Setelah berburu novel, gue dan Devi mampir di kafe yang bertepatan di samping gramedia. Saking asiknya membaca, nggak berasa sore berganti malam. Bahkan azan maghrib berkumandang dan saling bersahut-sahutan. Gue dan Devi yang tadi menunduk kini menatap satu sama lain. “Dev, lo kok nggak ngasih tau kalau–” Devi lebih dulu menyela ucapan gue. “Apa? Gue juga nggak sadar, tau-tau maghrib aja,” ujarnya cuek. Dengan tergesa gue bangkit dan memasukkan semua benda punya gue ke dalam tas. Janjinya sama Pak Andrew nggak sampe sore, ini sudah lewat malah. Takutnya gue kena semburan api mulut tajamnya itu. “Santai aja kali, Le. Biasanya kita pulang sampe isya juga lo nggak sepanik ini.” Gue melirik Devi. “Itu mah, waktu gue masih ting-ting. Sekarang ‘kan ada pawang, jadi kemana-mana itu terbatas