggilan berakhir, ia memberikan laporan singkat kepada Ernest. Pria itu hanya mendengarkan dalam diam, wajahnya sulit ditebak, seolah sedang menyusun strategi dalam kepalanya.
“Tuan, Nyonya baru saja menelepon. Beliau ingin bertemu sekarang,” lapor wanita berjas merah maroon dengan nada profesional.
Langkah Ernest terhenti. Ia menatap wanita itu dengan dingin sebelum menjawab, “Sampaikan padanya, aku akan ke kantor dulu. Baru nanti malam pulang.”
Wanita itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.” Segera, ia menghubungi seseorang, berbicara singkat, lalu memutus sambungan setelah dua menit.
“Maaf, Tuan,” katanya hati-hati. “Nyonya bersikeras agar Anda pulang sekarang. Beliau tidak mau menerima penolakan. Katanya, ini sesuatu yang penting.”
Ernest menghela napas kesal, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya mengangguk. Dengan suara datar, ia memberi instruksi pada orang-orang yang mengikutinya untuk kembali ke kantor dan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda selama perjalanan mereka ke luar negeri. Ia tahu, tugasnya belum selesai, namun istrinya memanggil.
Dengan sedikit ketidaknyamanan, mereka berpisah di tengah jalan. Ernest naik mobil dengan sopir yang sudah menunggu, sementara rekan-rekannya menggunakan kendaraan lain. Di dalam mobil, ia duduk di jok belakang, membiarkan sopir mengemudi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pikirannya masih terfokus pada pekerjaan yang menumpuk, namun setiap kali ia berpikir tentang istrinya, rasa kesal itu muncul. Mengapa saat banyak hal yang harus diselesaikan, sang istri mendesaknya untuk pulang begitu saja? Apa pun masalahnya, seharusnya bisa dibicarakan nanti. Tapi, ia tahu, ia harus pulang juga.
Saat mobil berhenti di lampu merah dan dua gadis menyeberang sambil bergandengan tangan, pikiran Ernest tertuju pada Gisella. Selama empat hari ini mereka tidak bertemu. Ia berpamitan ke luar negeri untuk satu minggu, nyatanya pekerjaan diselesaikan jauh lebih cepat dari perkiraannya. Waktu yang harusnya satu minggu, dipangkas menjadi hanya empat hari. Ada satu keinginan kuat untuk menemui gadis simpanannya itu, tapi harus menahan diri karena sekarang istrinya lebih penting.
Memikirkan tentang Gisella dan tubuh molek gadis itu, tanpa sadar gairahnya naik dan inti tubuhnya menegang. Ia mengutuk dirinya yang mudah terpancing. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasa begitu terhadap perempuan dan Gisella membuatnya lupa diri. Tubuh yang molek, erangan yang feminin, kewanitaan yang menggoda, Ernest begitu menyukai gadis itu. Ia berdehem, meraih botol air minum dan menenggaknya.
Sebentar lagi ia sampai rumah dan tidak boleh bertemu istri dalam keadaan terangsang karena Gisella. Hubungannya dengan gadis itu sangat rahasia, tidak ada yang boleh tahu, apalagi istrinya. Ia akan menyembunyikan rapat-rapat, sampai nantinya harus dibuka.
Kendaraan masuk ke komplek perumahan mewah dan berhenti di depan gerbang tinggi hitam. Kendaraan melaju masuk saat gerbang membuka dan menampakkan halaman luas berumput. Ernest turun di teras dan meminta sopir membawa barang-barangnya masuk.
Melangkah di atas lantai marmer putih mengkilat, suara sepatunya beradu dengan lantai terdengar nyaring. Ia berhenti di tengah ruangan saat dari dalam muncul seorang wanita duduk di kursi roda. Ada seorang wanita lain yang mendorongnya.
“Kamu akhirnya pulang, Sayang!” Wanita yang duduk di kursi roda menyapa dengan suara lantang.
Ernest tersenyum tipis, memberikan kedipan kecil. Ia tetap berdiri di tempat, sementara kursi roda perlahan mendekat. Ketika istrinya merangkul pinggangnya, ia tidak berkata apa-apa.
“Aku senang kamu pulang. Rasanya sudah sangat berat menghadapi kelakuan anak kita,” katanya dengan suara pelan.
Dengan hati-hati, Ernest melepaskan pelukan sang istri dan melangkah menuju sofa, lalu duduk dengan santai. Ia melepaskan sepatu, meraih sebatang rokok, dan menyalakannya. Aroma tembakau yang terbakar mengisi udara.
“Ada masalah apa lagi dengan anakmu, Debrina?” tanya Ernest dengan nada datar.
Debrina tersenyum tipis dan memberi isyarat pada pelayan yang mendorong kursi roda untuk pergi. Ia mendekat pada suaminya yang sedang merokok.
“Dia sudah tiga hari tidak pulang, dan aku mulai khawatir,” jawabnya.