Biantara langsung beranjak dan berjalan masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membiarkan air hangat memenuhi bathtub hingga setengahnya. Uap tipis mulai naik, menyelimuti ruangan dengan kabut lembut.
Satu per satu lilin aromaterapi ia nyalakan, menebarkan wangi vanila dan cendana yang menenangkan. Pria itu berusaha mencari sedikit relaksasi—sekadar meredakan berat di kepala dan sesak di d.a.da yang tak kunjung reda.
Ketika tubuhnya perlahan terendam, ia menengadahkan kepala, memejamkan mata. Tarikan dan embusan napas panjang ia lakukan berulang kali, seolah ingin menghapus sesuatu dari pikirannya.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dalam keheningan dan hangatnya air, ingatan beberapa jam lalu perlahan merayap kembali. Desahan samar, napas tergesa, bayangan tubuh mungil itu—semuanya berputar kembali di kepalanya, memukul pikirannya tanpa ampun.
Ia menelan ludah. Penolakan gadis itu, wajahnya yang setengah tertutup bayangan lampu, membuatnya terdiam lama. Siapa sebenarnya gadis itu? Dan mengapa rasanya begitu... tidak asing?
Air di sekelilingnya terasa semakin panas. Lelaki itu membuka mata, menatap pantulan dirinya di permukaan air yang beriak. Dalam bening yang bergetar itu, ia seperti melihat bayangan seseorang—samar, tapi nyata.
Ia mengerjap, mencoba menepis pikiran yang mulai menghantui.
Namun, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat pula wajah itu muncul di benaknya.
Tapi, sayang, ia tak bisa melihat jelas siapa gadis yang telah bersamanya tadi—dan sekarang, justru ketidakjelasan itulah yang membuatnya frustasi.
"Arghh, sial!"
Biantara berdecak. Sebelah tangannya menghantam pinggiran bak mandi, melampiaskan gejolak yang masih bergemuruh. Walau rupa gadis itu luput dari penglihatannya, tapi satu hal menetap: suara itu.
Nada sek.si yang awalnya merintih memohon ampun, perlahan berubah menjadi bisikan liar, memintanya untuk melampaui batas. Suaranya yang serak penuh has.rat bahkan memintanya untuk mempercepat tempo hingga bibir mungilnya mengerang—gadis itu mendamba kenikmatan yang lebih dalam.
Dan, ya, semua itu... menjerat Biantara dalam kegilaan. Dari sekian banyak perempuan yang ia beli hanya untuk meredam gelora nafsunya, hanya gadis tadi yang berhasil menancapkan rasa penasaran yang begitu dalam.
“Datang ke kamarku. Sekarang.”
Jawaban di seberang datang cepat, nyaris tanpa jeda.
“Baik, Tuan.”
Panggilan itu diputus. Tak berselang lama, suara ketukan terdengar di pintu. Biantara menoleh sekilas, lalu menyahut singkat, suaranya berat dan tegas.
“Masuk.”
Tidak lama kemudian, pintu terbuka perlahan. Seorang pria muda dengan pakaian serba hitam melangkah masuk, menunduk sopan di depan majikannya.
“Ada apa, Tuan?” tanyanya hati-hati, suaranya nyaris berbisik.
Biantara berbalik. Tatapannya dingin, dalam, seolah mampu menembus siapa pun yang berdiri di hadapannya.
“Selidiki dalang di balik semua ini,” ucapnya datar, namun penuh tekanan.
Asisten itu langsung mengangguk. “Laksanakan, Tuan. Apakah ada perintah tambahan?”
Pria yang masih bertelanjang d.a.da itu terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah sedang menimbang sesuatu yang berat. Lalu, akhirnya, ia mengembuskan napas pelan.
“Tidak ada. Kamu boleh pergi.”
Asisten itu menunduk dalam, kemudian berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan teratur.
Begitu pintu kembali tertutup, Biantara hanya berdiri diam. Hening. Suara detik jam terdengar jelas di tengah kamar yang kini terasa semakin dingin.
**
Di lain sisi, Kania masih berjalan tertatih. Di bawah langit gelap itu, ia memeluk tubuhnya sendiri. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, gadis tersebut sampai di rumah.
Rasa takut itu mulai merenggut keberaniannya. Kania ragu menyentuh gerbang itu. Ia ... gugup. Mata sembapnya menatap ke lantai dua rumahnya.
Kaca itu telah gelap. Adik-adiknya mungkin sudah tidur. Sedikit naik, ia menatap lantai tiga. Lampu di kamar orang tuanya masih menyala. Tirai putih tipisnya masih terbuka.
Orang tuanya belum tidur. Kania bisa menebaknya. Buru-buru ia dorong gerbang itu, lalu berjalan ke halaman belakang.
Sebelum masuk melalui pintu dapur, Kania lebih dulu duduk di kursi taman. Kepalanya tertunduk, kedua tangan menggenggam erat sisi kursi hingga ruas-ruas jarinya menegang.
Tanpa sadar, air mata itu kembali jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Kania menangis lagi—menumpahkan seluruh kesedihan yang menumpuk di dadanya. Perasaannya campur aduk; sesal, takut, dan hancur menjadi satu.
Ia kecewa pada dirinya sendiri. Sakit. Teramat sakit. Begitu dalam hingga kepalanya dipenuhi suara-suara yang berisik, menggema dengan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi setelah ini.
Saking larutnya dalam keputusasaan itu, ia bahkan tak lagi peduli pada hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Air mengalir dari rambut hingga ujung dagu, berpadu dengan air matanya. Dengan gerakan kasar, ia mengusap wajah yang terus disiram hujan, namun perih di hatinya tak juga hilang.
"Aku hancur! Masa depanku rusak! Kenapa Engkau takdirkan aku seperti ini, Tuhan?"
Kania berseru pelan, suaranya tenggelam di antara derasnya hujan yang kian menggila. Tubuhnya menggigil, namun ia tetap tak beranjak dari kursi taman itu. Seolah kakinya terpaku di sana, bersama dengan semua beban yang menjerat dadanya.
Sesaat, ia menahan napas, lalu mengembuskannya perlahan. Tangannya terangkat ke leher, merasakan perih yang menusuk. Ia tahu, ada luka yang tertinggal di sana—jejak yang tak bisa dihapus begitu saja.
Dengan gerakan kasar, Kania menggosok lehernya, seolah ingin menghapus setiap dosa yang melekat. Kulitnya perih, panas, tapi rasa itu tak sebanding dengan kecewa yang merongrong dirinya.
Gadis itu kembali menunduk. Isaknya pecah di antara gemuruh hujan, membuat d.a.d.a terasa semakin sesak. Tangannya terangkat, lalu memukul keras kursi besi tempatnya duduk. Bunyi dentingan logam terdengar nyaring di tengah deras air.
Bagi orang lain, mungkin rasa sakit di tangannya sudah tak tertahankan. Tapi, bagi Kania yang jiwanya tengah porak-poranda, itu hanyalah bentuk kecil dari pelampiasan—cara terakhir untuk tetap merasa hidup.
Ia bimbang. Tak tahu harus bagaimana. Penyesalan itu membuncah, menghancurkan sisa-sisa keteguhan yang tersisa. Setiap detik terasa begitu panjang dan berat, menekan dadanya tanpa henti.
Bayangan peristiwa tadi masih membayangi pikirannya, tiap detik yang dilalui terasa berat. Bagaimana gagahnya tubuh itu menggaulinya, membuat napasnya terputus-putus. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, membiarkan hujan menyatu dengan air matanya.
Tanpa disadari, dari balik pintu dapur, Hans berdiri diam. Ia sudah di sana sejak beberapa waktu lalu—memperhatikan setiap gerak Kania dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Bagaimana cara gadis itu berjalan tertatih, dengan mata yang gelisah menatap sekeliling, raut wajah yang menyimpan ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan—semuanya terekam jelas di benak Hans.
Ia melihat setiap langkahnya, setiap getar tubuh yang menggigil di bawah guyuran hujan. Kania tampak rapuh, seolah dunia di sekelilingnya telah runtuh. Namun, alih-alih iba, Hans hanya menyeringai.
Senyum tipis itu muncul di sudut bibirnya—dingin, tanpa empati. Tatapan matanya tetap lekat pada sosok Kania yang menangis dalam diam, seolah penderitaan gadis itu adalah pertunjukan yang sengaja dihadirkan untuknya.
"Yasmin, keluar!"
Teriakan itu tidak lantas membuat Kania beranjak. Gadis itu seperti tuli. Rasa takut yang mendominasi membuatnya tidak bisa menilai kondisi sekelilingnya.
Tidak lama, Yasmin keluar. Wanita dengan hijab pasmina yang tersampir di bahunya itu menatap sang suami heran.
"Apa apa, Mas? Kenapa kamu teriak begitu?"
Yasmin masih belum fokus dengan arah tatapan Hans. Ia sibuk mengaitkan kancing sweater yang membungkus tubuhnya.
"Liat putrimu itu, Yasmin! Apa yang kita takutkan pasti sebentar lagi terjadi. Mau jadi p.e.lacur dia?!"
Ucapan cepat itu membuat Yasmin tertegun. Ia kini mengikuti arah pandang suaminya. Dan betapa terkejutnya ketika melihat Kania yang masih duduk di sana.
"Ya, Allah, Kania!"
Wanita itu berteriak kalap. Ia langsung menyambar payung yang kebetulan ada di pojok dapur, lalu keluar menghampiri putrinya.
"Kenapa kamu hujan-hujanan kayak gini, Nak?!"
Suara keras ibunya membuat Kania menoleh perlahan. Segaris senyum muncul di wajah pucat itu—senyum lemah yang lebih mirip upaya menenangkan diri daripada kebahagiaan. Ia tidak sanggup berkata-kata.
Namun, bukan kondisi tubuh Kania yang basah kuyup yang membuat Yasmin terpaku. Pandangan wanita itu justru tertuju pada cara putrinya mengenakan seragam sekolahnya.
Kancing baju bagian atas terlepas tak beraturan, saku di sisi kanan tampak robek. Jaket kulit berwarna gelap menggantung di bahunya, asing dan bukan miliknya. Dan yang paling mencolok—rok abu-abunya tersingkap sedikit, memperlihatkan sesuatu yang membuat Yasmin menahan napas.
"Kita masuk, Nak. Kamu harus jelaskan semuanya sama Bia."
Yasmin menuntun Kania untuk masuk ke dalam rumah. Ia tidak ragu untuk merangkul tubuh putrinya yang basah.
"Sampai kapan kamu akan memanjakan anak nggak tahu diri ini, Yasmin?!"
Seruan Hans membuat langkah Yasmin terhenti seketika. Ia ingin memberi pembelaan, namun belum sempat membuka mulut, suara pintu kamar terdengar. Hanggara dan Ranti yang kebetulan sedang menginap malam itu, keluar dengan wajah penasaran.
Begitu pandangan mereka jatuh pada Kania, keduanya langsung terdiam. Mata mereka membulat, menatap lekat gadis yang berdiri di ambang pintu. Tubuh Kania tampak kacau—rambutnya basah menempel di wajah, seragamnya kusut dan kotor, sementara air hujan yang menetes dari ujung bajunya membentuk genangan kecil di lantai.
"Perempuan, pulang malam, masih pakai seragam dalam kondisi seperti ini. Apa masih pantas Bia-mu menyebut kamu sebagai gadis baik-baik?"
Sindiran tajam dari Ranti terdengar. Wanita yang sudah berumur setengah abad lebih itu menatap jijik ke arah Kania.
"Sengaja kamu mau mencoreng nama baik keluarga saya? Huh?!"
Hanggara menyahut, menyudutkan. Tatapan tajamnya seperti hendak membunuh Kania saat ini juga.
"Ka–Kania ... Kania ...."
Gadis itu menggantung ucapannya. Bibirnya bergetar, tapi tak ada satu pun kata yang berhasil keluar. Tubuhnya semakin menggigil, giginya saling beradu menimbulkan suara gemeretak pelan di antara hening yang mencekam.
Yasmin hanya berdiri terpaku. Ia tak tahu harus berkata apa. Dalam diam, rasa kecewa perlahan merambat, menenggelamkan sisa kepedulian yang tadi masih tersisa. Matanya menelusuri wajah putrinya, lalu berhenti pada sesuatu di leher gadis itu—sebuah tanda samar yang langsung membuat napasnya tercekat.
"Kania, jujur sama Bia. Kamu ...."
Kania menoleh cepat. Tatapan tajam Yasmin membuatnya panik; spontan, tangannya terangkat menutup leher, menarik kerah seragamnya ke atas. Gerak gugup itu tidak luput dari perhatian Hans.
Pria itu melangkah maju, langkahnya berat dan penuh tekanan. Dalam sekali gerakan kasar, tangannya meraih jaket kulit yang masih menempel di bahu Kania—menariknya dengan paksa.
Suara robekan terdengar keras. Jaket itu terlepas, jatuh ke lantai.
Plak!
***