“Axel! Gak usah ngelunjak kamu!” bentak Siena yang sudah tidak mampu lagi menahan emosinya.
“Aku belum punya asisten pribadi, wajar dong kalo kamu dampingi aku dulu. Aku masih belum tau apa-apa tentang perusahaan ini,” ucap Axel.
“Saya yang akan mendampingi, Pak,” sahut Leo.
“Aku gak mau berurusan sama orangnya papa,” jawab Axel ketus dengan sorot mata tajam.
“Aku juga orang papamu. Jangan lupa, aku istrinya Irwan Wijaya!” tegas Siena.
Axel menatap tajam ke arah Siena. “Tapi di sini kamu wakilku. Asisten pribadiku, Siena! Cepat bawa berkasnya ke sini!” titah Axel tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Siena.
“Ba-baik, Pak.”
Siena mendengus kesal dan terus membalas tatapan Axel. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata pria yang selalu mengganggunya itu.
Dewi segera keluar dari ruang kerja Axel. Pria muda yang baru beberapa menit lalu dia kagumi karena ketampanannya, mendadak membuatnya takut. Ternyata Axel bukan pria manis nan tampan seperti yang sempat dia bayangkan tadi.
“Buset! Galak banget ya. Tapi seksi banget orangnya, menggairahkan,” ucap Dewi sambil mulai menyusun berkas yang akan dia bawa ke ruang kerja Axel.
“Tapi kenapa Pak Axel kayak gak suka banget sama Bu Siena ya. Apa karena Bu Siena istri muda Pak Irwan. Waah ... kayaknya bakalan rame ini ntar.”
Saat Dewi bersiap masuk ke dalam ruang kerja Axel lagi, dia melihat Siena dan Leo keluar dari ruangan itu. Langkah Siena tampak tidak baik-baik saja. Terlihat sekali kalau wanita itu sedang marah.
Siena membuka pintu kerjanya dan segera menuju ke meja kerjanya. Dia mengambil gelas minumnya dan menenggaknya hingga tandas.
“b******k! Gak ada abis-abisnya dia ganggu aku. Awas kamu ya, aku gak akan bakalan diem aja!” sungut Siena melepaskan kekesalannya pada Axel.
“Siena, sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi. Axel mau kerja kan?” tanya Leo ingin tahu.
Siena melemaskan punggungnya. Dia duduk bersandar di kursi kerjanya, sambil menarik napas dalam, mencoba menenangkan emosinya.
“Iya, dia mau. Tapi dia juga mau aku tetap di sini,” jawab Siena.
“Tetap di sini? Jadi kamu belum bisa resign?”
Siena mengangguk pelan. “Iya. Katanya aku jaminan buat dia tetap kerja di sini.”
“Jaminan? Trus apa yang bakalan kamu lakukan sekarang? Kamu masih akan bertahan di sini?” tanya Leo yang ingin tahu apa yang akan dilakukan Siena.
Siena menatap Leo. “Terpaksa. Gak ada yang bisa aku lakukan selain setuju. Dia juga ngancem bakalan pergi jauh kalo aku resign.”
“Kalo sampe itu terjadi, pasti pak tua sialan itu bakalan nuntut aku,” lanjut Siena.
“Iya juga sih. Tapi aku akan bantu kamu. Kamu gak usah takut,” ucap Leo memberikan jaminan.
“Makasih, Leo. Kalo gak ada kamu, pasti aku udah kabur dari dulu. Oh ya, kamu bisa bantu pilihkan asisten pribadi buat Axel secepatnya?” pinta Siena.
“Pasti. Akan aku seleksi sekarang juga.”
“Makasih ya, Leo. Kalo gak ada kamu pas—“
Siena batal melanjutkan ucapannya karena telepon di atas meja kerjanya berbunyi. Siena segera mengangkat gagang telepon itu, untuk menerima panggilan untuknya.
“Hal—“
“Cepet ke ruanganku!”
Tut tut tut.
Belum juga Siena menjawab apa yang dikatakan Axel, sambungan telepon itu sudah terputus. Siena yang semakin kesal, segera mencengkeram gagang telepon itu kuat-kuat.
“Axel, b******k!” pekik Siena sambil melihat ke arah gagang telepon yang masih di tangannya.
“Ada apa? Dia mau apa lagi?” tanya Leo.
Siena berdiri dari kursinya dan segera beranjak pergi. “Cepat cari asistennya!” titah Siena sambil terus berjalan meninggalkan ruang kerjanya.
Siena berjalan dengan emosi tinggi menuju ke ruang kerja Axel. Ingin sekali dia menonjok wajah Axel, tidak peduli meski wajah itu dulu pernah dia puja.
Kelakuan Axel sangat tidak sopan kepadanya. Tapi sayangnya, Irwan masih terus saja membela Axel meski tahu bagaimana kelakuan putranya.
“Ada apa?” tanya Siena saat dia sudah berdiri lagi di depan meja kerja Axel.
“Jelaskan semuanya. Aku mau tahu kondisi perusahaan saat ini,” perintah Axel.
“Jelaskan? Kenapa gak adakan rapat aja sih. Kam—“
“Terlalu berisik. Jelaskan sekarang dengan singkat dan jelas!”
Lagi-lagi Siena hanya bisa mendengus kesal. Dia sangat stres saat ini.
Tapi demi melancarkan misinya untuk segera keluar dari neraka ini, Siena pun segera menjelaskan apa yang dia tahu tentang perusahaan. Dia sendiri baru satu tahun ini mempelajari perusahaan, jadi dia masih belum bisa mengetahui dengan baik tanpa bantuan Leo.
Axel mendengarkan Siena tanpa melihat wanita itu sedikit pun. Dia sibuk memeriksa berkas yang telah diberikan Dewi kepadanya.
Meski demikian, ternyata Axel tetap mendengarkan. Terbukti sesekali pria itu mengajukan pertanyaan ke Siena.
Kemampuan berbisnis Axel memang tidak patut untuk diragukan. Pria itu bahkan bisa membangun perusahaannya sendiri, saat dia memutuskan pergi dari keluarganya setelah mamanya bercerai. Dan perusahaan itu kini tidak bisa di pandang sebelah mata, karena tumbuh besar di Amerika sana.
Axel mengangkat pandangannya ke Siena. “Hanya sampe situ aja kemampuan kamu mimpin perusahaan?” tanya Axel.
Siena mengerutkan kedua alisnya. “Apa maksudmu, hah?!”
Seringai meremehkan itu kembali muncul di bibir Axel, “Amatir. Perhatikan aku bekerja. Lihat bagaimana aku akan melampaui pencapaianmu dalam waktu dekat!” ucap Axel memamerkan diri.
“Gak penting. Ini bukan persaingan!”
“Apa peduliku mau kamu apakan perusahaan ini. Lagian aku bakalan pergi jauh dari keluarga sialanmu!” gerutu Siena dalam hati.
“Besok temani aku ke undangan,” ucap Axel pelan.
“Apa? Kamu bilang apa?” tanya Siena tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Axel kembali mengangkat pandangannya. “Temani aku ke acara pertemuan bisnis itu.”
“Kamu gak perlu pergi. Ak—“
“Kamu lupa aku presdir di sini!” tegas Axel memotong ucapan Siena.
Siena dibuat terdiam. Dia tidak bisa lagi membantah karena menyadari posisinya saat ini.
Kehadiran Axel sangat membuatnya sakit kepala. Dia akan segera membuat perjanjian baru dengan Irwan setelah dia sampai di rumah nanti.
***
Siena sedang berganti pakaian di dalam kamarnya. Dia akan pergi ke pesta pertemuan bisnis dengan Axel malam ini.
Biasanya dia akan pergi bersama dengan Irwan atau Leo, tapi malam ini dia harus mau pergi bersama dengan anak tirinya itu.
Axel yang sudah keluar kamar dengan setelan jasnya, segera menuju ke ruang keluarga. Irwan yang mengetahui tentang rencana kepergian Axel dan Siena, sengaja menunggu mereka di ruang tengah.
“Mana Siena?” tanya Axel.
“Masih di kamar,” jawab Irwan.
“Axel, papa harap keputusan kamu tentang kembali ke perusahaan tidak akan berubah lagi. Papa ingin kamu segera menggantikan Papa,” lanjut Irwan.
“Kita liat aja nanti.”
Ucapan Axel terhenti tepat setelah pintu kamar Siena terbuka. Seorang wanita cantik dengan gaun sebetis berwarna coklat keluar dari dalam sana.
Lagi-lagi Siena berhasil membuat Axel terpana. Meski Axel membenci Siena, tapi dia juga tidak pernah bisa menolak pesona dari ibu tirinya itu.
Tapi hal ini berbanding terbalik dengan Siena. Dia malah menghindari Axel dan segera menghampiri suami palsunya.
“Siena, nanti kam—“
“Ayo jalan. Kita sudah terlambat,” potong Axel.
Siena menatap Axel kesal. Sopan santun pria itu sepertinya juga sudah menghilang sejak pindah ke Amerika.
Irwan melihat ke putranya sebentar lalu ke Siena lagi. “Pergilah, nanti kalian terlambat.”
“Kami pergi dulu,” ucap Siena berpamitan.
Siena pun melihat ke arah Axel. Pria itu sepertinya sedang menunggunya datang untuk pergi bersama.
Dan benar saja, kini Siena berjalan berdampingan dengan Axel menuju ke teras depan, di mana mobil sudah menunggu mereka.
“Gak pernah gagal. Kamu cantik malam ini. Mari kita berkencan,” lirih Axel sambil terus berjalan di samping Siena.