“Gimana pertemuan semalam?” tanya Irwan, ingin tahu hasil dari pesta yang dihadiri Siena dan Axel semalam.
Siena melirik ke arah Axel. Tampak pria itu tidak bergeming mendengar pertanyaan papanya. Dia malah meneruskan sarapannya sambil melihat iPad yang ada di hadapannya.
Siena menoleh ke Irwan. “Axel berhasil mendapatkan kartu nama Mr. Adrian. Kita akan coba atur jadwal pertemuan,” jawab Siena.
“Apa? Beneran bisa dapet? Akhirnya kita bisa dapat kesempatan,” ucap Irwan lega.
Irwan melihat ke arah putranya dengan rasa bangga. “Papa yakin kamu pasti bisa dapatkan proyek itu,” ucap Irwan.
“Aku masih belum berpikir akan mengambil proyek itu,” jawab Axel santai tanpa menoleh sedikit pun.
“Axel! Apa maksud kamu, hah?!” emosi Irwan dipaksa naik lagi.
Siena menoleh ke arah Irwan. Dia memegang lengan pria paruh baya itu, berusaha memberi isyarat kalau dia akan mengurusnya.
Tentu saja Siena tidak mau sampai sakit jantung Irwan akan kambuh lagi. Dia bisa terjebak di rumah sakit bersama pria tua yang sangat dibencinya itu.
“Biar aku nanti yang urus,” lirih Siena sedikit berbisik.
Irwan hanya melihat ke arah Siena dengan tatapan kesal. Bukan kesal pada istri palsunya, tapi pada putranya.
“Siena, siapkan rapat direksi siang ini. Aku mau ketemu sama semuanya,” ucap Axel yang kemudian segera berdiri dan meninggalkan meja makan.
“Axel! Yang sopan sama Ibumu!” bentak Irwan.
Axel menghentikan langkahnya. Dia kemudian menatap tajam ke arah papanya dengan raut wajah serius.
“Ibu? Aku gak pernah punya ibu. Aku hanya punya mama.”
Axel melihat ke arah Siena. “Dia istrimu, tapi bukan ibuku!” tegas Axel.
“Axel!” bentak Irwan semakin kesal.
Bukan Axel kalo dia lantas peduli dengan bentakan papanya. Dia berjalan menuju ke ruang kerja, tanpa peduli papanya memanggilnya.
“Bisa diem gak? Berisik tau!” geram Siena selepas Axel menghilang.
Irwan menoleh ke arah istri palsunya. “Apa yang terjadi di perusahaan? Kenapa kamu diperintah Axel?” tanya Irwan.
“Axel tidak mau ke kantor kalo aku gak jadi wakilnya. Mungkin dia masih belum bisa percaya orang lain,” terang Siena.
“Leo. Dia orang lama, bahkan lebih lama dari kamu.”
“Dia mau asisten lain. Leo sudah siapkan hari ini.”
“Tapi kenapa harus kamu?” Irwan menyipitkan matanya. “Kamu gak sedang ingin mengambil kesempatan buat deket sama dia kan, Siena? Kamu gak lag—“
“Aku gak serendah itu, Pak Irwan! Kalo masih gak percaya, lakukan sendiri!”
Siena ikut geram pada kelakuan pria tua bangka kaya raya itu. Dia memundurkan kursinya, lalu membanting serbet di tangannya ke atas meja makan.
Siena semakin kesal setiap kali Irwan mencurigainya. Dia hanya takut kalau nanti apa yang sudah dia kerjakan ini tidak akan membuatnya segera lepas dari kekangan keluarga Wijaya.
“Siena!”
Sebuah pekikan terdengar dari arah ruang tamu saat Siena akan melangkah menuju ke kamarnya. Tampak dua wanita yang sering dia usir dari rumah ini datang lagi yang dari aromanya sepertinya akan mencari masalah lagi dengan dirinya.
Irwan yang masih duduk di ruang makan, ikut menoleh saat mendengar suara Sarah. Wanita yang pernah mengandung anaknya dan penghancur rumah tangganya dengan mama Axel.
“Siena!” panggil Sarah lantang, mirip dengan suara teriakan.
“Apa?” jawab Siena santai, sudah biasa menghadapi wanita liar seperti Sarah.
“Apa yang sudah kamu lakukan pada Chelsea. Kenapa kamu tega potong uang jajan dan gajinya?!”
Sarah melihat ke arah Irwan. “Lihat ... lihat dia! Dia semakin arogan dan sok berkuasa di kantor. Dia nyiksa Chelsea!” Sarah mengadu pada Irwan.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi, Siena?” Irwan menuntut penjelasan.
“Tanya aja sama dia. Dia pake buat apa aja uangnya selama ini. Bahkan bukan hanya itu saja, buat apa aja dia ambil uang perusahaan sampe 1 milyar,” jawab Siena santai.
“1 milyar?” Irwan kaget.
Siena melihat ke arah Chelsea. Gadis muda itu hanya bisa menunduk dan bersembunyi di belakang ibunya.
Bukan hanya Irwan yang kaget, Sarah pun ikut kaget. Tapi dia berusaha menyembunyikan rasa kagetnya itu, demi melindungi putri kesayangannya.
“1 milyar, itu bukan uang yang besar buat perusahaan. Gak usah kamu gedein!” ucap Sarah.
“Emang gak gede, tapi kalo uang perusahaan, tetep aja itu gak boleh dilakukan sembarangan. Kalo uangmu sendiri, ya silakan. Aku gak akan ikut campur,” jawab Siena.
“Heh, Chelsea,” panggil Siena.
“Buat apa aja uang segitu. Kalo mau foya-foya, pake uangmu sendiri. Jangan korupsi!” lanjut Siena memberikan peringatan.
“Ak-aku kan butuh uang buat main. Buat perawatan juga. Uang 20 juta sebulan dari kamu, itu cukup apa,” ucap Chelsea mengungkapkan keluhannya.
“Siena, kenapa kamu cuma kasih dia 20 juta?” tanya Irwan sedikit kesal.
“Iya, Pa. Aku cuma dikasih 20 juta selama ini. Uang segitu gak akan cukup!” Chelsea senang karena dia mendapat dukungan papanya.
“Gak cukup? Tiap bulan kamu dapet sekitar 50 juta. 20 juta itu hanya uang jajan. Belum di tambah gaji kamu dan juga tambahan dari aku. Dan aku yakin kamu juga gak kasih ke mama kamu juga uang itu. Dan sekarang kamu teriak-teriak uang itu masih kurang?” Siena membeberkan semua uang yang dia keluarkan untuk Chelsea setiap bulan.
“Kurang! Biaya perawatan Chelsea mahal. Di—“
“Kalo kurang, jual diri aja. Perempuan gak ada otaknya ngapain dipertahankan di perusahaan,” sahut Axel yang baru saja keluar dari ruang kerja karena mendengar ada suara keributan.
“Axel!” bentak Sarah semakin kesal.
“Siena, 15 menit lagi kita berangkat!” titah Axel yang kemudian dengan santainya berjalan naik ke lantai dua, di mana kamarnya berada.
“I-iya,” jawab Siena kaget kenapa tiba-tiba saja Axel malah mendukungnya.
“Siena, tambah uang untuk Chelsea,” ucap Sarah sebelum Siena pergi.
Siena menoleh dan melihat ke arah Sarah dengan tatapan lurus nan tajam. “Gak!”
Siena mengalihkan pandangan ke Irwan. “Gak usah ikut campur!” ucap Siena memberi peringatan.
Siena berjalan menjauh menuju ke kamarnya. Tentu saja langkahnya diiringi dengan suara protes Sarah yang masih tidak terima dengan keputusan Siena.
Sarah juga mencecar Irwan. Tapi Irwan tidak bisa melakukan apa-apa. Dia sebenarnya kasihan pada Chelsea, tapi dia juga setuju dengan tindakan Siena yang mengetatkan keuangan Chelsea.
Siena segera bersiap ke kantor. Dia mengganti pakaiannya sambil menghubungi Leo.
Tentu saja dia harus mengabarkan ke Leo tentang perintah rapat dadakan tadi. Dia tidak mau menjadi sasaran kemarahan Axel lagi kalau nanti tidak tepat waktu.
Siena meletakkan sisir rambutnya di meja rias dan menatap bayangan dirinya sendiri di cermin.
“Kok dia tadi belain aku ya. Biasanya malah teriak mulu sama aku,” ucap Siena pada bayangannya sendiri.
Tubuh Siena bergidik. “Gak boleh ngomong gitu. Orang sinting itu pasti ada maunya ntar. Aku gak boleh lengah!” ucap Siena segera menyadarkan diri agar tidak mudah tertipu dengan sikap anak tirinya.