Bunyi pukulan itu makin keras. Kania menjerit tertahan. Kali ini bukan lagi ringisan yang terdengar, melainkan erangan kesakitan yang tidak bisa lagi ia telan.
Dan malam ini adalah hukuman paling parah yang selama ini ia dapatkan. Tulang-tulang jari lentik itu terasa dipatahkan secara bersamaan.
Tubuhnya menggigil lemah. Air mata terus mengalir ke sela bibirnya yang masih mengeluarkan darah. Sementara suara untuk memohon ampun terdengar makin pelan.
“Sakit, Pa. Ampunnn ... Kania salah. Kania minta maaf.”
Rengekan itu terdengar seperti anak kecil yang memohon rasa kasihan. Tangisnya sudah tidak ada lagi suara saat rasa sakit mendera seluruh tubuhnya.
“Jangan pukul Kania lagi, Pa. Sakit. Tolong ....”
Kembali, Kania melakukan berbagai cara untuk mengharap rasa iba dari papanya. Ia hanya bisa menangis, menikmati perih dan sakit di tiap sisi tubuhnya.
“Sekali lagi kamu melanggar batas atau melakukan kesalahan sekecil apa pun, jangan harap kamu bisa menghirup udara bebas!”
Kalimat itu terdengar sebuah ancaman yang mematikan. Matanya yang sudah buram menatap nanar ke arah jari-jarinya yang berlumur darah.
Tidak lama, Hans membuka kunci pintu kamar itu. Sosok Yasmin menerobos masuk dan langsung memeluk tubuh putrinya.
“Maafin Bia, Sayang.”
Kania terisak. Melihat betapa sayangnya Yasmin kepadanya, rasa bersalah itu makin menggalinya habis-habisan.
“Tinggalkan dia sendiri, Yasmin! Nggak ada makan atau minum sampai pagi nanti untuk anak itu!”
Suara Hans menginterupsi Yasmin. Wanita itu menoleh lalu gegas menghampiri suaminya. Mata abu itu menatapnya penuh arti.
“Tega kamu, Mas! Kenapa kamu hukum Kania separah ini?!”
Yasmin menyeru marah. Ia dorong d.a.da Hans dan memukulnya berkali-kali. Wanita itu kecewa dengan sikap kasar suaminya.
“Jangan salahkan saya, Yasmin. Selama ini, kurang sabar apa saya menghadapi Kania? Apa kurang sikap mengalah saya sama kamu?”
Pria itu masih berusaha menjaga nada bicaranya. Dari lubuk hati yang paling dalam, ia tidak ingin melukai hati istrinya.
Harus Yasmin akui, Hans selama ini memang cukup sabar. Meski tidak bisa memberi kasih sayang lebih pada Kania, tapi setidaknya ia memberi fasilitas yang sama dengan anak-anaknya yang lain.
Kesadaran itu membuat tenggorokan Yasmin tercekat. Ia tidak bisa berkata-kata. Semua pembelaannya tadi seolah ditelan oleh rasa bimbangnya.
Melihat perdebatan kedua orang tuanya, Kania hanya diam. Pandangannya tidak berani menatap Hans maupun Yasmin. Ia murni tertunduk dalam diam.
“Tapi, nggak seharusnya kamu kasar gitu, Mas. Harusnya kamu tau efek dari hukuman yang kamu kasih!”
Tidak tahan lagi dengan pembelaan itu, Hans akhirnya menarik Yasmin untuk pergi dari sana, meninggalkan Kania yang kini hanya duduk mematung.
“Setelah ini saya harap kamu sadar diri! Gadis murahan sepertimu, apa pantas untuk bertahan di rumah ini?!”
Kalimat menohok itu membuat Kania terenyak. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah Ranti yang sinis. Tatapan itu terlampau dingin dan menusuk.
“Sampai kamu membuat nama baik keluarga saya buruk, tidak hanya Hans yang menghukummu, Gadis Sialan! Kamu akan merasakan sendiri bagaimana kejamnya saya memberi hukuman seumur hidup atasmu!”
Hanggara langsung menutup pintu itu keras. Ia menguncinya dari luar. Sengaja, pria tersebut membiarkan Kania terkurung di ruang tamu yang tanpa selimut atau bantal.
Kania hanya bisa terduduk di atas ranjang. Ia memeluk kedua lututnya yang tertekuk.
Tangis keras itu ia sembunyikan di antara lipatan pahanya yang lebam akibat dorongan Hans ke lantai tadi.
Sampai tidak lama, tubuhnya berada dalam kondisi lemah. Kania terjatuh di atas tempat tidur dan tidak sadarkan diri.
Darah itu terus menetes di sprei warna merah muda bermotif bunga. Jari-jarinya terluka parah, tapi tidak diobati.
**
Pagi hari ....
Semalam penuh Yasmin menangisi kondisi Kania, tapi tidak diizinkan sedikit pun oleh Hans untuk keluar dari kamar.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 05.00. Yasmin segera bangun dan langsung keluar dari kamar setelah Hans membuka pintunya.
Wanita itu turun di tangga dengan langkah terburu-buru. Bahkan, rasa sakit karena jatuh beberapa kali tidak lagi dihiraukan.
Ia mengambil kunci cadangan yang tergantung di sudut lorong. Namun, ketika hendak memasukkan kunci, pintu kamar tersebut sudah dalam kondisi sedikit terbuka.
Yasmin mendorong hendel pintu itu dengan hati-hati. Dan tanpa diduga, dua anak laki-lakinya juga ada di sana.
Setengah tubuh gadis itu ditutup selimut. Di dahinya, ada kain kompres yang sudah mengering.
Saka tidur di sofa, sementara Tama tidur di sisi ranjang Kania yang kosong. Yasmin merasa tersentuh dengan sikap peduli kedua anaknya.
“Bia?”
Suara itu terdengar dari Saka. Lelaki itu tanpa diduga terbangun dari tidurnya yang terlihat lelap saat Yasmin baru saja masuk beberapa detik lalu.
Jari telunjuk Yasmin bergerak, meletakkannya di bibir. Ia meminta putranya untuk diam selagi dirinya melangkah pelan ke samping Kania.
Lembut dan hati-hati, Yasmin meraba wajah Kania. Panas. Saking panasnya, ia buru-buru menarik tangannya dari sana.
Tidak berselang lama, Tama pun ikut bangun. Lelaki itu terlihat terkejut dengan kehadiran Yasmin. Ia gegas mengambil posisi duduk.
“Kalian salat Subuh dulu, ya. Bia yang bakal jaga kakak kalian.”
“Baik, Bia.” Tama mengucek matanya lalu menoleh ke arah Daka. “Ayo, Bang.”
Saka mengangguk. Saat ia berjalan ke arah pintu bersama adiknya, panggilan Yasmin terdengar.
“Makasih, ya, Sayang. Kalian udah jaga Kakak semalaman.”
Tama tiba-tiba berlari dan memeluk Yasmin. “Aku nggak mau Kakak sakit, Bia.”
Yasmin mengecup puncak kepala Tama dan melepas pelukan itu setelah mengusap punggungnya beberapa kali.
“Doain Kakak biar cepet sembuh, ya.”
“Iya, Bia. Aku sama Bang Daka keluar dulu.”
Yasmin mengangguk, menatap kepergian kedua putranya. Pintu itu ditutup pelan, hampir tidak meninggalkan jejak suara.
Sekarang, Yasmin mengganti kain kompres itu lalu kembali ditempelkan di dahi putrinya.
Tatapannya turun, fokus pada jari-jari kedua tangan Kania yang kini sudah dibalut dengan kain kasa. Luka itu terlihat parah.
Melihat itu, mata Yasmin mulai basah. Rasa bersalah membuatnya tidak bisa membendung air mata.
Andai tadi malam ia bisa memberontak dan melakukan perlawanan lebih, mungkin Hans tidak sampai memberi hukuman separah ini.
“Maafin Bia, Sayang.”
Kedua tangan yang terluka itu Yasmin kecup pelan. Tanpa diduga, tindakannya itu membangunkan Kania.
“Bia ....”
Seulas senyum tipis terbit di bibir Yasmin. Ia mengusap kepala Kania. “Iya, Sayang. Maafin Bia, ya.”
Mata Kania mulai terbuka. Ia tatap wajah Yasmin yang kini terlihat khawatir dengannya. Tangan lemah itu terangkat, mengusap pelan pipi mamanya yang basah.
Tapi, sedetik kemudian, pandangan Yasmin justru terfokus pada ceruk leher Kania yang terekspose. Bekas merah di sana terlihat jelas dan nyata.
Yasmin memegangi d.a.da. Sakit sekali saat merasa dirinya gagal menjaga Kania. Ia gagal mendidik putrinya untuk bisa menjaga pergaulan.
“Tolong beri Bia penjelasan, Sayang. Bicara yang jujur sama Bia.”
Kania terdiam. Ia menyingkirkan tangannya dari wajah Yasmin. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar.
Mengingat bagaimana kejadian tadi malam, Kania tidak sanggup untuk menjelaskan. Air matanya jatuh, menetes sampai ke bantal.
“Kalau memang ada masalah, kita cari jalan keluarnya sama-sama, Nak.”
Kalimat bujukan itu terdengar. Kania tertegun sejenak. Haruskan ia percaya pada mamanya?
“Sebenarnya, Kania ....”
***