Bab 2 | Syarat Pernikahan

839 Kata
Sheya berbaring miring menghadap putrinya, menepuk-nepuk bokongg Sera untuk menina bobokan anak perempuan itu. “Ibu.” Bisik Sera yang memainkan rambut Sheya yang berjatuhan dari kuncirannya. “Iya, Kak?” “Sera akan selalu bubuk ditemani oleh Ibu, kan, mulai sekarang? Sera sayang Ibu, Ibu jangan tinggalkan Sera, ya? Sera takut jika tidak ada Ibu.” Ucap Sera dengan tatapan yang penuh harapan. Mendengar itu membuat Sheya mengangguk sambil membelai pipi Sera dengan rasa sayangnya. “Iya, Kak. Ibu akan selalu menemani Kak Sera, sekarang bubuk, ya?” “Sera suka, Ibu.” “Suka apa, sayang?” “Ibu sudah benar-benar menjadi Ibunya Sera. Benar, kan, Ibu? Ibu seperti yang diceritakan Bunda Kinan. Sera sayang Ibu.” Sera kembali memeluk Sheya dengan tangan kecilnya itu. “Iya, sekarang Ibu adalah Ibunya Kak Sera, sama seperti yang diceritakan Bunda Kinan, yang akan bermain dengan Kak Sera, menemani tidur, belajar dan mendidik Kak Sera supaya menjadi anak yang baik juga pintar.” “Terima kasih ya, Ibu. Sera tidak takut apa-apa lagi sekarang selama ada Ibu.” Ucap Sera yang membuat hati Sheya kembali tersentuh, namun juga tercubit. Anak sekecil itu, pernah merasakan ketakutan hebat, dan juga mengalami kekerasan fisik, bahkan ancaman menggunakan boneka kesayangannya, pemberian terakhir dari ibu kandungnya. Jahanamm sekali wanita itu. Kini, saat Sera mengungkapkan perasaan amannya karena ada Sheya di sampingnya, bagaimana hati Sheya tidak teriris namun juga merasa terharu karena Sera bisa mengurai ketakutan itu dengan kehadiran dirinya? Langkahnya untuk menyetujui pernikahan ini tidak salah, kan? Sekali pun dia harus menjadi istri kedua? Dan mungkin orang-orang yang nanti mengetahuinya akan memandangnya sebelah mata, bukan hanya memandangnya sebelah mata, namun juga menghina dan mencemoohnya sebagai wanita perusak rumah tangga orang. Tapi bagi Sheya, itu lebih baik. Lebih baik dia yang dicap sebagai perusak rumah tangga orang, dari pada dia melihat mental seorang anak yang hancur oleh bunda tirinya yang kejam. Sera sudah lelap dalam pelukannya, namun Sheya masih belum juga bisa tidur. Pelan-pelan dia melepaskan pelukan sang putri, memilih keluar kamar sebentar untuk menenangkan pikirannya. Sesungguhnya, dia juga masih merasa shock, tidak percaya dengan status barunya kini, terlalu menggelitik dan menjijikan saat menyadari statusnya kini sebagai istri kedua. Tapi, ini adalah pilihannya, dan Sheya tidak menyesal sama sekali. Dia memutuskan untuk duduk di teras samping rumah yang menghadap ke area kolam renang, dari tempatnya duduk kini, Sheya bisa melihat salah satu asisten rumah tangga keluarga suaminya yang dia kenal, masih sibuk di dapur padahal sudah larut malam. Bi Rumi, salah satu orang yang juga menjadi kunci dan mendorong Sheya hingga sampai pada keputusannya untuk rela menjadi istri kedua. Sheya melamun cukup lama, mengenang kembali waktu-waktu yang telah berlalu, saat dia semakin mengetahui kisah anak malang itu hingga akhirnya dia mengambil jalan ini. Sebuah pernikahan yang menurutnya adalah bencana besar, namun tetap dia lakukan karena suatu hal. Di depan pintu yang terbuka lebar itu, Arjuna justru bersandar dengan tangan bersidekap, melihat pada wanita yang beberapa jam lalu menjadi istrinya, sibuk dengan lamunannya sehingga tidak menyadari kehadiran orang di sekitarnya. Ingatan Arjuna justru terlempar pada kenangan saat dia akhirnya bertemu pertama kali dengan Sheya, mereka bertemu untuk langsung membahas masalah pernikahan dan syarat pernikahan yang diajukan kedua belah pihak. “Pertama, aku ingin diakui sebagai orang tua sah Anasera di mata hukum dan negara. Artinya, aku ingin hak asuh Sera 100%.” “Kedua, aku ingin tinggal terpisah dari rumah keluarga Mas. Aku ingin memiliki rumahku sendiri, dan Sera akan tinggal bersamaku. Jika Mas ingin berkunjung silahkan, kapan pun itu, pintu rumah akan selalu terbuka untuk Mas.” “Ketiga, dalam pernikahan ini, aku tidak akan memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri terkait dengan kebutuhan biologis Mas. Dan aku rasa, Mas juga tidak mengharapkannya, kan? Jadi seharusnya tidak ada masalah.” Itu adalah tiga syarat yang diajukan oleh Sheya dalam pernikahan mereka, dan Arjuna menyanggupi ketiganya. Wanita itu, dulu merupakan adik kelasnya di sekolah, berbeda usia tiga tahun darinya. Sekolah mereka berbentuk yayasan, dari SD sampai SMA. Seingatnya, saat itu Sheya kelas 3 SMP sedang dirinya kelas 3 SMA. Gadis yang masih remaja itu mendatanginya, mengatakan dengan lantang jika mencintainya dengan tatapan khas remaja jatuh cinta, dan yang mengejutkan selanjutnya, Sheya mengambil langkah berani dengan mengecup pipinya. Ciuman pertamanya telah dicuri oleh gadis SMP ingusan yang jatuh cinta padanya. Entah bagaimana perasaan Sheya sekarang, Arjuna tidak peduli. Arjuna lalu mengetuk pintu, membuat Sheya tersentak, Juna bisa melihat wanita itu sedikit gelagapan. “Masuk! Aku akan mengunci pintunya. Menunggu apa kamu tengah malam begini? Tidur di kamar tamu. Jangan tidur di kamar Anas.” Nada suara Arjuna terdengar dingin, namun Sheya tetap menurutinya. “Besok, aku sudah bisa pindah ke rumah baru bersama Sera, kan, Mas?” Tanya Sheya saat dia mengikuti langkah Arjuna. Arjuna menghentikan langkahnya, menatap Sheya dengan alis yang menukik. “Ya.” Ucap Arjuna singkat dan datar, pria itu lalu melesat masuk ke kamar utamanya dengan sang istri. Sedang Sheya memilih mengabaikan ucapan suaminya dan berjalan menuju ke kamar Sera, tidur bersama putri kecilnya, seolah merayakan malam pertamanya sebagai seorang ibu alih-alih seorang istri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN