Wanita itu terlihat sedang melamun di balkon kamarnya dengan tatapan yang kosong dan menerawang jauh, melihat kepergian Mama dan Papa mertuanya yang akan menghadiri undangan makan malam kolega bisnisnya.
Dia sendirian malam ini, hanya dengan beberapa asisten rumah tangga mertuanya, suaminya sedang bermalam di rumah istri mudanya. Memikirkan itu membuat amarahnya langsung memuncak.
Hidupnya hancur dan kesialan terus menghantamnya bertubi-tubi semenjak dia mengalami kecelakaan hebat itu. Dia menjadi orang cacat yang tidak berguna, suaminya menikah lagi, rencana yang sudah disusun sedemikian rupa sejak bertahun-tahun yang lalu langsung berantakan karena kondisinya.
"Argghhh! Bajingann!" Teriak Giska di sore hari yang cerah itu, bahkan tangannya tidak bisa mengepal untuk melampiaskan emosinya.
"Sani!" Teriak Giska sekuat tenaga, memanggil perawat pribadi yang dipekerjakan oleh Juna untuk menemaninya ke mana pun.
Memang, sekali pun dia lumpuh, Juna tetap mengusahakan kesenangannya dalam berbelanja atau memanjakan diri. Ada Sani dan supir pribadi yang akan selalu membantunya untuk mengantarnya ke sana ke mari dan memenuhi segala keinginannya.
Giska hanya tinggal berteriak sambil memerintah pada kedua orang yang dia anggap tidak lebih dari b***k itu.
Seperti saat ini, panggilannya begitu menggelegar dan penuh penekanan pada Sani, yang langsung berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Iya, Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Sani dengan raut wajah yang sedikit ketakutan menghadapi majikannya yang ternyata sangat tempramental jika tidak ada suami atau mertuanya itu.
"Ambilkan ponsel saya, dan sambungkan dengan nomor Mama saya. Pasangkan headset juga di telinga saya. Cepat! Sekarang!"
Sani langsung kembali masuk ke kamar, mengambil ponsel sang majikan, membuka ponsel tersebut dengan cara meletakkannya di depan wajah Giska supaya kuncinya terbuka, lalu dia membuka daftar panggilan dan mendial nomor yang dimaksud Giska setelah memasangkan headset di telinga wanita itu.
"Sudah! Keluar sana! Tutup rapat pintunya! Aku tidak ingin diganggu sampai makan malam tiba!" Ucap Giska dengan tatapan sengitnya, Sani langsung mengangguk dan meninggalkan majikannya itu secepat kilat.
Begitu panggilan tersambung ke kontak 'mama' itu, sebuah suara maskulin langsung mengalun menyapa pendengarannya.
"Ini sudah satu bulan! Kenapa kamu tidak ada pergerakan untuk mengusik mereka?!" Giska berteriak tertahan, rasanya dia ingin segera menyingkirkan Sheya dalam hidupnya.
Wanita itu, yang tiba-tiba datang dan semakin menghancurkan rencananya!
-Sabar, dong, sayang. Aku kan sedang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang wanita itu, untuk kelak memukulnya ke titik paling hancur, dan mungkin dari informasi yang sedang aku himpun itu, kita bisa mendapatkan bala bantuan yang memiliki misi sama dengan kita.-
Jawaban tenang dari suara di seberang sana membuat Giska langsung mendengkus kesal.
"Ini semua gara-gara kerja kamu yang tidak becus! Seharusnya anak itu sudah mati bersama orang tuanya dalam kecelakaan itu! Lihat sekarang! Buntutnya panjang dan bahkan semuanya hancur berantakan!" Giska kembali berteriak tertahan dengan mata yang berair karena emosi yang memuncak.
-Sstt... Tenangkan diri kamu, sayang. Kehancuran atas rencana kita karena anak kecil sialan itu dan ibu barunya akan aku bayar tunai sebentar lagi, kamu hanya tinggal menunggu. Aku sedang mengatur waktunya dengan sempurna. Tenang dulu, oke? Biarkan wanita bodohh itu menikmati perannya dulu, ya? Kamu juga nikmati peran kamu sebagai istri yang tersakiti dan hamburkanlah harta kekayaan suami kamu sebelum itu menjadi milik kita seutuhnya.-
Mendengar itu Giska hanya mendecih dalam hati, mengerang frustasi dengan keadaannya yang masih lumpuh dan membuatnya tidak bergerak bebas untuk turun tangan sendiri.
"Jangan membuatku menunggu terlalu lama! Wanita itu sudah menginjak-injak harga diriku, dan rasanya aku ingin segera menginjak kepalanya!" Ucap Giska yang kembali dibuat emosi setiap mengingat wajah Sheya, apalagi tatapan tenang wanita itu yang sangat memuakkan baginya.
Rasanya ingin dia cakar wajah wanita itu lalu dia jambak rambutnya dan dia benturkan kepalanya ke tembok sebelum dia injak-injak. Giska menunggu saat-saat itu, dan dia akan memastikan saat itu akan benar-benar datang dan menjadi kenyataan.
***
Pria itu baru saja turun dari kamar Anas, sedang Sheya masih sibuk di dapur melakukan food prep untuk besok. Juna bersandar di pintu dapur dan melihat Sheya yang sibuk membumbui ayam.
Wanita itu terlihat sangat fokus dan Juna yakin istrinya itu tidak menyadari kehadirannya, padahal Juna sedang memperhatikannya begitu lekat dengan segala pikiran yang kembali berkecamuk tentang sosok wanita yang rela menjadi istri kedua itu.
Jika dipikir-pikir, dua hari Juna di sana, pergerakan Sheya tidak jauh-jauh dari dapur dan urusan rumah tangga lainnya.
Pun setiap dia datang, rumah selalu dalam keadaan rapi dan bersih, padahal wanita itu juga masih mengajar.
Melalui kamera CCTV juga Juna tau, Sheya selalu bangun di jam tiga pagi, dan dia bertanya-tanya, jam berapa wanita itu tidur jika bangun sepagi itu?
Pagi buta sudah sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, paginya berangkat sekolah, sorenya mengurus Anas sampai malam, begitu terus kesehariannya, dan itu membuat Juna bertanya-tanya, apa yang sebenarnya didapatkan Sheya dalam pernikahan ini?
Jika wanita itu memang menikah dengannya karena masih mencintainya, kenapa tidak menunjukkan sisi manisnya sama sekali? Atau sekedar mencari perhatiannya?
Bukan maksud Juna ingin wanita itu berlagak genit dan menggodanya, dia hanya penasaran apa yang mendorong Sheya begitu kuat hingga mau menikah dengannya?
Apa yang didapat wanita itu jika dengan menjadi istri kedua, keseharian wanita itu berubah mengurus rumah dan mengurus anak yang bukan darah dagingnya? Sungguh tidak masuk akal bagi Juna. Wanita itu menanggalkan segala kebebasan hidupnya hanya demi menjadi istri kedua dan mengurus anak?
Aish! Juna mendesah dalam hati!
Rasanya, segala pertanyaan ini dan itu tentang Sheya tidak akan menemukan jawabannya, pun dia juga tidak ingin peduli terlalu jauh walau kepalanya sejak kemarin terus berisik tanpa terkendali menanyakan segala hal tentang wanita itu.
“Aku pulang.” Ucap Juna membuat Sheya terkejut sekali lagi.
Juna bahkan sampai mengernyitkan keningnya, wanita itu kenapa suka sekali terkejut dengan kehadirannya, si? Padahal Juna sudah berdiri cukup lama di pintu dapur dan memperhatikan wanita itu sambil melamun.
“Iya, Mas. Hati-hati.”Ucap Sheya yang hanya melihatnya sekilas lalu kembali fokus dengan kegiatannya memarinasi ayam.
Lihat, kan? Sekali lagi Juna merasa diabaikan, wanita itu tidak sedikit pun mencoba mencari perhatian padanya, minimal kan, mengantarnya ke depan pintu, kan?
Tapi ini? Lagaknya masa bodoh. Pulang ya silahkan. Juna jadi geram sendiri, dan pada akhirnya pria itu juga melengos dan bertindak masa bodoh meninggalkan rumah keduanya itu.
Sedang Sheya menghela napasnya panjang dan merasa lega luar biasa. Akhirnya pria itu pulang juga setelah dua hari tinggal dan memberikan penyiksaan batin yang melelahkan.
***
Helaan napas Juna terdengar berat begitu meninggalkan rumah keduanya, lebih tepatnya rumah yang ditinggali istri keduanya.
Juna pun tidak pernah menyangka, jika kisah hidupnya akan tertulis seperti ini. Poligami tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.
Jangankan poligami, dia saja sangat membenci perselingkuhan juga pengkhianatan, setiap menjalin hubungan, Juna akan menjadi orang yang loyal kepada pasangannya. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk menduakan kekasih hatinya.
Satu dari beberapa hal yang tidak bisa Juna maafkan adalah pengkhianatan, namun kini dia justru melakukannya, pada kekasih hatinya yang telah dia pilih untuk menjadi pendamping seumur hidupnya.
Jangan tanyakan sesakit apa perasaannya saat melihat air mata sang istri, dia juga hancur, namun saat dia disandingkan antara air mata Giska dan air mata Anas, maka Juna tidak bisa memilih untuk menyelamatkan keduanya.
Dia harus menyelamatkan salah satunya lebih dahulu, yang keadaannya lebih mengkhawatirkan, yang keadaannya kritis dan membutuhkan pertolongan segera, dan itu adalah putrinya.
Setelah dirinya menikah dengan Giska, harapan Juna tentulah dirinya dan Giska bisa menjadi orang tua yang sempurna untuk Anas, pun dia juga tau Giska sangat menyayangi Anas, dia melihatnya di beberapa kesempatan itu.
Namun, tragedi mengerikan menimpa putrinya, susternya yang lama mengundurkan diri, itu bertepatan tidak lama setelah pernikahannya dengan Giska.
Lalu, setelahnya Juna dan Giska mulai mencari suster pengganti, tidak disangka suster itu justru melakukan penyiksaan kepada Anas, hingga membuat Anas trauma dan selalu ketakutan hingga tertekan dan tidak bisa diajak komunikasi.
Hati orang tua mana yang tidak hancur. Juna menangis saat itu, putrinya yang selalu ceria tiba-tiba menjadi murung, ketakutan dan tidak mau didekati.
Berbagai usaha telah dia dan keluarganya lakukan, dan Giska selalu ada untuk mendampinginya, namun kondisi Anas justru semakin mengkhawatirkan.
Hingga Arash datang kepadanya, menunjukkan bagaimana tawa Anas yang tidak pernah lagi dia lihat, tertawa bersama wanita asing dengan wajah yang penuh kebahagiaan.
“Ini satu-satunya cara menyelamatkan Anas. Menikah dengannya dan biarkan dia menjadi ibu asuh Anas. Lakukan jika kamu masih mencintai Anas.”
“Ar, sudah pulang?” Pertanyaan itu menyentak Juna dari lamunannya pada kilas balik bagaimana dia menjalani dua pernikahan sekaligus dalam hidupnya.
Dilihatnya sang mama yang menatapnya dengan penuh tanya. Juna meletakkan gelasnya di wastafel dan mencuci tangannya.
Tadi, begitu tiba di rumah dia langsung masuk ke dapur untuk minum.
“Sudah, apa saja yang Mama lakukan dengan Giska kemarin, Ma? Apa dia terlihat bersedih?” Tanya Juna dengan nada yang sendu.
Kinnas hanya mengulum senyumnya dan duduk di meja makan, diikuti oleh Juna yang duduk di depan mamanya itu.
Juna juga tau, jika pernikahan keduanya bukanlah hal yang bisa diterima oleh keluarganya sendiri, namun itu adalah jalan satu-satunya yang paling cepat untuk menyelamatkan jiwa kecil yang hampir hilang itu. Jadi, mau tidak mau mereka menerima pernikahan kedua Juna.
“Iya, biasalah, kami shopping, ke salon, belanja ini dan itu sambil makan, coba-coba restoran baru.” Ucap Kinnas menatap sendu pada putranya itu.
“Giska menangis tidak, Ma? Atau menceritakan sesuatu?” Tanya Juna lagi membayangkan seraut cantik wajah sang istri.
“Iya, sempat menangis, takut kamu berpaling, dia menyesalkan keadaan fisiknya yang cacat sehingga semakin insecure, tapi sudah tenang sekarang, kamu jangan khawatir.” Kinnas menepuk-nepuk bahu putranya itu. Putra satu-satunya yang tersisa yang dia miliki.
“Juna justru hanya memberikan banyak luka untuk Giska dalam pernikahan kami yang baru seumur jagung, ya, Ma?”
“Takdir, Ar, mau bagaimana lagi, saat kita mengambil keputusan ini juga, kan, Giska sudah diberi tahu, semua pertimbangan ini kita diskusikan hingga menemukan hasil akhirnya, dan Giska juga setuju walau berat mengikhlaskan.”
Kinnas kembali berusaha untuk menenangkan putranya itu.
“Kamu tidak mengkhianati Giska, keadaan kamu berbeda dengan pria di luar sana yang melakukan poligami karena napsu, kamu melakukannya karena memang harus melakukannya untuk menyelamatkan putri kamu.”
“Ya sudah, Ma. Juna ke kamar dulu, ya.” Juna mengulum senyum sendunya lalu meninggalkan mamanya yang hanya bisa menghela napas panjang.
Begitu memasuki kamar, Juna pikir sang istri sudah lelap, namun rupanya Giska sedang duduk di kursi rodanya dan menghadap ke arah jendela.
Saat Juna menghampiri, tatapan wanita itu justru terlihat kosong, dan ada jejak air mata di wajahnya, hati Juna merepih dan dia langsung merengkuh Giska dalam dekapannya.
“Baby… Kamu menangis?” Bisik Juna dengan pilu, sungguh dia sangat tidak bisa menyakiti hati sang istri.
“Eheheh … Tidak apa-apa, kok, Ar … Aku hanya rindu kamu. Sepi sekali tanpa kamu, Ar. Ternyata ranjangnya berubah menjadi dingin dan membuatku menggigil.” Ucap Giska lagi yang akhirnya kembali menjatuhkan air mata.
“Maaf, ya? Maaf, kemarin aku juga main ke rumah Bunda Shinta, kok, mengajak Anas bermain dengan Dinar dan Dino, kami ke taman bermain, baby, tanpa Sheya.”
Juna menjelaskannya tanpa diminta, dia lalu membopong Giska ke ranjang, menyandarkan sang istri untuk duduk di kepala ranjang, lalu dia ikut naik dan merangkul Giska.
“Apa saja yang kamu lakukan kemarin, sayang? Katanya shopping dengan Mama, ya?” Tanya Juna membelai-belai pipi Giska.
“Iya, biasa, girl things. Mama menghibur dan menenangkanku, sehingga hatiku menjadi lebih tenang karena aku yakin kamu tidak akan berpaling, kan, Ar?”
“Tentu saja, baby. Tidak ada yang mampu membuatku berpaling dari kamu. Sudah kukatakan, Sheya bukanlah ancaman untuk rumah tangga kita, kehadirannya tidak akan mempengaruhi hatiku apalagi sampai mengguncang pernikahan kita, tidak, sweetheart.”
Juna semakin erat mendekap Giska dengan perasaan sesal yang terus membelenggu.
“Namanya juga wanita, Ar … Jangankan suaminya menikah lagi, suaminya dekat dengan wanita saja sudah ketakutan setengah mati.” Tatapan Giska nanar ke arah Juna, matanya sudah kembali berembun dengan air mata yang siap jatuh jika wanita itu mengedipkan mata.
“Maaf, tapi kamu tau, kan, baby, tidak ada satu hal pun yang aku sembunyikan dari kamu, aku tau keadaan kita memang menyakitkan, tapi akan lebih menyakitkan lagi jika aku melakukan di belakang kamu, dan aku tidak mau melakukan itu, itu artinya aku benar-benar mengkhianati kamu dan pernikahan kita, sedangkan aku tidak ingin kehilangan kamu.”
Juna menghapus air mata di wajah Giska dan mengecup kening wanita itu penuh cinta, hatinya juga sesak melihat air mata Giska yang jatuh karenanya.
“Aku tau, aku juga percaya pada kamu, Mama juga selalu menenangkanku, tapi tetap saja, ada waktu-waktu tertentu saat hatiku merasa tidak tenang, saat kamu datang ke sana, walau aku juga tau kamu datang ke sana untuk bertemu dengan Anas. Kenapa, ya, Ar, Anas tidak menyukaiku? Padahal aku menyukainya dan menyayanginya.”
Lagi, nada suara Giska terdengar semakin sendu dan sedih, seolah benar-benar terluka dengan keadaan di mana putri angkatnya tidak menyukainya, padahal dia sudah mencurahkan segala kasih sayang untuk Anas.
“Dia hanya butuh waktu untuk mengenal kamu, sayang, nanti, nanti jika dia sudah benar-benar pulih, aku akan mencoba kembali mengenalkan kamu, dan kali ini aku pastikan berhasil, kamu akan menjadi Bundanya yang sesungguhnya, dan kita bisa melanjutkan keluarga kecil kita seperti impian kita.”
Juna mengusap-usap puncak kepala Giska lalu mengecupnya.
“Kenapa aku harus mengalami kecelakaan dan lumpuh, ya, Ar? Semesta seolah berkonspirasi untuk membuatku semakin jauh dengan Anas, dengan keadaanku yang lumpuh dan tidak bisa apa-apa ini, aku semakin tidak bisa mendekati Anas, dan Anas juga semakin jauh, apalagi setelah menemukan sosok yang dia anggap sebagai Ibunya, makin hancur hatiku melihat putri yang seharusnya menjadi putriku justru lari ke pangkuan orang lain, Ar.”
Tangis Giska kembali pecah, dan itu membuat Juna ikut ngilu mendengarnya.
“Seolah pernikahan kedua kamu juga seperti mendapat restu dari semesta, keadaan Anas yang mengalami kekerasan oleh Suster Sisil, lalu kita sedang mengusahakan pengobatannya, namun belum berhasil kita menyembuhkan Anas, tau-tau aku kecelakaan, fokus kamu semakin terbagi dan Anas juga semakin terabaikan, hingga muncul lah Sheya, kenapa timing-nya pas sekali, ya, Ar, seolah kejadian itu mengantarkanku pada luka yang tiada habisnya dan berakhir aku yang harus berbagi suami dengan wanita lain.”
Juna masih diam, membiarkan istrinya itu mengeluarkan segala keluh dan kesahnya, supaya hatinya terasa lebih baik, karena dia pun belum bisa mengobati hati sang istri selain memberikan kata-kata yang menenangkan.
“Aku juga tau dan berusaha mengerti, semua rentetan kejadian yang mengguncang pernikahan kita itu membuat kamu tidak memiliki pilihan lain selain menikahi Sheya, aku tau, Ar, aku mencoba mengerti, dan kamu pun tidak mengkhianatiku, keadaan lah yang memaksa kamu, dan aku juga tau kamu terluka dalam hal ini. Tapi, hatiku tetap sakit walau aku sudah tau semua kenyataannya. Maaf, ya, kesedihanku juga pasti semakin membebani kamu dan membuat kamu lebih terluka.”
“Tidak apa-apa, baby. Aku senang jika kamu mengurai semua hal yang membuat kamu terluka kepadaku, itu lebih menenangkan untukku, dan aku mengerti bagaimana aku harus menenangkanmu, walau apa yang kulakukan juga belum tentu berhasil. Kita hadapi ini sama-sama, ya? Untuk Anas, supaya dia kembali ‘hidup’ dan menjadi anak yang ceria dan bahagia. Maaf, ya, aku meminta kamu banyak berkorban dalam pernikahan kita yang baru sebentar.” Bisik Juna lagi kini menatap sang istri lalu mengecup kening Giska dan mendekapnya lebih erat.
“Mungkin memang ini ujian pernikahan kita, Ar, aku akan mencoba menjadi wanita yang kuat untuk kamu, selama hati kamu tetap seutuhnya milikku.” Bisik Giska dengan helaan napas yang panjang, sekali lagi wanita itu mendapatkan kecupan di keningnya.
“Selamanya, hatiku, milik kamu, baby.” Juna kembali mendaratkan ciumannya, kali ini di bibir Giska dan sedikit melumatnya.
“I love you, Ar.”
“Love you more, my baby.”
“Tidur, yuk, semalam aku kesulitan tidur tanpa kamu. Tolong peluk aku, Ar.” Pinta Giska membuat Juna langsung mengulum senyumnya.
“Mau liburan tidak, baby?” Ucap Juna sambil membantu Giska untuk berbaring.
Setelah membaringkan istrinya, Juna justru menumpukan sikunya di kedua sisi tubuh Giska dengan posisi seperti mengungkung wanita itu, sehingga dia bisa melihat tatapan berbinar Giska.
“Liburan?”
“Heum, honeymoon, kan kita belum sempat melakukannya, kan?”
“Tapi aku lumpuh.” Ucap Giska yang seketika wajahnya berubah mendung.
“Ya memang apa masalahnya? Kamu akan tetap merasakan senang dan bahagia, aku yang menjaminnya.”
“Begitu? Aku mau, Ar. Kapan?”
“Minggu depan, saat weekend? Nanti aku cari tanggal dulu ya, cantik.”
“Okay, terima kasih ya, Ar, kamu selalu tau bagaimana menyenangkan hatiku.” Bisik Giska membuat Juna tersenyum, kali ini dia merasa suasana hati Giska sudah membaik, pun suasana hatinya yang dirasa juga lebih baik setelah tercetus ide tentang honeymoon bersama istrinya.
Pasalnya, setelah pernikahan mereka, Juna merasa bertubi-tubi cobaan menimpa kehidupan pernikahannya, mulai dari masalah di kantor, masalah putrinya hingga Giska yang mengalami kecelakaan dan lumpuh.