Sheya mengendarai motornya meninggalkan panti sosial itu dengan pikiran yang masih berkecamuk tentang pertemuannya dengan Arash dan penawaran yang diberikan pria itu, hingga mereka sampai pada pertemuan yang kedua.
Saat itu, dia yang menghubungi Arash terlebih dahulu, membuat janji temu untuk membahas tentang keputusannya atas penawaran pria itu tempo hari.
Saat dia tiba di kafe yang telah direservasi secara private oleh Arash, Sheya melihat pria itu tidak datang sendiri, melainkan bersama seorang wanita, yang kemudian diperkenalkan sebagai istrinya.
"Saya Runa, Bunda. Istri Mas Arash, Bundanya Anasera juga."
"Sheya, Bunda." Sheya menyambut jabatan tangan itu dengan senyum yang tipis. Lalu dia duduk di depan pasangan suami istri itu.
"Sebelum saya menyampaikan keputusan saya, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan tentang Sera terlebih dahulu." Ucap Sheya menarik napasnya panjang.
Dia telah mempertimbangkan untuk mengatakan ini, dan Sheya berharap langkahnya tidak akan salah.
"Jika Ayah Arash sudah melihat bagaimana tawa Sera saat bersama saya, tidakkah kalian penasaran bagaimana Sera bisa tertawa lepas seperti itu saat bersama saya? Proses itu tidaklah instan, sebelum dia bisa tertawa saat bersama saya, saya juga pernah menghadapi Sera yang murung dan menangis di depan saya. Saya yang membangun kepercayaannya, yang membuatnya mau bercerita sampai akhirnya ketakutannya lepas."
Saat itulah, Sheya bisa melihat wajah kedua pasangan suami istri itu menegang, namun menyimak ucapannya dengan baik.
"Sesungguhnya, saya dipenuhi kebimbangan untuk menceritakan ini. Namun, setelah saya pikirkan, ada baiknya saya harus menyampaikan ini, terlepas dari kalian akan mempercayai ucapan saya atau tidak. Itu urusan nanti, namun saya harap kalian bisa mengambil sikap dan tidak bertindak gegabah atau implusif setelah saya menceritakan apa yang Sera katakan kepada saya." Ucap Sheya, selanjutnya dia kembali menarik napasnya dalam.
Jantungnya bertalu keras, dadanya juga terasa sesak, takut jika ucapannya justru menjadi bumerang untuknya dan Sera.
"Katakan saja, kami tidak mungkin mengambil suatu langkah yang membahayakan Anas jika itu yang Bunda takutkan." Ucap Arash dengan nada tegas.
Hingga mengalirlah cerita bagaimana pertama kalinya Sera mengadu tentang apa yang Bunda Giska lakukan, lalu pertemuannya dengan Bi Rumi di minimarket yang entah disengaja atau tidak oleh wanita bertubuh gempal itu.
Sheya bisa melihat perubahan dari wajah Runa yang pucat pasi sambil menggenggam tangan suaminya.
"Sedikit pun, saya tidak mengada-ngada. Dan sedikit pun, saya tidak memiliki niat untuk menghancurkan rumah tangga orang, siapa tau, kalian memiliki pemikiran saya sengaja mendekati Sera lalu mengarang cerita untuk menghancurkan hubungan orang tua Sera."
Melihat Arash yang masih diam seolah mempersilahkan Sheya menyelesaikan ucapannya, Sheya akhirnya kembali melanjutkan.
"Saya pun memilih mengatakan ini setelah mempertimbangkan banyak hal. Anak itu, telah mengalami banyak hal mengerikan di usia yang begitu kecil. Memang tidak ada bukti, kecuali jika Sera kembali mengatakannya, tapi jika saya meminta Sera untuk menceritakan apa yang dilakukan Bunda Giska, sama saja saya menghancurkan tawa yang berhasil tercipta di wajahnya, takutnya Sera kembali ketakutan."
Sheya sampai menghela napasnya panjang.
Arash sendiri tidak pernah menyangka akan mendengar cerita mengerikan dari wanita yang menjadi sumber tawa putrinya, benarkah seperti itu? Kenapa terdengar sangat mengerikan dan tidak masuk akal? Apakah wanita itu memiliki motif lain yang tersembunyi? Seperti ingin menjadi satu-satunya istri Arjuna setelahnya? Menjadi istri dari pewaris tunggal, misalnya.
"Atau, mungkin kalian juga berpikir jika saya yang meracuni pikiran Sera supaya membenci Bunda Giska-nya, saya tidak bisa mengontrol bagaimana pikiran kalian tentang saya setelah saya menceritakan ini. Tapi, jika kalian mempercayai sedikit saja ucapan saya. Maka tolong, mulailah cari buktinya, entah bagaimana caranya, tentang apa yang dilakukan oleh Bunda Giska pada Sera, dia harus mendapatkan balasannya."
Arash masih diam, namun pikirannya penuh penilaian tentang Sheya, tatapan matanya, gerak bibirnya dan bagaimana raut wajahnya tidak memperlihatkan sedikit pun keragu-raguan saat mengatakannya. Arash jadi semakin tertarik dengan wanita yang berhasil mencuri hati putrinya itu.
"Dan tolong, jangan sampai membahayakan Bi Rumi, jika kalian memang ingin membuktikan kebenaran ucapan saya, pastikan kalian juga siap untuk melindungi Bi Rumi dan keluarganya, termasuk Suster Sisil yang saat ini masih di penjara, karena dalam keadaan lumpuh pun, Bunda Giska bisa bergerak mencelakai anak Bi Rumi di kampung, lalu melakukan ancamannya supaya Bi Rumi tutup mulut."
Sheya kembali mengingatkan, dia tidak ingin apa yang dia sampaikan ini justru menjadi sumber bahaya bagi Bi Rumi yang selama ini menutup mulutnya rapat.
"Sesungguhnya, saya mengatakan ini sama dengan saya menyeret nyawa orang dalam bahaya, namun kepada siapa saya harus menceritakan kejadian mengerikan yang dialami Sera jika bukan pada keluarganya? Jadi saya sangat memohon, jangan pernah membahayakan orang lain jika kalian ingin membuktikan ucapan saya. Jika kalian justru membahayakan orang lain, maka anggap saja omongan saya hanyalah sampah dan jangan pernah mencari bukti apa pun."
Kini nada suara Sheya terdengar tercekat, entah kenapa ada perasaan bersalah yang menelusup ke hatinya tentang keselamatan Bi Rumi, padahal tadi dia yakin Arash tidak mungkin bertindak gegabah.
"Saya mengerti, Bunda. Bunda tenang saja, tidak ada satu orang pun yang akan celaka seperti yang Bunda takutkan." Arash menjawabnya dengan tenang, namun tatapannya menilai dengan penuh ketelitian pada setiap ekspresi Sheya.
"Tidak ada keuntungan yang saya dapatkan jika kalian berpikir saya mengatakan ini untuk menghancurkan rumah tangga Ayahnya Sera. Dua hal yang membuat saya setuju menikah dan menjadi istri kedua adalah jaminan untuk keselamatan Ayah saya, dan juga keselamatan Sera, setidaknya, dengan melakukan ini, saya bisa menyelamatkan jiwa seorang anak yang mungkin akan hancur karena mengalami kekerasan dari Bunda tirinya." Ucap Sheya.
Mendengar itu membuat Runa kembali menatap lekat pada wanita yang di pertemuan pertama saja sudah menimbulkan kesan yang campur aduk di hatinya.
Tatapan matanya yang penuh tekad, wajahnya yang penuh ketenangan dan aura yang sarat emosi setiap menyebut nama Sera membuat Runa memiliki banyak penilaian tentang wanita di depannya.
"Saya memiliki beberapa syarat sebelum resmi menikah, saya ingin syarat itu berkekuatan hukum dan ditandatangani oleh notaris, dengan kalian sebagai saksinya. Saya ingin hak asuh Anasera 100%, artinya, kami harus menikah sah secara agama dan negara, dan saya ingin memiliki rumah sendiri bersama Anasera. Jika kalian setuju dengan itu, silahkan pertemukan saya dengan Ayah Arjuna, dan saya akan menyampaikan persayaratan tersebut padanya. "
Sheya menatap dengan seksama ekspresi pasutri di depannya itu. Jika dia telah berkoban habis-habisan dalam hidupnya, maka dia juga akan merampas habis-habisan hak asuh Sera dan tidak boleh ada yang mengganggu gugat di kemudian hari.
"Jika Ayahnya tidak setuju, maka saya tidak akan menikah dengannya. Satu-satunya alasan saya mau menikah adalah karena saya menginginkan Anasera berada di bawah pengasuhan saya 100%, dan menjadi putri saya yang sah di mata hukum dan negara, itu adalah bagaimana cara saya menyelamatkannya, jika syarat itu tidak bisa dipenuhi, lalu untuk apa saya menikah dengan ayahnya?"
Hingga akhirnya, setelah beberapa waktu berlalu, Sheya benar-benar bertemu dengan Juna, yang saat itu datang bersama dengan Arash dan Runa, dengan seorang notaris yang langsung mengesahkan syarat-syarat pernikahan mereka.
***
"Assalamualaikum."
Salam yang terdengar nyaring itu membuat Anas yang sedang mewarnai sebuah karakter kartun langsung beranjak dan berlari secepat kilat seiring dengan bibirnya yang memanggil nyaring sang ibu yang baru saja pulang.
Juna yang melihatnya bahkan sampai menggelengkan kepala dengan kelakuan putrinya itu.
"Ibuuuuu." Suara melengking Anas yang menyongsong ke arah pintu utama di mana Sheya baru saja kembali membuat Juna mengikuti langkah putri kecilnya.
Benar saja, Sheya yang baru menutup pintu langsung mendapat sambutan berupa pelukan yang cukup kuat dari Anas hingga membuat wanita itu sedikit terhuyung.
"Ya Allah, Kak. Hati-hati, kalau jatuh bagaimana?" Sheya jadi gemas sendiri, walau rasa haru menyeruak di dadanya melihat betapa Sera selalu antusias dengan kehadirannya.
Juna berdiri tidak jauh dari sana, tangannya bersidekap dengan tatapan yang penuh penilaian, juga menikmati bagaimana kebahagiaan yang dirasakan oleh sang putri, terlihat sekali dari gerak-gerik, nada suara juga ucapannya yang sangat gamblang.
"Ibuuu, Sera kangennnn sekaliiii sama Ibuuuu." Ucap Sera yang kini terus mengekori ke mana Sheya pergi.
Juna yang mendengar itu menganga dengan ekspresi tak percaya. Apa-apan itu katanya tadi? Kangen sekali? Baru juga beberapa jam ditinggal! Kenapa putrinya berlebihan sekali si?! Dia semakin cemburu saja!
Sheya yang mendengar itu tertawa dengan cara bicara Sera yang dipanjang-panjangkan setiap katanya, imut sekali putrinya itu.
"Maaf, ya? Ibu juga kangennnn sekaliii sama Kak Sera." Ucap Sheya menirukan gaya bicara Sera, dia lalu meraih Sera dalam gendongannya dan mengajaknya duduk di ruang tamu.
Lagi-lagi, Juna merasa seperti makhluk tak kasat mata, jangankan didatangi untuk dicium tangannya sebagai bentuk bakti seorang istri, disapa saja tidak.
"Ibu beli sesuatu buat Kak Sera." Sheya menyerahkan paper bag di tangannya.
"Wahhh.... Hadiah ya, Ibu? Asikkkk." Sera langsung menerimanya, terlihat sangat antusias membuka paper bag itu.
Juna memilih mendekat, baru saat itu dia bisa melihat Sheya yang meliriknya dan mengangguk ke arahnya sebelum berbicara.
"Sera sudah makan pudingnya, Mas?" Tanya Sheya melihat Juna yang kini duduk di depannya, sedang Sera sudah turun dari pangkuan Sheya dan sibuk membuka paper bag itu.
Ternyata isinya adalah sesuatu yang masih dibungkus kertas kado, sehingga Sera sibuk membuka bungkusan kado itu. Gerakannya terlihat tergesa-gesa, seolah tidak sabar ingin melihat apa gerangan isi dibaliknya.
"Sudah." Ucap Juna yang membuat Sheya mengangguk, walau dalam hati bertanya-tanya, tumben sekali pria itu menjawabnya dengan benar, bukan hanya gumaman.
"Ibuuuu." Lagi, Sera memanggilnya dengan penuh antusias saat telah berhasil membuka kado dari ibunya itu. Tatapannya berbinar dengan senyum yang lebar.
"Suka tidak, Kak, dengan hadiah Ibu?" Tanya Sheya mengusap-usap puncak kepala Sera, Sera langsung mengangguk penuh semangat, memeluk erat-erat hadiah yang baru saja dia dapatkan dari sang Ibu.
"Terima kasih Ibuuuu. Sera suka sekaliiii. Boneka kelincinya lucuuuuu, sedang makan memegang wortelll. Sukaa, Ibuuu. Ayahh lihattt .... Lucu yaaa. Terima kasih Ibuuu. Sera sayang sekaliiii sama Ibuu."
Rasanya antusiasme Anas tidak pernah berkurang setiap bersama Sheya, apalagi kali ini mendapatkan hadiah dari Sheya, kebahagiaan Anas terlihat berkali-kali lipat dari yang biasanya.
"Nanti Sera ajak bubuk kelincinya, ya, Ibu? Sera peluk-peluk, Sera ajak main masak-masakan dan Sera ajarin main puzzle, ya, Ibuuu." Lagi, anak itu masih belum selesai dengan rasa excited atas hadiah yang baru diterimanya.
"Boleh, kelincinya jadi teman bubuk dan teman main Kak Sera, ya? Mau Kak Sera kasih nama siapa kelincinya?" Tanya Sheya sambil membetulkan kunciran rambut Sera.
"Ehmm... Siapa, ya? Ayah, tolong pilihkan nama yang bagus untuk kelinci Anas, Ayah. Ibu yang kasih hadiah, Ayah yang kasih nama, ya?" Pinta Sera yang kini akhirnya menatap sang ayah, anak perempuan itu bahkan sudah mendekat dan berdiri di depan Ayahnya sambil mengangkat tinggi-tinggi bonekanya.
"Heum .. Siapa ya? Bagaimana jika Snowy? Karena bulunya putih sekali seperti snow." Ucap Juna yang langsung membuat Sera kembali berjingkrak-jingkrak lagi.
"Anas suka Ayah. Ini Snowy, halo Ayah ... Halo Ibu ..." Sera memainkan boneka itu untuk berkenalan dengan Juna dan Sheya, Juna yang melihatnya langsung membawa gadis kecil itu dalam dekapannya dan memberikan kecupannya bertubi-tubi.
"Putri siapa si, ini? Senang sekali habis mendapat hadiah." Juna terus menciumi pipi Anas berkali-kali dan sesekali menggelitiki perut Anas, membuat Anas langsung kegelian dan berusaha lepas dari jerat ciuman sang ayah.
"Ahahah ... Ayah ... geli ..." Ucap Sera yang beringsut turun dari pangkuan sang ayah, Juna membiarkannya, dan anaknya itu langsung lari ke ruang tengah, suaranya masih terdengar sedang mengenalkan snowy pada berbagai macam mainannya.
Sheya diam-diam mendesah, dalam perjalanan pulang dari panti tadi, dia telah memikirkan banyak hal dan menyadari banyak hal.
Tentang interaksi dirinya dengan Juna, rasanya ke depan, Sheya tidak bisa menghindarinya, sehingga sejak tadi pagi dia mencoba untuk melatih dirinya dan melihat bagaimana reaksi tubuhnya saat kembali duduk berhadapan dengan Juna.
Sejauh ini Sheya merasa aman terkendali, karena ada Sera di sekitar mereka dengan segala celotehan anak kecil itu, namun jika kejadiannya seperti semalam dan malam sebelumnya, di mana hanya ada dirinya dan Juna, bahkan keadaannya juga dini hari yang sunyi, Sheya masih sulit untuk mengendalikan dirinya.
Sehingga, untuk ke depannya, jika Juna memang kembali menginap di rumah, Sheya akan sebisa mungkin tidak perlu keluar kamar di jam-jam di mana Sera sedang terlelap. Bagaimana pun, dia juga sedang mencoba untuk bisa mengendalikan dirinya dengan baik.
"Beberapa hari kemarin itu Sera sempat memiliki keinginan untuk memelihara kelinci, Mas. Tapi menurutku akan sangat merepotkan."
Sheya akhirnya mulai menceritakan, walau awal mulanya terasa berat, karena ini akan menjadi obrolan yang cukup panjang dan Sheya harus berinteraksi dengan laki-laki ini lebih sering ke depannya.
Juna yang sudah akan beranjak untuk menyusul Anas pun langsung mengurungkan niatnya.
"Jadi, aku memberinya pengertian, jika dia memang benar-benar ingin memelihara hewan, dia harus siap dengan konsekuensinya, termasuk kotoran dan makanannya, aku hanya ingin dia belajar bertanggung jawab sejak dini, jika dia menginginkan sesuatu, maka dia juga harus siap dengan segala resikonya, menurutku itu prinsip, dan aku ingin mengajarkannya pada Sera. Aku ceritakan juga tentang kesulitan memberi makan dan membuang kotoran jika dia memiliki peliharaan, sehingga dia mengurungkan keinginannya walau dengan wajah sedih."
Juna diam dan menyimak, sekali lagi Sheya menunjukkan bagaimana cara wanita itu mendidik putrinya.
"Tadi aku mampir ke toko boneka karena teringat permintaan Sera beberapa hari kemarin, jadi aku belikan saja bonekanya. Jika ada caraku dalam mendidik Sera yang kurang Mas setujui, Mas bisa mendiskusikannya langsung padaku."
Juna menatap pada Sheya yang tatapannya justru kemana-mana padahal sedang berbicara dengannya. Wanita itu sedang gugup berhadapan dengannya atau bagaimana?
"Kamu bicara dengan siapa?" Tanya Juna.
"Ya dengan Mas, lah." Ucap Sheya yang menghela napas, kenapa pria itu tidak berkomentar tentang putrinya saja, si?
"Aku di depan kamu, lalu sejak tadi kamu ngobrol dengan siapa? Bayanganku?" Tanya Juna yang semakin menyindir dan membuat Sheya akhirnya menatap ke arah pria itu.
Dilihatnya Juna yang bersidekap menatap ke arahnya, Sheya memilih kembali melanjutkan dari pada tertahan lebih lama dengan pria itu.
"Aku juga masih harus banyak belajar, namun selalu kuusahakan yang terbaik untuk tumbuh kembang Sera. Aku juga akan selalu menceritakan tentang keseharian Sera jika Mas menginginkannya, karena pantauan dari CCTV di rumah ini tentu hanyalah menampilkan gambar yang membuat Mas tidak benar-benar memahami bagaimana keseharian dan perasaan Sera, kan?"
Juna masih diam, namun dia mengomentari dalam hati. Sekali lagi merasa kagum dengan bagaimana Sheya mendidik Anas, padahal ini belum ada satu bulan, dan bagaimana wanita itu yang mengomunikasikan tentang keseharian Anas tanpa diminta membuat Juna diam-diam merasa lega.
Dua hari dia di rumah, dia bahkan bisa menilai sendiri bagaimana interaksi keduanya yang menimbulkan ikatan kuat layaknya ibu dan anak, terlepas dari keadaan yang sesungguhnya jika mereka hanyalah dua orang asing yang saling mengasihi.
"Jadi, silahkan bertanya apa pun padaku. Aku tidak ingin peran Mas sebagai Ayah akan jomplang dengan peranku sebagai Ibu, sekali pun Mas sibuk, Mas juga harus tetap mengetahui keseharian dan apa-apa saja yang terjadi pada Sera."
Sheya berusaha menenangkan dirinya, duduk berhadapan dengan pria itu yang menatap lekat matanya tanpa merespon ucapan panjang lebarnya membuat Sheya semakin merasa gugup dan tersiksa saja.
"Aku juga memahami, Mas memiliki banyak urusan di luar sana, dan tidak akan sefleksibel aku yang memiliki banyak waktu untuk menemani Sera, sehingga, silahkan tanyakan apa yang ingin Mas tanyakan, dan aku akan usahakan untuk melaporkan setiap kegiatan Sera. Mari menjadi orang tua yang selalu mengusahakan yang terbaik untuk Sera, Mas." Ucap Sheya yang menunggu respon Juna.
Juna masih pada posisi awalnya, duduk bersandar di sofa dengan tangan yang bersidekap dan tatapan yang tajam menghujam pada sang istri, yang kini sudah menundukkan kepala tepat setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Baik, terima kasih telah mengusahakan yang terbaik untuk Anas sejauh ini." Ucap Juna membuat Sheya mengangguk lalu memilih beranjak dari sana.
Bertepatan dengan itu, Sera kembali datang di antara mereka, masih dengan membawa-bawa boneka kelincinya itu.
"Ibuu ... Sera mau makan pakai sup yaa, yang banyak wortelnya yaaa, sama baksonya yang banyak juga ya Ibuuu, Sera mau ayam goreng juga, Ibuuu."
Oh, Juna sampai speechless lagi, anaknya itu meminta dengan berjingkrak-jingkrak juga wajahnya yang terus berbinar seolah binar bahagia di wajahnya tidak akan hilang selama ada Sheya. Benar begitu, kan?
Bahkan Sera dengan mudah mengatakan apa makanan yan ingin dimakan, sangat kontras dengan keadaannya beberapa waktu yang lalu, jangankan mengatakan keinginan sederhana tentang makanan yang ingin dimakan, ditanya ini dan itu saja bibirnya bungkam seribu bahasa.
Allahu. Sebanyak apa sesungguhnya Juna mengabaikan putrinya itu hingga sang putri pernah berada di titik yang begitu terpuruk padahal usianya masih begitu kecil.
Untuk yang kesekian kalinya, rasa bersalah itu kembali menggerogoti hatinya.
Dilihatnya Sheya yang mendekat pada Anas, lalu berlutut dan mengecupi kedua pipinya sambil mengacak-acak gemas rambut Anas.
"Oke, sayangnya Ibu. Main lagi dengan Ayah, ya? Ibu masak dulu di dapur." Ucap Sheya yang kembali beranjak berdiri dan tersenyum manis ke arah anak itu yang langsung mengangguk patuh.
Sheya sudah melenggang ke arah dapur, pun dengan Sera yang mendekati Ayahnya, yang justru terlihat terpaku dengan begitu banyak hal berkecamuk dalam benaknya.
"Ayah... Ayo lanjutkan buat bricks komedi putranya, Ayah." Anas sampai menggoyang-goyangkan lengan Juna yang langsung tersadar dari keterpakuannya, dia lalu mengulum senyum kakunya pada sang putri dan menggendong Anas untuk kembali ke ruang bermain anak itu.