Bab 3 | Permintaan Sang Putri

1639 Kata
Seperti kebiasaannya sejak menjadi orang tua tunggal untuk Anasera, Arjuna telah memahami sepenuhnya kebiasan putri kecilnya itu. Lebih tepatnya, putri kecil dari almarhumah kakaknya yang kini benar-benar resmi menjadi putrinya setelah kematian sang kakak dengan istrinya. Biasanya, Anas akan terbangun di tengah malam, sekitar jam dua pagi karena merasa lapar dan akan mencari cemilan ke dapur. Dulu, saat orang tua kandung Anas masih hidup, dia hanya mendengar kebiasaan itu dari kakak iparnya, pun Anas yang dengan suka cita menceritakannya. Mimiknya selalu lucu dan membuat Juna gemas. Katanya … “Ayah, kalau malam-malam Anas suka lapar sekali. Terus jadinya membangunkan Mama untuk menemani Anas makan camilan, kadang Papa juga menemani Anas, Ayah. Jadinya kita makan malam dua kali.” Juna masih mengingatnya dengan baik bagaimana ucapan Anas kala itu juga ekspresinya. Setelah Anas tinggal bersama Juna di rumah orang tuanya, kebiasaan itu tetap berlanjut, Anas selalu mengetuk pintu kamarnya untuk menemaninya makan tengah malam, dan Arjuna sungguh menyukainya. Namun, semenjak Juna menikah dengan Giska, kebiasaan itu tidak pernah lagi dilakukan oleh Anas, dia selalu makan tengah malam bersama susternya. Baru setelah kejadian dia mengalami kekerasan oleh susternya, Juna lah yang inisiatif menjemput Anas di kamarnya dan menemani anak perempuan itu makan tengah malam. Juna pun merasakan bagaimana perubahan sikap Anas setelah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh susternya, hingga anak itu berubah menjadi pendiam dan selalu takut dengan orang-orang di sekitarnya. Senyumnya hilang total, tatapan matanya menyedihkan dan itu membuat hati Juna teriris, apa pun yang Juna lakukan saat bermain dengannya, Anas tidak pernah seantusias dan sebahagia sebelumnya. Hingga akhirnya, di hari itu, kakak sepupunya, Arash, mengirimkan sebuah video Anas di sekolahnya, yang sedang memainkan burung buatannya, berputar mengelilingi seorang wanita lalu berhenti tepat di depan wanita itu sambil tertawa lepas. Tawa yang sudah lama tidak dia lihat dari bibir putri kecilnya. Tawa itu adalah saat Anas bersama Sheya. Itu adalah awal bagaimana dia mengenal Sheya sebagai seseorang yang cukup berarti untuk Anas, terlepas apakah Sheya tulus melakukannya atau ada maksud lain. Juna pelan-pelan membuka pintu kamar Anas, waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, biasanya jika Anas belum bangun, maka Juna hanya akan menunggunya sampai anak itu bangun sendiri, kemudian dia akan menggendong Anas dan mereka menuju dapur untuk mencari makanan yang biasanya sudah disiapkan oleh Bi Rumi setelah makan malam. Saat membuka pintu, Juna terkejut melihat Sheya yang ternyata tidur bersama Anas, di ranjang kecil itu, dengan tubuh keduanya yang saling berpelukan. Wanita itu mengabaikan ucapannya untuk tidur di kamar tamu, dan justru memilih tidur dengan tidak nyaman di ranjang Anas. Eh, saat Juna sudah berada di tepi ranjang, dia baru menyadari apa yang sedang terjadi di balik punggung Sheya yang posisinya memang membelakangi pintu. Putrinya itu, yang sudah bangun, berada dalam dekapan hangat Sheya, sedang menatap Sheya dengan tatapan yang begitu memuja. Tangan Anas meraba-raba pipi Sheya, lalu memainkan anak-anak rambut Sheya yang sudah berantakan dan menutupi sebagian wajahnya. Sheya dalam tidurnya justru terlihat pulas, tidak terusik sama sekali dengan gangguan dari tangan Anas, bahkan saat Anas mencium pipi Sheya dan tersenyum lebar setelahnya. “Ayah …” Cicit Anas yang baru menyadari kedatangan Ayahnya. Juna hanya tersenyum, belum bersuara untuk melihat respon putrinya yang kepergok, selanjutnya dia justru melihat Anas yang begitu hati-hati keluar dari dekapan sang ibu sambil tubuhnya merosot ke bawah pelan-pelan. Akhirnya anak perempuan itu berhasil, lalu senyumnya secerah mentari menatap Juna, senyum yang semakin sering Juna lihat akhir-akhir ini. Anas langsung merentangkan tangannya ke arah sang Ayah. “Lapar, Ayah. Ayo makan, Ayah.” Tentu saja Juna langsung menyambut rentangan tangan sang anak dan menggendongnya keluar dari kamar. “Tadi Anas ngapain itu sama Ibu?” Tanya Juna ingin mendengar dari bibir Anas apa yang dilakukannya tadi. “Ihihihi …. Anas senang karena Ibu tidak berbohong pada Anas, Ayah. Ibu benar-benar bubuk dengan Anas dan peluk-peluk Anas. Jadi saat Anas bangun, Anas ingin cium-cium Ibu.” Anas bercerita dengan antusias dalam gendongan ayahnya. Juna yang mendengar itu tersenyum dan mengecup pipi Anas. “Anas senang ada Ibu sekarang?” Tanya Juna walau jawabannya sudah jelas, namun dia ingin mendengar langsung dari mulut sang putri. “Senang sekali, Ayah. Anas senang sekali bisa bubuk sama Ibu, main-main sama Ibu dan semuanya sama Ibu.” Ucap Anas dengan wajah yang semakin ceria. Juna lalu menurunkan Anas di meja makan, mengambil potongan buah yang sudah disiapkan Bi Rumi di kulkas. Lalu, dia duduk kembali di samping putrinya yang kini sedang menikmati cemilan tengah malamnya. “Ayah.” Panggil Anas lagi, kali ini tatapannya serius pada sang Ayah. “Iya, sayangnya Ayah.” Juna mengulum senyum sambil mengusap lembut puncak kepala sang putri. “Anas sayang sekali sama Ibu. Anas suka jika bersama-sama dengan Ibu. Apa Ayah bisa menjaga Ibu untuk Anas? Apa Ayah juga bisa membuat Ibu tidak meninggalkan Anas? Anas takut jika Ibu pergi dari Anas. Anas tidak mau kehilangan Ibu, Ayah. Tolong jaga Ibu baik-baik ya, Ayah?” Kini senyum cerah yang sejak beberapa waktu lalu diperlihatkan oleh putrinya berubah menjadi air mata. Anas sudah meneteskan air mata dengan raut ketakutan khas anak-anak. Juna sendiri sampai tertegun mendengar permintaan dari putrinya itu. Apa yang dilakukan oleh Sheya sampai anaknya begitu mencintainya dan bahkan takut kehilangannya? Apakah wanita itu memiliki motif tersendiri? Tapi rasanya tidak mungkin, sejauh ini Arjuna tidak melihat ada yang janggal dari wanita itu. “Iya, sayang. Ayah janji akan menjaga Ibu supaya selalu bersama Anas, bermain-main dengan Anas, tidak akan meninggalkan Anas, ya? Sekarang makan, lalu kita lanjut bubuk, ya? Nanti Ibu mencari Anas di kamar loh.” Setelah mendengar jawaban dari Ayahnya, senyum itu kembali terbit, dan Anas langsung mengangguk semangat, menghabiskan buah potongnya sambil terus menatap berbinar ke arah sang Ayah. *** Sheya terbangun dengan jantung yang bertalu keras saat tidak mendapati putrinya. Dia memakai asal jilbab instannya dan keluar dari kamar sang putri yang berada di lantai dua, langkahnya panik hingga dia menabrak kaki ranjang, namun dia abaikan. Sheya menuruni tangga dengan berlari, sekali lagi, kakinya tersandung karpet yang berada tepat di tangga terakhir. Dia berlari ke arah dapur saat mendengar sayup-sayup orang yang berbicara. Begitu melihat siapa yang ada di sana, helaan napasnya terdengar panjang dan penuh kelegaan, dia sampai mengusap dadanya saking bersyukurnya jika Sera baik-baik saja dan sedang bersama ayahnya. Juna lah yang pertama kali menyadari kedatangan Sheya, melihat bagaimana wanita itu yang tergopoh-gopoh, dan detik tiba di depan pintu dapur langkahnya terhenti begitu saja, wajahnya penuh kelegaan dengan tangan yang mengusap dadanya. Sepanik itu dia kehilangan Anas? Kenapa hubungan batin putrinya dengan wanita yang telah menjadi istrinya itu sangat aneh, si? Rasanya aneh sekali bagi Juna karena Anas sendiri belum lama mengenal Sheya. Dan tindakan selanjutnya Sheya justru membuat Arjuna membeo, wanita itu justru langsung membalikkan badannya, tanpa berniat menyapa putrinya. Sungguh, tindak-tanduknya di luar prediksi Juna. Setidaknya, kan, dia menyapa putrinya dulu, dan menanyakan apa yang dilakukan sang putri tengah malam begini, kan? Supaya dia tau kebiasaan sang putri dan bisa memahaminya lebih baik lagi. Kenapa ini langsung pergi begitu saja? “Ibu.” Justru bibir Anas lah yang menghentikan langkah Sheya, membuat wanita itu akhirnya kembali membalikkan badannya dan melangkah mendekat. Sheya yang sudah memastikan jika Anas baik-baik saja bersama Ayahnya memilih menyingkir. Dia hanya tidak ingin terlibat banyak interaksi dengan suaminya itu, bukannya dia takut jatuh cinta. Tidak, sampai mati pun Sheya tidak akan bisa jatuh cinta, dia terlalu rusak dan kotor untuk seseorang. Sehingga, menikah pun tidak pernah ada dalam daftar keinginan hidupnya, jangankan menikah, menjalin hubungan romantisme dengan lawan jenis pun tidak ada dalam daftar list keinginannya. Hanya saja, dia ingin menjaga perasaan Giska, sekali pun dia tidak menyukai tabiat wanita itu yang pernah menyakiti Sera, namun sebagai sesama wanita, Sheya tetap ingin menghargai perasaannya. Apalagi wanita itu berada di posisi yang terluka sebagai istri pertama karena harus rela suaminya menikah lagi. Sehingga, setelah memastikan Sera memang sedang bersama Ayahnya, Sheya ingin langsung pergi saja. Apalagi jika ada yang memergoki mereka, rasanya semakin tidak etis walau sebenarnya sah-sah saja. Namun, sekali lagi, Sheya memikirkan perasaan Giska dan tidak ingin membuat hati wanita itu semakin terluka. Bagaimana perasaan Giska nanti jika melihat suaminya sedang bercengkrama dengan putri dan istri barunya? Di tengah malam dan menikmati makanan mereka layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sheya tidak ingin semakin menjadi antagonis dengan statusnya sebagai istri kedua. Tujuannya dalam pernikahan ini hanya Sera, sosok gadis kecil yang membuatnya mengubah alur hidup yang telah dia tata sedemikian rupa. Eh, baru saja dua langkah dia meninggalkan dapur, tau-tau suara Sera memanggilnya dengan begitu lembut. Sheya mau tidak mau membalikkan badannya, dan itu membuat Sheya harus pergi ke sana walau sebentar. “Ibu mencari Sera, ya? Maaf ya, Ibu. Sera biasanya lapar kalau malam-malam, jadi biasanya Sera makan lagi ditemani Ayah malam-malam begini. Maaf tidak ijin dengan Ibu, ya.” Ucap Sera tersenyum manis ke arah Sheya. “Ya sudah, tidak apa-apa, Kak. Tadi ibu panik Kak Sera tidak ada di kamar. Ibu juga bubuknya terlalu lelap, maaf ya? Besok lagi jika Kak Sera ingin pipis atau lapar, Kak Sera bangunkan Ibu, ya? Nanti akan Ibu temani.” Ucap Sheya dengan nada tidak kalah lembut. Juna hanya melihat interaksi keduanya, tanpa disadari, dia menikmati interaksi yang menenangkan hati itu. “Siyap, Ibu.” “Ya sudah, lanjutkan saja dengan Ayah, ya? Ibu ingin ke toilet dulu. Nanti setelah selesai langsung masuk ke kamar, ya, Kak? Jangan bermain atau menonton televisi. Masih malam, mainnya besok saja, oke?” “Okeeee Ibu.” Sera memberikan dua jempol ke arahnya, Sheya kembali tersenyum dan mengusap puncak kepala Sera. Lalu Sheya melihat ke arah Juna dan mengangguk dengan senyum tipis. “Mari, Mas.” Ucap Sheya begitu saja, lalu benar-benar meninggalkan Juna dan Sera. Juna menatap tidak percaya pada wanita yang baru menjadi istrinya itu. Hanya dua kata tanpa sapaan dan langsung pamit dengan nada yang terdengar datar. Apa-apaan wanita itu? Juna merasa tidak dihargai oleh wanita yang berstatus sebagai istrinya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN