Kania terhuyung. Tubuhnya menabrak sandaran sofa, menimbulkan derit pelan ketika furnitur itu bergeser sedikit dari posisinya.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Seketika, rasa panas menjalar cepat, lalu berganti kebas. Wajahnya seperti kehilangan seluruh sensasi—antara nyeri dan mati rasa.
Begitu kuat hantaman itu hingga rahangnya terasa bergeser. Dari sudut bibirnya yang robek, mengalir darah merah segar, menetes perlahan ke dagu. Dan harus Kania akui, rasa sakitnya begitu nyata, menembus sampai ke dalam hati.
“Mas!” seru Yasmin, suaranya bergetar di antara panik dan marah. Ia mendorong tubuh suaminya, mencoba menghentikan amarah yang sudah di ambang batas. “Tolong, tahan emosi kamu!”
“Mau sampai kapan kamu bela dia, Yasmin?!” bentak Hans, matanya menyala penuh amarah. “Mau tunggu sampai dia hamil dan melahirkan anak haram di tengah keluarga kita?!”
Nada suaranya menusuk, memecah udara di ruangan itu. Hans tidak lagi menahan diri. Ia membiarkan emosinya meledak, melawan Yasmin yang selama ini selalu berusaha menjadi perisai bagi gadis itu.
“Mas, please….” Yasmin memohon lirih, hampir tak berdaya di hadapan kemarahan suaminya yang membara.
Pria itu menggeleng pelan, matanya dingin. Permohonan Yasmin tak akan ia kabulkan kali ini. Dengan langkah berat namun mantap, ia maju mendekat. Tangannya terulur, mencengkeram lengan Kania, lalu menariknya dengan paksa hingga gadis itu terjatuh dan bersimpuh di lantai.
“Biar dia bertanggung jawab atas kesalahannya, Yasmin!”
Suara Hans terdengar tegas dan penuh tekanan—nada yang tak memberi ruang bagi siapa pun untuk membantah.
Ranti turun tangan. Ia merangkul menantunya untuk menyingkir. Wanita tersebut menatap Yasmin dalam, seolah meminta sedikit pengertian darinya.
“Jangan memberi toleransi lagi, Yasmin. Kamu tahu kenapa sikap melenceng itu bisa muncul?”
Suara Hanggara terdengar tegas, dingin, sekaligus menekan. Ia ikut memperkuat argumen Hans yang sudah bersiap menghukum Kania.
“Tapi, menghukum nggak harus dengan cara kekerasan, Pa. Yas mohon, jangan hakimi dia seperti ini.”
Nada Yasmin melemah, tapi masih ada ketegasan di dalamnya. Ia mencoba bertahan di antara dua dinding, antara kasih sayang seorang ibu dan otoritas keluarga yang menindihnya.
“Kalau cara lembut malah disalahgunakan, kita harus memberinya pengertian dengan cara lain, Yasmin!” tegas Hanggara, kini dengan sorot mata yang makin keras. “Sikap melenceng itu muncul karena hal-hal kecil selalu dibiarkan. Dan kamu, Yasmin, terlalu sering memberi dia toleransi.”
Yasmin membisu. Bibirnya gemetar, tapi tak ada kata yang keluar. Kali ini, ia tidak lagi sanggup menentang ayah mertuanya.
Suasana tegang di ruang itu berlangsung lama. Selama beberapa detik, mereka sama-sama diam. Kania pun hanya terisak. Kepalanya tertunduk dalam.
Melihat kondisi putrinya yang demikian, Yasmin iba. Ia menyingkirkan rangkulan mama mertuanya dan berlari ke arah Kania.
"Ayo, Sayang. Beri kami penjelasan. Kenapa semua seperti ini? Kamu nggak mungkin ngelakuin itu, kan?"
Kania mendongak perlahan. Hatinya hancur saat melihat wajah Yasmin yang basah oleh air mata. Setiap tetes yang jatuh seolah menampar rasa bersalah di dalam dirinya, membuat sesak di d**a kian menjadi-jadi.
Yasmin—satu-satunya orang yang selalu berpihak padanya. Di tengah keluarga yang sering memandangnya dengan kebencian dan curiga, hanya wanita itu yang tetap berusaha adil. Kini, melihat sosok itu menangis karena dirinya, Kania merasa seolah seluruh dunia runtuh di depan mata.
"Look at her. Dia hanya diam, Yasmin. Apa hal itu tidak cukup menjelaskan bahwa dia mengakui kesalahannya?"
Dengan nada terukur, Hanggara kembali mengemukakan pandangannya, berusaha menyeimbangkan nalar dan perasaan Yasmin agar tidak selalu mengedepankan perasaan.
Geram, Ranti maju satu langkah. Ia berdiri tepat di depan Kania yang masih bersimpuh di lantai. Tatapannya tajam, menelusuri setiap detail wajah dan tubuh gadis itu yang kini hanya mampu terisak tanpa berani mengangkat kepala.
Udara di ruangan itu seolah mengeras. Tak ada suara lain selain isakan pelan Kania yang semakin melemah—sementara di sekelilingnya, tatapan penuh penilaian terus menghujam dari segala arah.
"Kamu dibesarkan dengan cara terhormat oleh biamu, Kania. Dia bahkan rela memberikan asinya untuk gadis tidak tau malu sepertimu!"
Makian itu membuat Kania menunduk semakin dalam. Jemarinya yang menempel di lantai marmer menegang, menekan keras hingga ujung kukunya memerah.
Udara terasa berat. Sesak. Seolah seluruh oksigen di ruangan megah itu lenyap bersama harga dirinya yang kini terinjak. Ia berusaha bernapas, namun d.a.da terasa mengunci.
“Apa kurang semua fasilitas mewah yang diberikan anak saya ke kamu?" Suara itu menggema, tajam dan dingin. “Masih mau berharap hal muluk seperti apa lagi sampai kamu berani menjual diri seperti ini?! Kamu iri sama Elang dan adik-adik kamu yang lain yang selalu didahulukan?!”
Tidak puas, Ranti kembali mencecar gadis yang tidak pernah dianggapnya sebagai cucu. Rasa benci itu bertambah. Apalagi ketika melihat bekas merah yang bisa ia tebak penyebabnya.
"Kania nggak sengaja, Tita. Kania--"
"Pembelaan apa lagi yang mau kamu ucapkan, Gadis J.a.l.ang?!" Hanggara tidak segan memberikan sebutan buruk itu pada gadis tersebut.
Pria itu menatap putranya. Ia memberi kode pada Hans untuk memberinya hukuman pada gadis tersebut.
Patuh, Hans menarik lengan gadis itu untuk diseret masuk ke dalam kamar tamu. Namun, pergerakannya dihalangi oleh Yasmin.
Wanita tersebut berdiri di ambang pintu menghalangi langkah Hans. Ia tatap dalam wajah sang suami. Kepalanya menggeleng, tanda melarang.
"Jangan, Mas. Aku mohon ...."
Hans membisu. Pria mana yang tega melihat istrinya menangis di depannya. Hatinya bergetar. Ingin rasanya ia memberi ketenangan pada Yasmin.
Tapi, tidak! Hans tidak boleh goyah. Ia tidak akan luluh dengan kesedihan istrinya yang hanya untuk memohon belas kasihan supaya tidak menghukum Kania.
Selama ini, Hans selalu memberi Kania toleransi dengan alasan malas ribut dengan Yasmin. Ia rela menelan pahit rasa bencinya selama bertahun-tahun.
Dan sekarang, tidak ada lagi kesabaran. Sikap mengalahnya sudah cukup. Kemarahan itu hadir dengan alasan berdasar.
"Kalau Mas mau hukum Kania, hukum juga aku! Aku yang salah mendidik dia sampai bisa begini! Salahkan aku, Mas."
Yasmin tidak tanggung-tanggung untuk pasang badan melindungi Kania. Ia menatap putrinya begitu dalam. Ada rasa sesal kenapa wanita tersebut gagal menjaga putrinya.
"Stop, Yasmin! Kali ini jangan berani-beraninya melawan saya! Saya hanya ingin memberi dia pelajaran supaya dia sadar hidup di tengah keluarga yang punya aturan!"
Hans berteriak kesetanan. Napasnya memburu. Ia cekal pergelangan tangan Kania. Satu tangannya mengempas tubuh Yasmin hingga menyingkir dari ambang pintu.
Tubuh Yasmin membentur tembok. Rasa sakit di punggungnya terasa. Ia hanya meringis, sebelum akhirnya kembali bergerak.
"Cukup, Yasmin! Tolong, patuhi ucapan Hans!"
Ranti yang tidak tega pun menarik tubuh Yasmin untuk menyingkir. Dan pada saat itu, pintu kamar tamu itu dibanting keras oleh Hans lalu menguncinya dari dalam.
"Dasar murahan! Di mana otak kamu sampai berbuat sejauh ini, hah?!"
Makian itu kembali terdengar. Menyakitkan? Jelas. Kania bahkan tidak mampu lagi mendefinisikan bagaimana intensitas sakitnya.
Mental dan batinnya dibuat hancur bersamaan. Rasa sakit akibat digagahi belum mendapat obat. Dan sekarang, ia harus menahan sakit karena hukuman fisik dari papanya.
"Kemarikan tanganmu!"
"Ampun, Pa. Kania nggak bermaksud. Tadi Kania hanya--"
"Tunjukkan tangan kamu, Kania!"
Bentakan itu terdengar keras. Menggelegar ke seluruh sudut kamar luas itu. Dari luar, terdengar gedoran pintu berkali-kali.
"Jangan lakukan itu, Mas! Buka pintunya! Jangan apa-apain Kania!"
Hans hanya menoleh singkat. Satu sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai tipis. Ia kembali memandang ke arah Kania yang tertunduk dengan tangis tanpa suara.
"Kamu dengar itu, Kania? Sanggup kamu bikin biamu menangis? Sifat kamu benar-benar menjijikkan!"
"Nggak, Pa. Kania mohon dengar penjelasan Kania dulu."
Sesak sekali rasanya. Suara Kania bahkan hampir habis karena menangis terus-menerus sedari tadi. Ia tidak bisa menahan semuanya. Namun, jika harus bicara jujur pun, ia takut.
Kania yakin, di dalam rumah itu tidak akan ada yang percaya. Kalaupun percaya, Biantara pasti tidak akan pernah mengakui.
Sebab, jelas-jelas pria itu tidak sadar bahwa gadis yang digagahi tadi adalah dirinya. Pamannya itu menganggapnya sebagai gadis panggilan yang menjajakan tubuhnya untuk kemudian dibayar.
Hans tidak bisa menahan lagi. Ia mengambil tongkat kayu di samping lemari. Tatapannya terlampau tajam pada Kania untuk sekadar mengancam.
"Letakkan tangan kamu di ranjang."
Kania mendongak. Apa papanya akan sekejam itu? Kembali memberinya hukuman tanpa ampun? Bahkan, pukulan di lututnya beberapa bulan lalu belum juga hilang bekasnya.
"Ayo! Kamu mau bertanggungjawab, kan?"
Gadis itu tergugu. Dengan berat, ia taruh kedua tangannya di atas ranjang. Selang beberapa detik, pukulan keras itu mendarat di tulang jarinya.
"Akkhhh! Sakit, Pa! Ampun!"
"Mas Hans! Buka pintunya, Mas!" Kalimat itu terdengar tepat setelah teriakan dari Kania.
"Diam!" Hans berteriak kesetanan. "Ini belum seberapa, Yasmin! Saya akan buat putrimu ini jera!"
***