Jam tujuh pagi, Juna sudah sampai di rumah keduanya, membuka pintunya sendiri dan masuk untuk melihat keadaan.
Dari pantaun CCTV, terakhir dia melihat Sheya masuk ke kamar tiga puluh menit yang lalu, lalu setelahnya, wanita itu masuk ke kamar Anas dan belum keluar sampai dia tiba di rumah.
Juna hanya menebak jika Sheya pasti sedang membantu Anas bersiap seperti biasa. Dia memilih masuk ke kamarnya terlebih dahulu. Jam tangannya tertinggal di kamar kemarin.
Begitu dia keluar dari kamar, suara langkah kaki yang menuruni tangga dan celotehan Anas juga terdengar.
"Ibuu ... Ibuu .... Nanti siang kita main ekspemiren-ekspemiren itu lagi, yuk?!"
"Eksperimen, Kak." Ucap Sheya yang terkekeh dengan tingkah putrinya yang salah mengeja itu.
"Iya, itu maksudnya, Ibu. Sera suka deh main itu, Ibu. Yang waktu itu kan botolnya yang bisa meniup balon, ya, Ibu? Terus yang kita buat bubble pelangi itu, Ibu. Nanti siang kita buat apalagi, Ibu?"
Sheya yang melihat antusiasme Sera hanya tertawa kecil dan menggandeng tangan anaknya itu menuruni tangga, memang sejak minggu kemarin dia mengajak Sera untuk bermain eksprimen sederhana yang menyenangkan.
Juna yang mendengar obrolan hangat itu ikut menyimak, sepertinya permainan mereka menyenangkan sekali.
“Ayahhh.” Itu suara nyaring Anas yang berjingkrak-jingkrak melihatnya, Juna terkekeh dan langsung membopong putrinya itu sambil mengecupi pipinya.
“Anak Ayah sudah cantik sekali ini, wanginya, mau sekolah, ya? Hari ini Ayah antar, ya? Senang tidak?” Ucap Juna membuat tatapan Sera langsung berbinar.
“Asikkkk. Ibu, Sera diantar Ayah hari ini. Senang dong, Ayah.”
Rasa senang itu diungkapkan oleh Anas dalam bentuk kecupan singkat di pipi sang Ayah, dan itu membuat Juna kembali tergelak.
“Ya sudah, yuk, sarapan dulu lalu berangkat, Kak.” Ucap Sheya yang langkahnya sudah lebih dulu beranjak ke ruang makan.
Begitu tiba di ruang makan, Juna langsung menurunkan putrinya, dilihatnya ada sebuah mug makan berwarna cream di meja makan, bekal yang selalu disiapkan oleh wanita itu untuknya sendiri.
PAUD tempat Anas menimba ilmu merupakan sebuah yayasan yang terstruktur dari mulai Tempat Penitipan Anak hingga jenjang TK.
Dan sebagian orang tua wali murid biasanya selain menyekolahkan anaknya di pendidikan resmi baik PAUD atau TK, mereka juga mendaftarkan putra-putri mereka di TPA nya. Sehingga, setelah pelajaran di PAUD selesai, mereka akan tetap bertahan di sekolah, dan dibimbing lagi oleh bunda-bunda mereka di TPA, mulai dari tidur siang, makan siang juga permainan edukatif lainnya sampai sore hari. Sampai jemputan mereka datang.
Sehingga, Anas tidak pernah membawa bekal, karena semua sudah disediakan oleh yayasan tersebut, dan jelas Juna tau tidak mungkin Sheya repot-repot membuatkan bekal untuknya, dia pun tidak sudi menerimanya.
“Dadah Ibu … Sera sekolah dulu, ya, Ibu. Ibu hati-hati juga sekolahnya.” Ucap Sera sambil melambaikan tangannya begitu sudah masuk di mobil sang ayah.
Sheya ikut tersenyum lebar dan melambaikan tangannya sambil memberikan kiss bye-nya dan membuat anak itu cekikikan.
“Hati-hati juga ya, Kak. Dengarkan semua kata-kata Bunda di sekolah, ya, Nak.”
“Siyap, Ibu. Sera sayang Ibu. I love you, Ibu.”
“Love you more, Kak.”
Sheya terus melambaikan tangan saat mobil itu mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah, pun dirinya yang langsung mengunci pintu rumah, memakai jaketnya dan mengeluarkan sepeda motornya dari garasi rumah. Memanaskannya sebentar dengan pikiran yang kembali berkelana.
Setelah dia memutuskan untuk menerima tawaran Arash, hari itu juga Sheya langsung menyerahkan surat pengunduran dirinya dari sekolah, lalu langsung sibuk mencari sekolah baru. Dia hanya ingin menghindari rumor, selain itu, jika dia tetap di sana, mungkin Sera justru tidak bisa berkonsentrasi dan tidak mandiri karena ada dirinya.
Sehingga, begitu dia memutuskan untuk bersedia menikah dengan Juna, dia langsung mengambil langkah cepat, beruntung dia memiliki beberapa teman kenalan yang sesama guru, sehingga dia mendapatkan beberapa rekomendasi dari mereka dan lebih mudah baginya untuk langsung mendapatkan sekolah yang baru.
Saat dia akhirnya memberitahukan berita ini kepada Sera, wajah anak itu terlihat kecewa, tentu saja Sheya sudah memprediksi reaksinya, namun dia memberikan pengertian ini dan itu, mengatakan jika waktunya bersama Sera di rumah akan lebih lama dan menyenangkan, dan meminta anak itu belajar dengan baik di sekolah dan selalu mematuhi semua ucapan bunda-bundanya di sekolah.
Semua berjalan baik setelah hampir satu bulan Sheya pindah ke sekolah barunya, dia juga selalu meminta Kinan, sahabatnya yang juga merupakan salah satu tenaga pengajar di sana untuk mengirimkan setiap berita tumbuh kembang Sera selama di sekolah.
Sheya baru bisa pulang dari sekolah jam dua siang, sehingga, Sera pun, setelah sesi sekolahnya selesai langsung pindah ke TPA dan bermain bersama bunda-bundanya di sana, setelah tidur siang, baru Sera dijemput oleh supir keluarga suaminya itu.
Sehingga, waktu kepulangannya dengan kepulangan Sera selalu sama, karena dia selalu mengabarkan pada sang supir kapan dia bisa membawa Sera pulang, biasanya supir yang juga merupakan supir pribadi Juna itu sudah stand by di sekolah sejak jam satu siang.
Sejauh ini, semua seimbang dan Sheya benar-benar menikmati perannya sebagai sosok Ibu untuk Sera, dia bahagia menghabiskan hari-harinya bersama anak perempuan yang semakin menggemaskan itu.
Hidupnya memang tidak setenang sebelumnya. Di mana, dulu setelah dia pulang bekerja, dia hanya sibuk dengan apa-apa yang membuatnya senang, seperti menghabiskan stok novell di kamarnya, menonton film atau hang out dengan Kinan.
Kali ini, hidupnya memang sedikit berisik, namun ini jenis berisik yang membuat Sheya juga bahagia, hari-harinya menjadi lebih berwarna dengan tingkah Sera yang kadang ada-ada saja dan selalu menggelitik perutnya.
Hari ini terasa cukup padat bagi Sheya, dia yang baru saja satu bulan bekerja di sana harus langsung beradaptasi untuk memahami satu demi satu karakter dari anak-anak didiknya.
Ada pertemuan dengan para orang tua murid terkait evaluasi karakter dan perilaku anak hari ini, sehingga hari ini terasa sangat padat bagi Sheya.
Diskusi dan tukar pikiran dilakukan dengan orang tua murid secara one on one dan face to face, sehingga Sheya tidak sempat melirik ponselnya, padahal biasanya dia selalu mengecek ponselnya, karena Kinan selalu mengirimkan foto-foto Sera saat sedang berkegiatan di sekolah.
Dia selesai sekitar jam satu siang. Baru sempat membuka ponselnya dan jantungnya langsung berdegup cepat mendapati begitu banyaknya panggilan tidak terjawab dari suaminya.
Rasanya baru kali ini Juna melakukan panggilan kepadanya, dan bahkan sampai puluhan kali. Ada beberapa panggilan juga dari mama mertuanya.
-Kamu di mana?! Di sekolah tidak boleh memakai handphone?! Anas keracunan makanan di sekolah. Dia terus mencari kamu!-
“Apa? Ke…ra…cunan? Bagaimana bisa?” Tubuh Sheya langsung gemetaran, sekali lagi dia seperti mengalami de javu, tapi kenapa kini justru putrinya yang mengalaminya? Apakah ini sebuah kebetulan? Atau kesengajaan?
Jantung Sheya seolah kehilangan kemampuan untuk memompa darah begitu membaca satu-satunya pesan yang dikirimkan oleh Juna setelah puluhan missed call dari pria itu.
Napas Sheya langsung memburu, wanita itu bergegas menuju ke ruang kepala sekolahnya, meminta ijin untuk pulang lebih awal hari ini dengan alasan yang apa adanya.
Setelah mendapatkan ijinnya, Sheya gegas menghubungi Juna dengan tangan yang gemetar. Sekali … Dua kali … Hingga kali ke empat, panggilannya tetap tidak dijawab.
Lalu, dengan sedikit ragu, Sheya memutuskan untuk melakukan panggilan ke mama mertuanya.
-Assalamualaikum, Ma. Ma, bagaimana keadaan Sera?-
-Kamu ini ke mana saja? Dihubungi tidak bisa. Anas terus menangis mencari kamu. Anak itu sudah kesakitan, tapi Ibunya malah sibuk sendiri! Cepatlah kemari.-
Tau-tau Sheya langsung disemprot dengan nada yang tidak bersahabat, namun Sheya memaklumi itu, sehingga dia tidak mengambil hati ucapan mama mertuanya.
-Maaf, Ma. Sheya baru sempat membuka ponsel, tadi ada meeting dengan wali murid. Tolong infokan pada Sheya di mana rumah sakit dan kamar rawat Sera ya, Ma.-
-Ya sudah nanti saya kirim lewat pesan.-
Setelahnya, panggilan langsung dimatikan sepihak oleh mama mertuanya. Sheya langsung bergegas menuju ke parkiran, memakai jaket dan helm-nya dengan buru-buru.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit justru air matanya jatuh, hatinya tidak karuan, memikirkan tubuh kecil itu kesakitan dan terluka. Hati Sheya luluh lantak memikirkan bagaimana keadaan tubuh kecil Sera yang harus menderita karena makanan yang dikonsumsinya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana bisa Sera mengalami hal mengerikan itu? Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi di sekolah? Bukankah sudah ada standard dan keamanan pangan yang tinggi?
Ucapan Mama Kinnas juga pesan dari suaminya yang mengatakan Sera terus menangis dan mencarinya membuat hati Sheya kembali terasa diremas-remas.
Putrinya itu pasti kesakitan saat diobati oleh dokter, dan dia menangis sambil mencarinya berharap rasa sakitnya bisa reda saat berada dalam dekap ibunya, tapi dia justru tidak ada di sana.
Sera pasti akan kecewa, anak itu bukan hanya luka fisiknya, namun juga hatinya yang kecewa dengan ketidakhadiran dirinya.
Oh, Sheya semakin tidak bisa membayangkan betapa sedihnya wajah Sera nanti. Air matanya jatuh semakin banyak, dia tidak menyangka jika perasaan sayangnya pada Sera berkembang begitu jauh hingga membuatnya begitu khawatir dan ketakutan setengah mati jika sesuatu yang buruk terjadi pada putri angkatnya itu.
‘Maafkan, Ibu, Nak. Maafkan Ibu.’ Bisik Sheya yang berusaha untuk menenangkan dirinya dalam perjalanannya menuju ke rumah sakit itu.
Namun, ketenangan yang berusaha dia dapatkan itu seketika buyar begitu saja saat dia merasakan sebuah benturan keras di bagian belakang motornya, disusul dengan motornya yang oleng, dan tiba-tiba ada pengendara motor lain, yang berada di sebelahnya, merepet ke arahnya dan membuat Sheya semakin kehilangan keseimbangannya, dan pada akhirnya dia jatuh cukup keras di bahu jalan dengan lutut dan kaki yang menumpu beban tubuhnya lebih dulu, disusul dengan motornya yang jatuh menimpa tubuhnya.
Seketika keadaan berubah menjadi kacau dan Sheya merasa linglung dalam keadaan itu dengan rasa sakit yang pelan-pelan menjalar di kakinya.