Bagaikan mendengar mendengar petir di pagi buta, seperti itulah yang gue rasakan. Dan selalu ada alasan untuk perasaan tidak nyaman, inilah jawabannya.“Maafkan, aku. Maafkan, aku ...” Isak tangis itu makin menjadi dan sarat akan permohonan. “DI MANA, MAS ANDREW?!” Rasa sesak membuat gue berteriak. Gue hanya ingin meluapkan kemarahan yang menggumpal, marah sekali sampai sesak yang ingin berlomba keluar. Mami dan Mama Wanda sampai terbangun, dengan lekas mereka mendekat dan menatap gue khawatir. Terutama Mami. “Ada apa, Sayang?” Mami mengusap punggung tangan gue. Mama Wanda mengambil air, menuangnya ke dalam gelas. “Minum, Alea. Kamu pasti terlalu lelah.” Tanpa menggubris mereka berdua, gue mengeratkan pegangan ponsel. “Kasih tau di mana, Mas Andrew, Jelita!” Dengan isak tangisnya, Jel