Bab 4 | Sosok yang Berbeda

2251 Kata
Satu … Dua … Tiga … Juna menghitung dalam hati dari ruang kerjanya di mana dia membiarkan pintunya sedikit terbuka, tebakannya presisi, terdengar suara pintu yang dibuka dari lantai atas diikuti langkah kaki yang menuruni tangga. Dia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi, itu bukan Sera yang bangun malam-malam dan kelaparan seperti biasa. Itu adalah Sheya, sosok wanita yang hampir satu bulan ini menjadi istrinya, yang tanpa sadar telah dia pahami tindak-tanduknya dalam kesehariannya. Keseharian anak dan ibu itu dia pantau melalui kamera CCTV, yang telah dia pasang di beberapa bagian rumah. Rumah yang dibelinya sesuai dengan permintaan Sheya terkait tempat tinggal setelah menikah. Wanita itu akan keluar dari kamarnya sekitar jam tiga pagi, lalu ke dapur untuk minum, selanjutnya bergerak ke ruangan laundry untuk memasukkan baju ke mesin cuci. Selagi menunggu cucian, wanita itu akan menyiapkan menu sarapan juga bekal makan siang untuk dirinya sendiri. Jika masih ada waktu, wanita itu akan pergi ke ruang setrika dan mencicil untuk menyetrika, kadang juga menyiram tanaman di taman belakang sambil menyapu halamannya. Jika pagi belum sempat menyapu halaman belakang, wanita itu akan melakukannya sepulang dari sekolah, melanjutkan pekerjaannya yang belum sempat dikerjakannya di pagi hari. Melalui kamera CCTV itu lah, Juna melihat seluruh aktivitas istri kedua dan anaknya yang hanya tinggal berdua di sana tanpa asisten rumah tangga. Bukan Juna yang tega dengan tidak memberikannya, tapi Sheya yang menolak, katanya dia tidak menyukai orang asing ada di dalam rumah. Maka Juna menurutinya, bersikap masa bodoh dan tidak memaksa wanita itu memiliki ART, yang penting wanita itu tidak macam-macam dengan putrinya. Sesungguhnya, dia sudah mendiskusikan dengan Giska terkait waktu dia menginap di rumah Sheya, tujuannya jelas untuk Anas, bukan karena dia sedang mencoba bersikap adil untuk kedua istrinya. Setiap hari Selasa, Kamis, Sabtu dan Minggu, Juna akan datang ke rumah barunya di mana Sheya dan Anas tinggal. Tentu saja bukan untuk bermalam, persis seperti janjinya pada Giska, Juna hanya akan datang ke rumah sesuai jadwal yang telah disepakatinya dengan Giska di hari-hari tersebut. Bertahan di sana sampai Anas lelap, lalu saat pagi hari, dia akan kembali datang dan kemudian mengantar Anas ke sekolah. Namun, pada kenyatannya selama sebulan ini, Juna belum benar-benar bisa memenuhi janjinya pada Anas yang akan full bermain bersama putri kecilnya itu saat weekend. Di weekend pertama, Giska harus dirawat di rumah sakit karena stress, wanita itu tertekan dan berat badannya turun drastis karena ketakutan jika Juna akan berpaling, sehingga di akhir pekan pertama itu Juna mangkir dari janjinya kepada sang putri, sibuk merawat istrinya yang harus diopname dengan keadaan yang mengkhawatirkan. Di minggu kedua, dia justru harus mendadak terbang ke China, ada pekerjaan yang benar-benar tidak bisa dia tinggal atau dia wakilkan karena ini menyangkut keberlangsungan perusahaan, yang artinya juga keberlangsungan hidup ribuan karyawan yang bergantung padanya, sehingga dia kembali mangkir dari janjinya kepada sang putri. Barulah di minggu ketiga ini, Juna benar-benar bisa menghabiskan weekend-nya bersama Anas, rencananya dia ingin mengajak anak itu ke taman bermain dan mengunjungi sepupunya. Juna akhirnya keluar kamar dan melihat Sheya yang sedang mengambil gelas kosong lalu menuju ke arah dispenser. Wanita itu terlihat melamun karena lagi-lagi tidak menyadari kehadirannya. Beban berat apa yang sebenarnya menggelayuti wanita itu? Juna juga memahami, ekspresi Sheya saat bersama dengan Anas dan saat dia sedang sendiri jauh berbeda, bagaikan langit dan bumi. Juna menyadari itu dari pemantauan di CCTV-nya, dan kini dia bisa melihatnya secara langsung dan sangat jelas. “Di mana Anas?” Suara pria itu bagaikan petir yang menggelegar dan mengacaukan ketenangan dalam jiwa Sheya di dini hari itu. “Astaghfirullah, Mas.” Sheya bahkan sampai menjatuhkan gelas melamin yang sudah berisi air itu hingga airnya tumpah ke mana-mana, jantungnya masih berdegup kencang, dan jika bisa diibaratkan mungkin jantungnya bisa loncat saking terkejutnya. Melihat kegaduhan yang tercipta di depannya karena keterkejutan sang istri membuat Juna menautkan kedua alisnya. “Kamu melamun apa sampai tidak menyadari kedatanganku? Bahkan sampai terkejut seperti itu.” Tanya Juna dengan tangan yang bersidekap. “Aku tidak melamun.” Ucap Sheya sambil mencari lap untuk mengeringkan lantai yang sudah basah itu. “Oh iya? Jika tidak melamun, tidak mungkin kamu kaget sampai seperti ini. Apa kamu juga mengajari putriku untuk menyembunyikan perasaannya dan tidak jujur seperti yang kamu lakukan saat ini?” Kini nada suara Juna terdengar begitu mengintimidasi, bahkan pria itu juga sudah merangsek maju hingga Sheya langsung memundurkan langkahnya. Sheya merasa gugup karena ketahuan berbohong. “Aku hanya sedang memikirkan kegiatan weeekend untuk Sera, Mas.” Ucap Sheya yang berusaha mendorong d**a Juna supaya menjauh. Sungguh, jantungnya berdetak semakin brutal saja, bukan karena gugup, tapi lebih kepada takut saat kilas balik masa lalu yang mengerikan itu kembali muncul akibat aksi yang dilakukan Juna. “Oh iya? Masih mau berbohong padaku?” “Aku jujur, Ya Allah. Minggir, Mas. Mas datang jam berapa?” Tanya Sheya saat berhasil lepas dari cengkraman Juna. "Memang kenapa?" "Kenapa Mas tidak pulang ke rumah?" Tanya Sheya membuat Juna menautkan kedua alisnya. "Ini juga rumahku." "Maksudku, pulang ke rumah di mana istri Mas tinggal." "Kalau-kalau kamu lupa, kamu juga istriku." Juna justru tersenyum mengejek, rasanya pertanyaan Sheya adalah pertanyaan bodoh yang tidak seharusnya dia jawab. Wanita itu seolah tidak suka jika Juna menginap di rumah yang juga rumahnya, terlihat sekali keberatan di wajah Sheya. “Buatkan aku kopi.” Ucap Juna selanjutnya, pria itu memberikan titah lain dengan nada otoriternya. Sheya yang malas mendebat akhirnya menuruti perintah sang suami dengan anggukan patuh. Dia kira, Juna akan kembali ke kamarnya atau ruang kerjanya, yang ada justru pria itu menarik kursi pantry dan duduk di sana, seolah sedang mengamati dan memastikan kopi yang dibuat sang istri tidak akan diracun. “Anas sudah tidak pernah bangun untuk makan di tengah malam lagi?” Tanya Juna ingin memulai interogasinya atas pemantauan yang dilakukannya di CCTV, karena itu juga dia jadi mengetahui kebiasaan Sheya yang bangun setiap dini hari di sekitaran antara jam setengah tiga sampai jam tiga. “Aku mengubah jam ngemilnya, Mas. Sore hari sebelum makan malam, lalu aku tambah dessert setelah dia makan malam. Setelahnya dia tidak pernah terbangun malam-malam.” Ucap Sheya menjawab dengan tenang pertanyaan suaminya. Belum juga Juna menanggapi ucapan dan tindakan yang Sheya lakukan pada sang putri, Sheya kembali berbicara. “Aku melakukan itu untuk kebaikan Sera juga, tidak baik jika dia terus terbangun malam-malam karena lapar, jam tidurnya jadi terganggu dan kacau.” Sekali lagi, Sheya mengatakannya dengan nada tenang, setenang tatapan wanita itu setiap bersamanya, padahal setiap bersama Sera, yang Juna lihat adalah seraut wajah yang bahagia dan tatapan yang penuh suka cita. “Silahkan, Mas. Aku permisi dulu.” Sheya meletakkan secangkir kopi panas yang asapnya mengepul dan menguarkan aroma harum itu di depan Juna. Setelahnya, Sheya meninggalkan Juna yang bahkan masih belum menanggapi ucapan wanita itu. Dipikir-pikir, rasanya Juna lebih sering diabaikan dan ditinggalkan oleh wanita itu saat obrolan mereka belum selesai, lebih tepatnya belum selesai dari sisi Juna. “Aku belum selesai bicara dengan kamu.” Ucap Juna yang entah mengapa merasa kesal, sedang Sheya langsung menghentikan langkahnya sambil menahan napasnya. Dia tidak suka terlalu banyak berinteraksi dengan Juna jika hanya ada mereka berdua, sekali pun itu membicarakan tentang Sera. “Ada lagi yang Mas butuhkan?” Juna justru terdiam, bingung juga mau menanyakan apa, karena sesungguhnya, jawaban Sheya dan bagaimana dia mengatasi tentang kebiasaan Anas itu cukup memuaskan untuknya. Wanita itu, memang menjalankan perannya sebagai seorang Ibu dengan baik, kan? Bukan hanya membuat Anas senang, namun dia juga memperhatikan segala aspek tentang kehidupan Anas. “Aku akan mengajak Anas ke rumah sepupunya, dan ke taman bermain bersamanya hari ini.” Ucap Juna sambil berdehem kecil. “Baik, silahkan.” Ucap Sheya lagi sambil mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Juna yang entah kenapa mendecakkan lidah. Juna yakin jika Sheya pergi ke laundry room dan mulai mencuci baju, lalu mungkin ke ruang setrika yang terletak di sebelah laundry room. Akhirnya, Juna memilih membawa kopinya ke ruang tengah, menyalakan televisi untuk membunuh bosannya, dia sudah tidak mengantuk dan ingin segera melihat putri kecilnya, namun masih terlalu pagi bagi Juna untuk mengganggu tidur lelap sang putri. Tepat saat layar televisi menayangkan adzan subuh, Juna bisa melihat Sheya yang keluar dari ruang laundry, wanita itu tidak menyapanya dan langsung naik untuk kembali ke kamarnya. Bukannya Juna tertarik dengan setiap gerak-gerik wanita itu yang terkesan dingin dan mengabaikannya, dia hanya terganggu karena wanita itu seolah menganggapnya virus yang harus dihindari sebisa mungkin. Apa-apaan itu tadi? Dia duduk secara nyata dan terlihat jelas, namun wanita itu hanya melenggang tanpa menyapanya, jangankan menyapa, meliriknya saja tidak! Juna sangat terganggu dengan hal itu. Juna akhirnya kembali ke kamarnya untuk melaksanakan solat subuh juga, pintu kamarnya sengaja dia biarkan sedikit terbuka, hanya untuk memastikan prediksinya tentang Sheya. Hingga tiga puluh menit kemudian, Juna mendengar langkah kaki dan suara yang sedikit gaduh dari arah dapur. Pria itu lalu ikut keluar kamar, memilih bersantai di ruang tamu sambil membawa tabnya, ingin menunggu sampai Anas bangun. Dalam kesibukannya menyiapkan sarapan untuknya dan Sera, juga tamu tak diundang yang tiba-tiba menginap untuk pertama kali di rumah itu, Sheya mencuri pandang ke arah pria yang kini sedang duduk santai dengan kacamata bacanya di ruang tamu. Sekitar jam enam, Juna akhirnya mendengar pintu kamar atas yang terbuka, disusul dengan langkah kaki yang terdengar menuruni tangga, diikuti juga dengan panggilan nyaring khas anak kecil yang mencari ibunya begitu bangun tidur. “Ibuuuu.” Suaranya cukup melengking, dan Juna bisa melihat Sheya yang melangkah cepat keluar dari dapur dengan menggunakan apronnya. Interaksi mereka selalu membuat Juna menaruh atensi penuh. “Iya, Kak. Ibu di dapur.” Ucap Sheya yang baru saja keluar dari area dapur dan menghampiri putrinya. Wanita itu langsung tersenyum lebar ke arah Anas yang tatapannya juga langsung berbinar, anak itu merentangkan kedua tangannya pada sang ibu. “Ibu kotor, Kak. Yuk, minum dulu. Ada Ayah itu.” Ucap Sheya yang menggenggam tangan Sera dan menunjukkan eksistensi ayahnya pada anak itu. “Ayah?” Sera langsung menoleh dan senyumnya kembali terukir lebar. Dia langsung melepaskan genggaman tangan Sheya dan berjingkrak-jingkrak ke arah Ayahnya. “Ayah … Ayah di sini?! Anas kangen Ayah. Ini kan weekend ya, Ayah? Anas libur dan Ayah libur, apa sekarang Ayah sudah tidak sibuk-sibuk lagi dan kita bisa main-main seharian, Ayah?” Tanya Anas yang sudah berada dalam gendongan Juna. Juna merasa bersalah saat mendengar anaknya menanyakan pertanyaan dengan bertubi-tubi dengan raut wajah yang antusias dan penuh suka cita akan harapan bisa bermain dengannya . Sudah sebanyak apa waktu yang dia lewatkan bersama Anas, hingga putrinya itu sampai terlihat begitu senang bisa memiliki waktu dengannya? Seolah-olah waktunya begitu sulit didapatkan oleh Anas, tapi kenyataannya seperti itu, kan? Dan hati Juna mencelos memikirkannya. Jahat sekali dia kepada Anas yang pasti sangat merindukannya. “Iya, sayang. Hari ini dan besok Ayah akan main sepuasnya dengan Anas. Maaf, ya? Ayah sibuk akhir-akhir ini dan tidak bisa main dengan Anas. Apa Anas marah sama Ayah?” Tanya Juna mengecupi pipi Anas. Sheya yang melihat itu memilih kembali ke dapur dan mengambilkan air putih untuk putrinya. “Tidak dong, Ayah. Kata Ibu, Anas harus jadi anak yang baik dan mengerti Ayah. Saat Ayah pergi, Anas juga senang bisa main-main sama Ibu. Kita jalan-jalan ke taman, sambil beli es krim, terus main ayun-ayunan dan perosotan. Seru, deh, Ayah. Kapan-kapan Ayah ikut Anas dan Ibu jalan-jalan ke taman, ya?” Anas mulai menceritakan hari-hari yang dilaluinya tanpa Juna, dan itu membuat Juna senang, karena putrinya tidak merasa kesepian dan bersedih dengan ketidakhadirannya, namun ada yang mencubit hatinya, menyadari jika Anas pelan-pelan sudah tidak bergantung penuh padanya. Ada sosok lain yang kini selalu ada bersamanya dan Anas terlihat lebih nyaman dengannya. Ah, memikirkan anaknya tumbuh dan kembali ceria, kembali mudah menceritakan segala hal yang terjadi padanya, dan terutama kembali bahagia membuat hati Juna membuncah tiada tara. Padahal, ini baru tiga minggu semenjak Anas tinggal bersama Sheya, perubahan dan tumbuh kembang anaknya jadi sebaik itu, kebiasaan bangun malamnya menghilang, selalu ceria dan memiliki teman bermain, pun entah kenapa, Juna memiliki keyakinan di hatinya jika Sheya juga akan mendidik Anas dengan sebaik-baiknya. Anas masih terus bercerita tentang hari-harinya bersama Sheya, begitu ekspresif, padahal beberapa bulan lalu raut wajah imutnya itu hampir tidak pernah berekspresi kecuali tatapan sedih dan ketakutan, kini rona merah muda terlihat begitu mudah muncul di wajahnya, seiring dengan tawa yang sering Juna dengar. Juna jadi gemas sendiri, dengan penuh cinta dia kembali mengecupi seluruh wajah Anas berkali-kali hingga anak itu merasa kegelian. “Ih, Ayah. Anas masih bau, belum minum dan sikat gigi. Jangan cium-cium.” Ucap Anas yang merasa kegelian karena dicium oleh Ayahnya. “Wangi begini kok putri Ayah, mana ada bau.” Ucap Juna yang kembali menciumi Anas dan mengundang gelak tawa dari bibir kecil itu. Sheya datang sambil membawa segelas air dan mengulum senyum tipisnya melihat interaksi yang begitu hangat antara Juna dan Sera. “Kak, minum dulu, yuk? Dihabiskan ya, sayang.” Sontak Juna menghentikan kegiatannya yang sedang menggoda putrinya. Alih-alih s**u untuk Anas, Sheya justru membawa segelas air putih dan meminta Anas untuk menghabiskannya. “Okeeee Ibu.” Anas langsung mengambilnya dan menghabiskannya seperti permintaan sang ibu. Hal itu membuat Juna kembali tertegun, rasanya banyak perubahan yang dilakukan Sheya dari caranya mendidik dan merawat Anas. Tatapan Juna justru fokus kepada Sheya yang beranjak kembali menuju dapur, banyak tanya berkecamuk dalam benak tentang sosok wanita yang kini menjadi istri dan ibu sambung untuk putrinya. Sosok wanita yang sama, yang dua belas tahun lalu mencuri ciuman darinya. Namun, kenapa Juna merasa jika sosok Sheya yang dia lihat sekarang berbeda dengan Sheya dua belas tahun yang lalu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN