Bab 1

1065 Kata
“Faster, Bian!” Suara gadis itu terdengar parau dan menggema di sebuah kamar mewah yang didomin.asi warna hitam. Wajahnya menengadah, pasrah. Jari-jemari kedua tangannya mencengkeram sprei kuat-kuat. Tubuhnya menggeliat ketika sesuatu di pangkal pahanya makin masuk dan menimbulkan sensasi penuh sekaligus sesak. “Shut up! Lakukan saja tugasmu, Jal.ang!” Biantara makin gencar mendorong panggulnya. Ia bahkan tidak peduli dengan erangan sakit dari gadis yang ia kira adalah gadis bayaran. Benda itu menekan lebih kuat. Perlahan merobek selaput yang tidak seharusnya ia rusak. Dari tiap gerakan yang dilakukan pria itu, tidak ada kelembutan, tapi sukses meninggalkan kenikmatan. Tubuh mungil itu dituntut untuk mengikuti ritme cepat yang tidak bisa dikendalikan. Bibirnya bergetar, meracau tidak jelas ketika gerakan itu makin dipercepat. Matanya terbuka dan terpejam dalam beberapa detik. Siapa yang menyangka jika tubuhnya kini dalam kendali pamannya sendiri. Nyatanya, perlawanan yang diberikan tadi sia-sia. Wajahnya menengadah. Sesekali kulit dingin itu terasa ketika bibir Biantara melumat bibirnya yang ranum dan berwarna merah alami. “O-Om Bian ....” Kania bergumam ringan di tengah sadar yang tersisa. Ya, tidak salah. Pandangannya masih waras meskipun sedikit terganggu dengan rasa pusing dan panas itu. Sosok di atasnya benar-benar sang paman yang selama ini sangat membencinya. “Ah, f.u.ck!” Biantara melempar sebuah umpatan di tengah aksi panasnya. Bibirnya tidak bisa diam ketika merasakan miliknya dijepit oleh sesuatu yang dirasa sangat sempit. Ruang kecil di bawah sana terlalu sesak dan menggigit. Dan untuk pertama kalinya, Biantara ber.cinta dengan gadis asing yang bahkan membuatnya gila. Satu tangannya mencengkeram leher Kania. Sementara satunya yang lain menggenggam pinggang ramping itu kuat sebagai tumpuan. Di bawah kendalinya, Kania kini hanya bisa pasrah. Gadis itu ingin menolak, tapi semuanya terlambat. Ia terpaksa menikmati semuanya karena tuntutan obat dalam tubuhnya yang tidak bisa ditoleransi. Tubuh itu lemas di bawah kungkungan Biantara. N.a.fsu sekaligus ha.srat terlarang itu membuatnya tidak bisa berpikir logis. Apalagi ketika ciuman brutal Biantara kini turun ke leher. Aroma tubuh vanila yang manis itu membuat pria tersebut candu. Ia menyesap leher Kania, meninggalkan noda merah yang jelas. Lagi-lagi Kania ingin menolak. Tapi tubuhnya seolah tak mau mendengarkan pikirannya. Ada pertempuran di dalam dirinya—antara kehendak untuk melawan dan rasa aneh yang tak bisa ia kendalikan. Dalam hitungan detik, rasa sakit itu berubah bentuk. Bukan hilang, melainkan berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit: kebingungan, keterkejutan, dan rasa pasrah yang menyesakkan. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya—yang jelas, pikirannya hancur, dan jiwanya seakan tercerabut dari tempatnya. Kania belum pernah merasakan ini. Ia tidak pernah melakukan hal segila ini. Di atas tempat tidur dengan sprei putih itu, tubuhnya digempur mati-matian oleh tubuh tegap dan kokoh di atasnya. Bahkan, saking menuntutnya tubuh Kania untuk diberi sentuhan, bibir Biantara yang kini ada di ujung d.a.da berwarna merah muda itu memberi rasa yang tidak bisa lagi dijelaskan. Napas Kania mulai tersendat. Suara parau itu mulai berteriak gila. “Ah, Bian...” Gadis itu tidak bisa mengontrol semuanya. Tangannya berpindah dari sprei ke rambut Biantara. Ia tarik kuat-kuat rambut itu saat nafsunya mulai memuncak. Di lain sisi, Biantara di bawah pengaruh obat dan alkohol makin tidak karuan. Ia sangat menikmati tubuh gadis di bawahnya. “Damn! Your’re so damn hot, Girl!” Kalimat frontal itu terdengar seperti makian sekaligus pujian. Kurang puas dengan posisinya, kali ini Biantara melepas penyatuannya sebentar untuk mengangkat tubuh gadis tersebut. Ia posisikan Kania membelakanginya dan menumpukan kedua tangannya di atas tempat tidur. Sesaat kemudian, Biantara berdiri di belakangnya lalu dengan cepat mendorong miliknya untuk masuk ke milik Kania. “Arghhh ....” Kania menjerit. Gila! Ia bahkan menikmati bagaimana permainan yang dilakukan pamannya. D.a.da yang menggantung itu dicengkeram dari belakang menggunakan telapak tangannya yang besar. Rambut panjangnya yang tergerai kini digenggam oleh satu tangan Biantara. Pria itu menjambaknya, bersamaan dengan ritme yang sengaja dipercepat. “Rasakan ini, Ja.l.ang! Argh ....” Biantara mengentakkan tubuhnya penuh tenaga. Dan saat yang bersamaan, Kania mendesah berat. Gadis itu menggelinjang, merasakan sesuatu hangat tumpah di dalam sana bersama dengan miliknya yang berkedut. Beberapa detik kemudian, penyatuan itu terlepas. Tubuh Kania ambruk begitu saja di atas ranjang dengan keringat tipis yang keluar dari dahi. Ia kelelahan. Hal serupa juga dilakukan oleh Biantara. Pria itu lelah, pengaruh obat sekaligus minuman dosis tinggi membuatnya benar-benar tidak sadar. Ia rebahkan tubuhnya di samping Kania. Tangannya tanpa sadar memeluk tubuh mungil itu. Menariknya dalam hingga tubuh yang sama-sama polos itu saling memeluk. Keduanya terlelap dalam waktu bersamaan. ** Kania mulai tersadar. Ia membuka matanya yang berat karena menahan kantuk. Namun, ketika menatap langit-langit kamar yang terasa asing, rasa terkejut membuatnya kembali dalam kondisi sadar. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Lengan berotot itu menjebaknya dalam pelukan. Dengan hati-hati, Kania menyingkirkannya. Kepala gadis itu menoleh. Terlihat jelas bagaimana wajah pamannya yang terlelap tenang. Keringat di wajah masih tercetak jelas akibat kegiatannya beberapa jam lalu. Pandangan Kania turun. Di balik selimut itu, tubuhnya pun polos. Kulitnya bersentuhan dengan tubuh keras milik Biantara. “Apa yang sudah aku lakukan, Tuhan ....” Kania beringsut pelan. Rasa sakit di pangkal pahanya tidak tertahan. Perih dan nyeri. Namun, semua itu tidak sebanding dengan sakit hati sekaligus takutnya. Dari sudut netranya, air mata keluar. Kesedihan itu tidak bisa ditepis begitu saja. Ia telah melakukan hal terlarang dengan pamannya. Dalam hati, Kania merutuki kebodohannya. Ia berkali-kali memaki dirinya sendiri. Harus ia akui, ketika hal tersebut terjadi, tubuhnya seperti tidak bisa memberi penolakan. Benar kata orang, lidah memang tidak bertulang. Buktinya, berkali-kali bibirnya menolak, tapi badannya memberi respons yang bertolak belakang. Tidak mau sampai pria itu bangun, kedua kaki Kania turun ke sisi ranjang. Ia berdiri lalu memunguti satu per satu pakaian yang tercecer di lantai, lalu memakainya cepat. Gadis tersebut berjalan ke arah pintu. Sesaat sebelum keluar, ia menoleh ke arah pamannya yang masih terlelap. Kania menyeka air matanya yang masih mengalir. Tidak mau sampai ketahuan, ia langsung keluar begitu saja dengan langkah tertatih, meninggalkan suasana kamar yang menjadi kesialan baginya. Jam di dinding terus berjalan. Sepuluh menit setelah Kania pergi, Biantara mulai bergumam pelan. Matanya terbuka dalam beberapa saat. Ia memegangi kepalanya yang masih berat. Terlalu berat untuk pria tersebut bisa mencerna apa yang sudah terjadi pada dirinya tadi. Pandangan pria itu kini turun. Sadar dalam kondisi telan.jang, ia langsung gegas mengambil posisi duduk. Biantara menoleh. Ia tertegun melihat pemandangan di sisi tempat tidurnya yang kosong. Sebuah noda merah pekat yang masih baru. Noda itu membekas di seprei putih dengan bentuk abstrak. “Oh, s.hit!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN