Bab 5

1674 Kata
“Cerita aja, Sayang. Jangan takut. Bicara jujur sama Bia.” Suara Yasmin terdengar lembut, tapi sarat kekhawatiran. Ia menatap putrinya dengan mata yang mulai berkaca. Dalam hatinya, Yasmin hanya ingin Kania mau terbuka—ia yakin, sangat yakin, bahwa putrinya tidak mungkin berbuat sejauh itu tanpa adanya tekanan atau paksaan. Cukup lama Yasmin menunggu. Hening terasa menusuk. Kania tidak juga mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu hanya menunduk, bahunya bergetar halus, lalu membetulkan posisi handuk yang menutupi tubuhnya. Seragam SMA yang masih melekat di balik kain itu kini sudah kering, meski semalam sempat basah kuyup. Dalam samar ingatannya sebelum sadar, Kania sempat mendengar suara kedua adiknya—mereka yang, dengan cara seadanya, berusaha menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Yasmin menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Bia kasih kamu waktu buat jujur, Kania. Kalau nggak sekarang, nggak apa-apa. Bia tunggu sampai kamu siap.” “Bia kasih kamu waktu buat jujur, Kania. Kalau nggak sekarang, nggak apa-apa. Bia tunggu sampai kamu siap.” Kalimat sederhana itu justru menancap dalam di hati Kania, menggali rasa bersalah semakin dalam. Napasnya tercekat, matanya mulai memanas. Ia menunduk lebih dalam, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Haruskah ia menyembunyikan kebenaran? Atau... justru berkata bohong demi menjaga ketenangan semua orang? Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak, seolah setiap helaan napas adalah pengingat akan dosa yang belum terucap. “Maaf, Bia….” Hanya kalimat itu yang sanggup keluar dari bibir Kania. Suaranya lirih, nyaris tenggelam di udara. Gadis itu mengembuskan napas pelan, menatap ke bawah—ke arah jari-jarinya yang terbungkus kain kasa, seolah di sanalah seluruh dosanya bersembunyi. “Iya, Bia paham,” jawab Yasmin lembut, mencoba menenangkan, meski suaranya terdengar bergetar. “Semoga ini yang pertama dan terakhir, ya. Kamu sudah besar, Kania. Kamu tahu konsekuensi dari setiap tindakanmu.” Kania mengangguk pelan. Namun di dalam hatinya, kegelisahan terus berputar tanpa henti. Ia menunduk lebih dalam, seolah ingin bersembunyi dari dunia. Bayangan ketakutan itu kembali menghantam pikirannya — bagaimana nanti, jika mereka tahu bahwa penyebab bekas merah di lehernya bukan kesalahan yang ia perbuat sendiri, melainkan Biantara? “Iya, Bia... makasih banyak, Bia.” Suaranya nyaris tak terdengar, lirih dan bergetar. Di balik kata-kata sederhana itu, tersimpan rasa terima kasih sekaligus penyesalan yang menyesakkan d**a. Meski kecewa, Yasmin tetap berusaha menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum tipis di wajah. Senyum yang lebih terasa sebagai upaya menenangkan diri, bukan sekadar menenangkan anaknya. “Sama-sama, Sayang. Sekarang kamu mandi air hangat dulu, ya. Setelah itu salat, biar pikiran kamu tenang. Nanti kita sarapan bareng-bareng.” Nada lembut itu terdengar tulus, tapi di baliknya tersimpan duka yang berat. Yasmin tahu ada sesuatu yang belum diucapkan, tapi ia memilih diam—memberi waktu, memberi ruang, berharap kejujuran itu suatu hari berani keluar dengan sendirinya. “Iya, Bia.” Yasmin lantas beranjak dari sana, meninggalkan Kania yang hanya mampu menatap kosong ke arahnya. Sorot matanya sayu, penuh kehilangan—seolah menyimpan beban yang tak bisa diucapkan. Jelas Yasmin tahu putrinya itu menyimpan beban yang begitu dalam. Tapi sekali lagi ia tidak bisa memaksanya sekarang. Perlahan, Kania berdiri dan mulai melangkah keluar. Ia menapaki tangga menuju lantai dua, satu per satu pijakan terasa begitu panjang dan berat. Tangannya menggenggam pagar, mencoba menstabilkan tubuh yang nyaris tak sanggup menahan sakit. Setiap langkah seperti perjuangan keras. Tulang-tulang kakinya seolah dilucuti kekuatan, membuatnya beberapa kali harus berhenti untuk menarik napas panjang sebelum kembali memaksa diri naik. Setelah sampai di atas, ia masuk ke kamarnya dan segera menuju kamar mandi. Satu per satu kancing seragamnya ia lepaskan, perlahan, tanpa suara. Baju itu ia lipat rapi dan letakkan di keranjang pakaian kotor. Di depan cermin, sosok yang menatap balik bukan lagi dirinya yang kemarin. Wajahnya pucat, tubuhnya kuyu, kelopak matanya menghitam. Bibir kering dan mengelupas, menambah kesan lelah yang mendalam. “Kenapa, Om? Kenapa Om tega?” bisiknya pelan. Suaranya pecah, hampir tak terdengar di antara dengung hujan di luar jendela. “Kenapa Om rusak masa depanku…?” Kania menunduk. Setetes air mata jatuh ke wastafel, membaur bersama sisa air di ujung jemarinya. Tangisnya kembali pecah—meledak di dalam d.a.da, tapi tanpa suara. Ia menahan sekuat tenaga agar isaknya tak terdengar keluar. Bahunya bergetar pelan, sementara wajahnya tenggelam di antara kedua telapak tangan. Tubuhnya telah ternoda. Tiap incinya telah dijamah oleh pria yang tidak pernah ia bayangkan. Bagaimana mungkin pamannya melakukan hal terlarang dengannya? Kenapa harus dirinya? Dan, kenapa harus sampai sejauh itu? Berbagai pertanyaan terus menjejali kepalanya, membuat pikirannya terasa berat dan berdenyut. Ia ingin berhenti berpikir, tapi setiap kali mencoba, bayangan semalam kembali menghantamnya. Bagian bawahnya bahkan masih perih dan nyeri, sisa dari permainan semalam. Wajahnya terlihat kelelahan. Seluruh tubuhnya juga demam. Beruntung, hari ini tanggal merah. Sekolah libur. Setidaknya, ia punya sedikit waktu untuk beristirahat—menarik napas dan mencoba menenangkan diri di tengah kekacauan yang terus menghantui pikirannya. Hanya hari ini, ia ingin diam. Tak ingin berpikir, tak ingin menjelaskan apa pun. Ia hanya ingin bersembunyi sejenak dari dunia yang terasa terlalu bising, terlalu menyakitkan. Dengan hati-hati, Kania memilih untuk berendam di air yang sedikit panas itu. Ia memejam, merasakan bagian intimnya yang seperti koyak karena digagahi secara kasar. “Awhhh, sakit ....” Kania meringis, tubuhnya menegang menahan rasa sakit di antara pangkal pahanya. Ada perih yang tidak hanya terasa di tubuh, tapi jauh lebih dalam—menembus hingga ke hatinya. Ia tahu, luka itu bukan sekadar di permukaan, melainkan sesuatu yang akan membekas selamanya. Andai saja semua ini tak pernah terjadi, mungkin ia tak akan sehancur ini. Tapi penyesalan datang terlambat. Dalam hatinya, Kania merasa telah mengecewakan Yasmin—sosok yang selalu membelanya, bahkan ketika dunia seakan menudingnya tanpa belas kasih. “Maafin Kania, Bia. Kania udah buat Bia kecewa.” Suara itu nyaris tenggelam, seperti keluar dari tenggorokan yang tercekat. Ia hanya bisa menghabiskan waktunya di sana, seolah tempat itu tempat peleburan dosa. Tidak lama kemudian, panggilan dari Saka terdengar. “Kak Kania di dalem?” “Iya, Saka. Nanti Kakak nyusul.” Satu jam kemudian .... Beberapa anggota keluarga itu sudah berkumpul di meja makan. Mereka menikmati hidangan yang disajikan oleh asisten rumah tangganya. Tidak lama, Saka keluar dari kamar Kania. Ia menuntun kakaknya saat menuruni tangga lalu didudukkan di kursi yang bersebelahan dengan kursi Yasmin setelah berada di meja makan. “Lho, tangan Kakak kenapa? Kok, dua-duanya dibalut pake kain kasa?” Maura, Si Bungsu itu bertanya penuh penasaran. Ia berhenti mengunyah makanan dan menatap ngilu ke arah tangan Kania. “Jangan pedulikan kakakmu, Maura. Kakakmu melakukan kesalahan, makanya dihukum. Jadikan itu pelajaran untuk kalian!” Suara Ranti ketus. Ia sibuk mengambilkan nasi dan lauk-pauk untuk cucu-cucunya, terkecuali Kania. Di meja makan itu, papa dan kakek-neneknya memandang dirinya penuh penghakiman. Mereka seperti tidak suka ketika dirinya ada di sana. “Bia ambilkan, ya.” “Kania ambil sendiri aja, Bia.” Kania berusaha menolak. Namun, mamanya itu tetap bersikeras untuk mengambilkan. Piring yang sudah terisi penuh itu diletakkan di meja depannya. “Makan. Dari kemarin kamu belum makan.” Yasmin memberi perintah tegas, wajahnya terlihat lebih dingin dari biasanya. “Dia sudah kenyang makan nafsu, Yas.” Celetukan Hans membuat Yasmin sontak melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Sorot matanya menegur tanpa kata, dingin tapi tegas. Wanita itu menggeleng pelan—gerakan kecil namun sarat makna. Isyarat jelas bahwa ia tidak memberi izin bagi Hans untuk bertindak lebih jauh, terlebih saat mereka masih duduk di meja makan. Suasana yang semula tenang pun mendadak terasa kaku. “Bia, kenapa nggak suapin Kak Kania aja? Liat, tuh. Tangannya luka gitu. Bibirnya juga lecet. Pasti sakit banget, ya, Kak?” Mata Maura mengerjap pelan. Ia menatap kakak sulungnya dengan pandangan iba. Mendengar celetukan polos Maura, Yasmin sontak menoleh ke arah Kania. Dan benar—dari cara putrinya memegang sendok saja, terlihat betapa sulitnya Kania menahan rasa sakit. Gerakannya kaku, tangannya bergetar halus, namun ia tetap berusaha agar tak ada yang curiga. “Untuk itu, Sayang.” Hanggara menyahuti, sambil mengelap tangan dengan tisu dan mengusap punggung cucu bungsunya. “Kalau tau mana yang benar, tapi masih milih yang salah, ya, jangan kaget kalau nanti kena akibatnya kayak kakak kamu.” Maura dengan wajah polosnya mencerna baik-baik ucapan sang kakek. Ia kembali menatap Kania. “Oh, jadi, Kakak habis melanggar aturan Papa dan Bia, ya? Makanya dihukum?” Ucapan itu membuat Tama menyenggol siku adiknya. “Habiskan, Dek. Nggak baik makan sambil bicara.” Bibir Maura berdecak sebal. Ia terpaksa membungkam mulutnya dengan makanan setelah diberi peringatan Tama. “Yang kecil aja sekarang udah ngerti mana yang baik, masa yang paling besar masih harus diingetin terus?” Sindiran dengan nada ketus kembali terdengar dari mulut Ranti. Wanita itu melirik ke arah Kania, sinis. “Sudah, Pa, Ma. Kita makan dulu. Takutnya berkahnya hilang kalau disambut dengan perkataan kurang menyenangkan.” Kembali, Yasmin memberi pembelaan. Wanita tersebut bersiap menyuapi Kania. Namun, siapa sangka jika perhatian itu ditolak. “Kania bisa sendiri, Bia lanjutin aja sarapannya.” “Kamu yakin, Sayang?” Kania mengangguk. Ia ambil alih sendok yang digenggam oleh Yasmin lalu memasukkan makanan itu ke mulut dengan hati-hati. Satu tangannya memegangi sudut bibir, menahan perih yang tidak bisa ia ungkapkan. Gadis tersebut dipaksa diam oleh keadaan. Di tengah momen sarapan yang penuh ketegangan itu, deru mesin mobil terdengar dari arah halaman belakang. Tidak lama, sosok pria pun masuk dari pintu sana sambil membawa map sekaligus buku tebal. Mereka menaruh atensinya pada pria tersebut, tidak terkecuali Kania. Gadis itu memaku tatapannya cukup lama terhadap seseorang yang kini juga menatapnya. Pria itu melangkah perlahan mendekati meja makan. Tatapannya tajam—dingin, nyaris tanpa emosi—namun cukup untuk membuat udara di ruangan itu menegang. Wajahnya datar, tenang di permukaan, tapi ada sesuatu yang berbahaya bersembunyi di balik ketenangan itu. Jantung Kania berdegup kencang, lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya kaku. Begitu Biantara berdiri di sampingnya, ia refleks memiringkan badan, berusaha menciptakan jarak sekecil apa pun yang bisa ia dapatkan. Suara napas beradu dengan detak jantung yang menggema di telinga. Dunia di sekitarnya seolah membisu, menyisakan hanya satu hal—kehadiran Biantara yang menekan seperti bayangan gelap yang tak bisa ia hindari. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN