Tidur Tita yang memang tidak lelap bahkan bisa dibilang penuh mimpi buruk, terganggu oleh suara gaduh dari pintu apartemen. Tita berguling ke ujung tempat tidur dan berusaha menggapai tubuh Gin yang berbaring di lantai. Diguncangnya tubuh Gin agar pria itu bangun. "Gin, siapa sih yang gedor-gedor pintu pagi-pagi gini?"
"Mana gue tau," balas Gin tidak peduli. Ia masih ingin tidur lebih lama lagi. Jangankan untuk berjalan keluar dan melihat ke pintu, bergeser saja Gin tidak akan mau.
"Liat gih sana!" suruh Tita.
"Lo aja."
"Sumpah ya, Gin! Tinggal sama lo nggak banyak faedahnya," gerutu Tita jengkel. Tapi demi mengakhiri keributan di luar sana, ia memilih bangun juga meski masih tidak rela berpisah dengan kasur Gin.
Tolong jangan anggap serius ucapan Tita karena ia hanya asal bicara saja. Kenyataannya tinggal bersama Gin sangatlah bermanfaat bagi Tita.
"Cari orang lain yang mau tinggal sama lo sana!" sahut Gin asal.
Tita tidak lagi menanggapi ocehan Gin. Ia takut kalau Gin benar-benar mengusirnya dari apartemen pria itu. Tita berjalan meninggalkan kamar Gin dan menuju pintu. Dibukanya pintu itu tanpa merasa perlu merapikan diri terlebih dulu. "Siapa ya?"
Tita tidak peduli jika sang tamu terkejut melihat penampilannya. Persetan dengan rambutnya yang awut-awutan, atau pipinya yang bebercak iler, atau mulutnya yang masih bau jigong, atau matanya yang masih berbelek. Sebodo amat dengan semua itu. Kalau pun yang berdiri di luar sana adalah Jungkook sekalipun, Tita tidak peduli. Ia cukup berjongkok saja kemudian berguling bagai bulu babi dan semua akan beres.
"Saya Dirga, GM di Orchid Land."
"Saya nggak pesen bakmi GM, Pak,” sahut Tita tanpa berpikir dulu. “Maaf. Mungkin Bapak salah liat nomor unit."
Tita sudah berniat kembali menutup pintu sambil bergumam dalam hati memuji penampilan sang pengantar bakmi GM yang boleh juga.
Cepat-cepat pria bernama Dirga itu maju dan menahan pintu sebelum Tita menutupnya rapat. "Bukan bakmi GM, Bu. Tapi GM adalah general manager."
"Oh …, bilang dong yang jelas." Tita mengedip beberapa kali dan mencoba mengumpulkan kesadarannya. "Kenapa Bapak ke sini pagi-pagi?"
"Saya ingin menyampaikan teguran untuk Ibu."
"Teguran?” Tita kembali berkedip cepat lalu bertanya bodoh. “Saya telat bayar sewa? Emang saya bayar sewa ke Bapak?"
Kalau dipikir-pikir Tita memang sudah lama tidak membayar uang sewa. Terakhir kali sepertinya sekitar setengah tahun yang lalu.
"Urusan sewa tidak ada hubungannya dengan pihak manajemen, Bu. Tapi langsung berurusan dengan pemilik unit itu sendiri." Dirga terlihat mencoba bersabar menghadapi Tita. Rupanya para bawahan Dirga tidak berbohong. Orang ini memang sulit dihadapi. Sampai-sampai Dirga harus turun tangan sendiri mengurusi hal seperti ini.
"Terus apa dong?"
"Balkon Ibu."
"Kenapa, Pak?"
"Apakah pemilik unit tempat ibu menyewa sudah menjelaskan aturan di sini?" Demi kesopanan, Dirga tidak mungkin langsung menuduh. Ia tetap harus bertanya baik-baik.
"Kayaknya udah. Lupa-lupa inget," jawab Tita sekenanya.
"Peraturan manajemen kami, tidak diperbolehkan menjadikan balkon sebagai tempat menjemur pakaian."
Tita menggeleng cepat. "Saya nggak kok, Pak."
Dirga mengembuskan napas sepelan mungkin untuk mengumpulkan ketenangannya. Perlahan tangannya menunjuk ke dalam apartemen Gin, jauh ke belakang tubuh Tita. "Bu, dari sini saja terlihat ada pakaian yang Ibu jemur di balkon."
Tita ikut menoleh ke arah yang Dirga tunjuk. "Oh, itu …. Itu sih BH sama CD saya, Pak."
"Bu, itu juga termasuk pakaian." Refleks Dirga memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut. Manusia macam apakah yang tengah berdiri di hadapannya saat ini?
"Ya terus kalo nggak saya jemur di balkon, di mana dong?" tanya Tita polos.
"Di sini tersedia jasa laundry, Ibu bisa manfaatkan itu," sahut Dirga yang sudah kembali pada ketenangannya semula.
"Gratis?" Mata Tita melebar kesenangan.
"Tidak."
"Yey, sama aja boong, Pak!” dengkus Tita sebal. “Saya mesti keluar duit lagi. Saya nggak punya duit, Pak."
"Ibu bisa menyewa unit apartemen di sini, jadi saya rasa kalau sekadar untuk biaya cuci pakaian pastilah ada." Orchid Land memang bukan kawasan apartemen kacangan, bahkan termasuk salah satu lingkungan bergengsi di bilangan Jakarta Selatan. Jadi mustahil rasanya bagi orang yang bisa menyewa di tempat ini tapi tidak punya uang.
Cepat-cepat Tita menjelaskan duduk perkaranya agar Dirga tidak salah paham. "Saya numpang di sini, Pak. Saya cuma bayar serelanya aja. Kalo lagi nggak ada uang ya saya nggak bayar. Saya emang rajin kerja, tapi tanggungan saya di kampung banyak, Pak. Ibu saya udah tua, adik saya dua, dua-duanya masih sekolah. Masa saya lebih pentingin uang buat cuci baju dibanding biaya sekolah adik saya?"
Tita tidak berbohong. Sumpah demi cacing-cacing ganas diperutnya yang buncit, Tita tidak pernah berbohong. Ia adalah makhluk paling jujur sejagad Luminous. Keadaan keluarganya memang sulit. Ayahnya yang berprofesi sebagai pilot meninggal sekitar 18 tahun lalu, ketika Tita masih berusia sembilan tahun. Meninggalkan ibunya bersama Tita, adiknya yang baru berusia satu tahun, dan satu adiknya lagi yang masih berada dalam kandungan.
Sejak saat itu, kondisi keuangan keluarga Tita morat-marit. Saat ia berusia sebelas tahun, ibunya terpaksa mengirim Tita ke Jakarta. Tita kecil harus hidup bersama adik ibunya di Jakarta, sementara ibu dan kedua adiknya menetap di Garut. Itulah yang membuat Tita harus bekerja keras sejak dulu demi bisa memiliki uang tabungan untuk dikirim pada ibu dan kedua adiknya.
Itu juga yang menjadi alasan Tita mau menerima tawaran Gin untuk tinggal di apartemennya saja. Tawaran Gin yang berniat memberikan tumpangan dengan harga sewa sesuka hati saja tentu tidak dapat ditampik oleh Tita yang memang pada dasarnya sangat membutuhkan uang lebih. Adiknya yang kedua baru masuk kuliah tahun lalu, dan si bungsu akan segera menyusul tahun depan. Berapa biayanya? Jelas besar. Siapa yang membiayai? Tentu Tita sebagai tulang punggung.
Dirga menyerah kalah. Ia tidak sanggup melawan perkataan Tita lagi. "Kalau begitu silakan Ibu mencuci sendiri seperti biasa, tapi untuk menjemur tolong manfaatkan saja ruang dalam. Yang terpenting tidak boleh di balkon."
"Yah, nanti baju saya pada bau sama jamuran, Pak. Nanti saya mesti sering-sering beli baju baru. Nanti uang saya habis juga."
Dirga yang sudah kelimpungan memikirkan jawaban balasan lainnya, segera terselamatkan oleh suara pria dari dalam. "Sha, siapa sih?"
Rupanya Gin bangun juga. Tita berteriak menjawab pertanyaan pria itu. "Ini, ada Pak GM."
Tita mengejanya dengan lidah khas Indonesia, yaitu ge-em, bukan ji-em selayaknya ejaan kebarat-baratan yang benar.
Gin berjalan mendekat, menatap ke arah Dirga dengan matanya yang masih sepet. "Lo pesen bakmi GM pagi-pagi? Yang nganter rapi banget bajunya."
Untuk kedua kalinya Dirga merasa terhina pagi ini. "Saya bukan pengantar bakmi GM. Saya General Manager di Orchid Land."
"Orchid Land bukannya nama apartemen gue, Sha?" tanya Gin bingung. Maklum saja, nyawanya belum terkumpul sempurna. Terkumpul saja otaknya memang tidak lurus, apalagi berceceran seperti sekarang, jelas hancur adanya.
"Setau gue sih iya," sahut Tita sama ngaconya.
Dirga rasanya ingin mengumpat saat ini juga menghadapi dua orang gila di hadapannya.
"Ada masalah apa, Pak?" tanya Gin berlagak serius.
"Jemuran di balkon," sahut Dirga kaku. Ia sedang mempersiapkan hatinya untuk mendengar jawaban Gin yang mungkin akan sengaco jawaban Tita tadi. Atau bahkan mungkin akan lebih luar biasa.
"Oh …. Maaf, Pak. Nanti saya ingetin dia buat nggak jemur di luar lagi," ujar Gin sopan.
Di luar dugaan, ternyata Gin menanggapi dengan waras. Seketika Dirga merasa lega dan langsung berpamitan. "Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi."
Begitu Dirga berlalu, cepat-cepat Gin menutup pintu dan mendesah lega. “Untung si Cokodot pinter. Kalo dia ngegonggong, ketauanlah kalo di sini ada bintang piaraan juga.”
"Di antara kita bertiga kayaknya emang si Cokodot yang paling pinter."
"Cih! Gue sih kagak sudi disamain otaknya sama si Cokodot. Gini-gini gue produk unggulan, Sha. Cerdas dari lahir."
“Gin, denger lo ngoceh gue jadi laper,” ujar Tita berganti topik.
“Sama.” Gin menepuk perutnya yang cekung alias kering kerontang.
“Lo pengin makan apa?”
“Lo?” balas Gin.
Keduanya saling bertatapan, perlahan senyum mengembang di wajah mereka, lalu keduanya berseru kompak. “Bakmi GM!