“Apa kau bilang?” tanya Siena sampai dia harus menghentikan langkah kakinya.
Axel menoleh perlahan lalu menaikkan kedua alisnya. “Emangnya kenapa? Kamu gak mau kencan sama aku?” tanya Axel balik.
“Gak usah melewati batas kamu, Axel! Aku in—“
“Ibu tirimu! Aku udah apal ama alasanmu!” Axel memotong ucapan Sien lalu melanjutkan kalimat itu seperti yang biasa dikatakan Siena.
Axel mencondongkan badannya ke depan. Tepatnya mendekati Siena yang masih berdiri di depannya sampai saat ini.
“Aku akan pastikan suatu saat nanti kamu akan memohon kepadaku lagi, Siena. Dan kamu akan dengan suka rela naik ke ranjangku dengan kakimu sendiri,” ucap Axel lirih.
Tatapan tajam Axel membuat Siena terdiam. Bukan karena tebakan Axel benar, tapi dia tidak mau kalau Irwan akan mendengar perseteruan mereka. Suara serak pria tua itu lebih menjengkelkan dibandingkan Axel.
Melihat Siena terdiam dan hanya melihat ke arahnya, Axel menyunggingkan seringainya. Dia kemudian berjalan lagi menuju ke depan, karena mobil sudah menunggu.
“Cepat, Siena. Jangan buat kita terlambat!” ucap Axel yang menyadarkan Siena.
Siena mendengus kesal lalu mengikuti langkah anak tirinya. “Mimpimu ketinggian, Axel. Aku hanya memilih diam karena ini jalan agar aku bisa segera pergi,” gumam Siena pelan.
Siena masuk ke dalam mobil. Tentu saja dia harus duduk bersebelahan dengan Axel di dalam mobil itu.
Sunyi dan tanpa interaksi. Siena memilih melemparkan pandangannya keluar mobil, dari pada dia harus melihat wajah pria di sampingnya.
Setelah melewati kesunyian di dalam mobil, mobil yang membawa Siena dan Axel akhirnya tiba di sebuah hotel, tempat pertemuan pebisnis itu berlangsung. Sebagai orang yang sudah beberapa kali datang ke acara seperti ini, Siena pun memimpin jalan masuk.
“Bu Siena. Wah, saya kira gak dateng, Bu,” sapa salah seorang kenalan Siena yang melihat kedatangan Siena.
“Dateng lah, Pak. Masa iya acara sebesar ini saya gak dateng,” jawab Siena sambil tersenyum ramah.
“Iya, bener juga. Pertemuan seperti ini emang gak boleh dilewatkan. Ada banyak investor kelas kakap yang bisa kita dapatkan di sini.”
“Eh, tapi lagi-lagi Bu Siena malam ini terlihat sangat cantik. Pasti bakalan jadi pusat perhatian para investor lagi nanti.”
“Ck! Ternyata senjata pamungkasnya itu penampilannya. Dia bener-bener w************n,” gumam Axel meremehkan Siena.
“Bisa aja Pak Burhan ini. Saya gak pernah pake cara itu, Pak. Semua karena mereka tertarik dengan apa yang kami tawarkan,” bantah Siena tetap dengan senyum ramah meski dia kesal.
“Iya, bener juga. Wijaya Corp emang gak bisa di pandang sebelah mata. Tapi kecantikan Bu Siena juga mendukung.”
Burhan melihat ke arah Axel, “Asistennya ganti, Bu?” tanya Burhan yang baru pertama kali melihat Axel.
“Oh iya lupa.” Siena sedikit memiringkan badannya, agar dia bisa memperkenalkan Axel pada rekan bisnisnya itu.
“Kenalkan, Pak. Ini Axel Wijaya. Dia presdir baru perusahaan kami,” ucap Siena memperkenalkan Axel.
“Presdir?” Burhan melihat ke arah Siena dengan tatapan bingung.
“Benar, Pak. Ini putra suami saya. Dia sudah kembali dari Amerika dan kini akan memegang kuasa di perusahaan.”
Burhan kembali melihat ke arah Axel. Tampak pria itu menatapnya begitu saja, tanpa ada rasa hormat. Bahkan Axel terlihat sangat angkuh, untuk orang yang baru saja dikenalkan oleh ibunya.
Tentu saja Siena geram melihat sikap angkuh Axel. Meski perusahaan Burhan bukan saingan mereka, setidaknya Axel harus terlihat lebih sopan karena usia Burhan jauh lebih tua darinya.
“Axel, ini Pak Burhan. Beliau pemilik Cita Rasa, salah satu suplier kita,” ucap Siena mencoba mencairkan suasana.
Axel melihat ke arah Burhan lalu mengangguk pelan. “Hemm.”
Siena dibuat melotot dengan sikap Axel. Ingin rasanya dia memukul kepala pria itu agar sadar dengan kelakuannya. Amerika membuat Axel semakin sombong dan arogan.
“Maaf, Pak.” Siena merasa tidak enak dengan Burhan.
“Gak papa, Bu. Senang akhirnya bisa bertemu dengan presdir baru Wijaya Corp. Semoga kerja sama kita bisa tetap berlangsung ya, Bu.”
“Tentu, Pak. Sampai saat ini kami masih belum punya masalah dengan barang yang Bapak kirimkan. Kalau gitu, saya permisi dulu, Pak.”
Siena segera mengakhiri obrolan itu karena dia tidak enak dengan rekan kerjanya itu. Dia segera mengajak Axel masuk ke dalam untuk bertemu dengan pebisnis lain.
“Bisa gak sih gak sombong gitu? Sopan dikit jadi orang!” gerutu Siena pelan, mengomeli Axel.
“Orang kayak gitu gak perlu dibaikin. Yang ada malah ngelunjak,” jawab Axel santai.
Siena melirik tajam ke arah Axel. Dia menggerak-gerakkan bibirnya tanda dia kesal.
“Jangan asal bicara! Dia salah satu klien penting di perusahaan.”
“Apa peduliku. Itu klienmu, bukan klienku!”
Kalau boleh memukul, pasti Siena sudah akan menampar mulut jahat Axel tadi. Bagaimana mungkin perangai Axel kian menyebalkan, saat ini.
Siena tidak ingin emosinya berkuasa saat ini. Setidaknya dia harus mendapatkan klien baru, sesuai apa yang dipesan oleh Irwan tadi.
“Axel, liat itu. Dia Mr. Adrian. Dia klien yang kabarnya akan membuka hotel baru di sini. Tapi dia sangat selektif dan di—“
“Axel!” panggil Siena tegas namun pelan, saat dia melihat Axel pergi begitu saja meninggalkannya.
“Kampret! Mau ngapain sih tu orang!” geram Siena sambil mendengus dan mengepalkan tangannya.
Siena yang kesal dengan sikap Axel, memilih untuk tidak mengikuti langkah anak tirinya itu. Tangannya menyambar gelas minuman yang lewat di depannya.
Tapi seketika itu juga, tatapan emosi Siena berganti menjadi tatapan penasaran. Dia kini justru melihat Axel tengah mendatangi Adrian dan menyapanya.
“Eh, berani juga dia. Belum tau aja dia kalo Pak Adrian itu bawel setengah mati.”
Siena menemukan tempat duduk kosong di dekatnya. Dia duduk di sana sambil terus melihat pergerakan Axel, berharap pria itu akan membawa kabar buruk yang akan siap dia tertawakan nanti.
Siena kini juga sedang berbincang dengan para relasi dan juga calon klien baru yang kebetulan ada di dekatnya. Namun kini semua obrolan di ruangan itu harus dihentikan karena acara akan segera dimulai.
Siena menoleh saat dia melihat ada yang datang dan duduk di sampingnya. Ternyata Axel sudah kembali dan mengulurkan sesuatu di atas meja ke arah Siena.
“Apa ini?” tanya Siena saat dia melihat ada sebuah kartu nama di hadapannya.
“Suruh Leo menghubungi Mr. Adrian besok. Buat janji minggu ini juga,” perintah Axel.
Siena mengambil kartu nama di depannya. Dia melihat ada nama klien kelas kakap itu di sana. Padahal selama ini dia pun belum bisa mendapatkan kartu nama itu karena Adrian terkenal ketat.
“Kok kamu bisa dapet kartu namanya? Aku udah 5 bulan ini, belum bisa dapet kartu namanya,” tanya Siena masih dengan sedikit rasa kaget bercampur kagum pada kehebatan Axel.
Axel menoleh sebentar ke arah Siena lalu kembali melihat ke depan. “Masih ragu sama kemampuanku?”
“Kasih tau aku, apa yang kamu lakukan tadi,” desak Siena ingin tahu.
“Biasa aja. Gak ada yang lebih.” Axel menoleh ke arah Siena, lalu sedikit mendekat ke wanita itu. “Apa tubuhmu tidak mampu merayu dia?” bisik Axel.
“b******k! Aku gak serendah itu!” umpat Siena pelan sambil memukul paha Axel.
Axel langsung meraih tangan Siena yang masih ada di atas pahanya. Dia kembali mendekat ke arah ibu tirinya itu, meski Siena berusaha melepas tangannya tanpa terlihat memberontak.
“Kalo aku dapet proyeknya, tidur denganku,” bisik Axel.