4. WO Toserbi

1808 Kata
“Ta, ngapain di sini?” sapa Mia yang baru turun dari lantai dua Lumiere. Ditanya seperti itu oleh sang pemilik tempat, Tita yang tengah sibuk dengan ponselnya sontak mendelik tak percaya. “Si Mbak nggak kira-kira nanyanya. Ngapain lagi Tita di sini coba?” "Tinggal jawab aja susah." "Kerjalah, Mbak Cantik!” Tita memutar bola matanya dengan dramatis. “Ya, kali Tita mau nyolong baju ratusan jeti di sini?” “Kirain mau minta desain khusus sama Mbak Elle buat gaun nikahan kamu," sindir Mia dengan senyum manis. “Mbak, tolong ya! Kalo hina Tita tuh yang lebih realistis gitu. Jangan yang fitnah!" Mia duduk dengan tenang di sebelah Tita dan tertawa geli. "Siapa yang hina kamu? Aku tuh doain kamu loh!" "Makasih deh, Mbak." "Abis kamu datangnya sendirian, duduknya di sini juga bukan ke atas." Biasanya Tita tanpa malu-malu akan menerobos ruang kerja Mia di lantai dua dan merecok di sana. Sudah delapan tahun keduanya saling mengenal karena keseharian mereka yang sama-sama bergerak di bidang jasa layanan pernikahan. Tita sebagai kru wedding organizer dan Mia sebagai makeup artist. Meski usia mereka terpaut tujuh tahun, tetapi keduanya sangat akrab. Kedekatan mereka membuat Tita selalu memprioritaskan Lumiere jika para calon pengantin meminta rekomendasi terkait urusan makeup dan wedding gown. Bukan Tita bermaksud nepotisme, hanya saja kualitas kerja Mia sudah terbukti selama ini. Hasilnya tidak pernah mengecewakan. "Ada yang mau fitting, Mbak." "Reschedule?" Seingat Mia tidak ada jadwal fitting dari klien Tita hari ini. "Daschedule," celetuk Tita malas. "Hah?" "Dadakan schedule," sahut Tita asal. Mia sudah sangat terbiasa dengan kekonyolan mulut Tita, jadi tidak heran lagi dengan istilah-istilah asal yang gadis itu buat. "Mana kliennya?" "Nggak tau nih!" dengkus Tita sebal. Ia sudah terburu gara-gara jadwal dadakan yang kliennya minta, tiba di sini malah tidak ada orangnya. "Tadi bilang udah otewe. Nggak nyampe-nyampe juga." "Otewe dari Bandung?" ujar Mia datar. "Heh?” Mata Tita sontak membulat. “Mbak udah kontakan sama kliennya?" "Kliennya yang mana juga aku nggak tau.” Mia mengangkat bahu cuek. “Kan kamu yang bawa ke sini, nggak bikin appointment langsung sama aku." "Tadi Mbak bilang dari Bandung." "Ck! Itu tuh nyindir, Ta!" "Oh!" Tita yang terkadang sering kelewat polos ini hanya mengangguk patuh. Perhatiannya teralih ketika nada dering Dangdut is The Music of My Country menggema di ruang tamu Lumiere yang masih sepi, menandakan panggilan dari seseorang. Tertera di layar caller ID Vina Bride 537. "Bentar, Mbak! Dia telepon nih!" Sekadar informasi, Tita selalu menambahkan angka di belakang nama kliennya untuk mengingatkan pada diri sendiri sudah sebanyak apa pengantin yang ia tangani selama ini. "Halo, Cantik! Gimana, gimana?" Suara manis Tita langsung terdengar memekakkan telinga. "Mbak, fitting-nya batal aja ya hari ini," ujar Vina Bride 537 dengan nada manja yang menyebalkan. "Hah? Nggak jadi? Schedule ulang lagi?" tanya Tita lemas. "Iya, Mbak. Bisa, kan?" "Duh, Sayang!” Tita mulai beraksi melancarkan jurus jitunya membujuk klien. “Ini tuh Tita udah di Lumiere loh. Udah sengaja kosongin jadwal buat kamu. Soalnya di sini biasanya full terus." "Tolongin deh, Mbak. Pasti bisalah!" "Susah atur jadwalnya lagi, Cantik!" Satu aturan penting yang Tita buat dan sampai saat ini tidak pernah dilanggarnya. Semenyebalkan apa pun seorang klien, haram hukumnya menunjukkan ketidaksukaan dan bersikap ketus. Tita akan selalu menanggapi dengan manis dan sabar, meski sesudahnya ia bisa saja kejang-kejang. "Masalahnya calon aku tuh nggak bisa dihubungin, Mbak," rengek Vina Bride 537. "Loh, kenapa?" "Mana aku tau, Mbak." "Kamu dulu aja yang fitting hari ini, gimana?" bujuk Tita. "Boleh aja sih. Tapi Mbak jemput aku ya!" ujar Vina Bride 537 dengan seenak udelnya. Seketika Tita celangap. "Jemput?" "Iya. Mbak nggak mau?" "Bukan nggak mau jemput, Sayang. Tapi Tita aja biasa dianter jemput ke mana-mana. Bukan Tita sok manja, tapi Tita emang nggak ada kendaraan pribadi." "Nah, biasanya Mbak sama siapa?" "Sama Bang Ojol kesayangan, dong!" "Yah, Mbak. Itu kan nggak save. Aku mana berani." Celangap Tita kini ditambah mata meringis. "Kamu nggak berani?" "Iya. Kecuali Mbak jemput aku terus kita naik ojol bareng." Hik! Tita tersedak. Kalau ini adegan dalam film kartun, pasti mata Tita sudah keluar dari posisinya dan mental bolak-balik seolah ada pegasnya. "Aku jemput kamu dulu?" "Iya, Mbak. Aku yang bayar deh ongkosnya." Tidak tahukah kamu wahai Nona Mahatahu bahwasanya bukan perkara ongkos yang hamba risaukan? Batin Tita gemas. "Calonmu ke mana sih, Cantik?" "Kan udah aku bilang nggak bisa dihubungin, Mbak," sahut Vina Bride 537 jengkel. "Gimana kalo aku yang coba kontak dia?" usul Tita dengan nada seriang mungkin. "Terserah sih kalo Mbak mau buang waktu buat coba. Tapi, asal tau aja. Aku aja susah banget mau kontak dia. Tapi ya selamat mencoba deh, Mbak. Kabarin aja hasilnya gimana." Suara Vina Bride 537 terdengar ketus ketika mengakhiri percakapan mereka. Namun, Tita tetap seriang dan semanis biasanya. "Oke, Cantik!" "Kenapa, Ta?" tanya Mia penasaran. "Ini klien ada-ada aja deh,” keluh Tita. Hanya Mia, Ry, dan Vio yang benar-benar paham jika sesungguhnya Tita pun hanya manusia biasa. Tita juga bisa merasa lelah dan kesal. Tita bukan gadis super dengan hati tanpa batas yang bisa tetap baik-baik saja ketika harga dirinya digilas oleh para klien dari kalangan kelas atas. “Batal dateng katanya gara-gara nggak ada yang anter dia. Calon suaminya sibuk." "Terus dia minta kamu jemput?!" Mia mendelik tidak percaya. "Iya, Mbak! Astaga! Dia kira aku ini toko serba bisa apa gimana ya?" Tita mengacak rambutnya dengan frustasi. "Tapi Tita mau coba kontak calonnya dulu." Segera ia mencari pasangan dari Vina Bride 537, yaitu Kaivan Groom 537. Begitu panggilannya ditanggapi pada dering ketujuh, Tita langsung memasang kembali setelan patennya. "Halo, selamat siang dengan Bapak Kaivan Liem?" "Betul. Saya bicara dengan siapa?" "Kenalkan, Pak. Saya Tita, personil paling gesit, handal, tajam, terpercaya, dari Luminous!" "Luminous?" Suara pria di seberang sana terdengar bingung. "Benar, Pak! Wedding organizer yang Bapak sewa untuk mengurus acara pernikahan Bapak dengan Ibu Vina." "Oh, begitu." Kini suara bingung itu berubah malas. "Lalu ada apa menghubungi saya?" "Bapak kenapa tidak angkat telepon dari calon istri Bapak?" Ini memang aneh, bukan? Mengapa saat Tita hubungi malah langsung dijawab? "Apa urusannya dengan kamu?" "Jelas ada, Pak! Jadi begini. Hari ini seharusnya ada jadwal fitting untuk pasangan lain. Tapi tiba-tiba Ibu Vina minta jadwal di hari ini. Akhirnya setelah berusaha keras, saya berhasil mendapatkan jadwal untuk Ibu Vina dan Bapak Kaivan tentunya. Tapi masalahnya sekarang Ibu Vina minta cancel karena Bapak tidak bisa dihubungi dan calon istri Bapak tidak ada yang mengantar." "Berarti masalahnya ada di wanita itu. Bukan di saya." "PAK!" jerit itu lolos tanpa terkontrol. Setelah ia menjelaskan panjang lebar, tanggapan pria itu hanya demikian saja? "Kenapa kamu bentak saya?" protes Kaivan Groom 537 terkejut. "Eh, maaf, Pak! Ini kaki saya kegencet talenan. Bukan maksud bentak Bapak. Mana saya berani dong, Pak." Tita langsung mengubah kembali suaranya agar terdengar manis. "Ya, sudah! Saya matikan sekarang. Banyak pekerjaan yang harus saya urus." "Aduh, Pak! Jangan, dong! Kerjaan saya juga banyak, Pak. Dan nyangkut di kalian ini. Tolongin saya dong, Pak. Dateng ke sini ya, Pak. Plis, Pak! Bantuin saya." Lupa sudah Tita dengan tata bahasa formal sejak mencetuskan alasan kaki kegencet talenan yang jelas tidak masuk akal itu. "Kamu ini aneh." "Iya, saya emang aneh, Pak. Gapapa katain aja, Pak. Saya nggak akan marah kok, Pak. Asal Bapak jemput calon istri Bapak terus bawa ke sini." "Saya nggak mau. Kenapa juga saya harus dengerin kamu?" Anehnya lawan bicara Tita pun ikut-ikutan bicara santai sekarang. "Kalo Bapak nggak mau nanti saya teror terus loh, Pak. Udah banyak loh pasangan pengantin yang trauma gara-gara nikahannya diurus sama saya. Mereka sampe janji nggak akan pernah cerai karena nggak mau kawin lagi. Mereka takut bakal ketemu orang yang gigih nggak ada bandingannya kayak saya ini." "Oke, oke! Saya akan jemput Vina dan datang ke sana!" Akhirnya, Kaivan Groom 537 menyerah. Telinganya berdengung dan gatal akibat suara Tita yang terus merecokinya. "Berhasil!" Tita berjingkrak senang begitu panggilan terputus. "Parah banget kamu, Ta.” Mia yang sejak tadi menahan tawa, kini bebas tergelak. “Sampe sekarang aku masih nggak ngerti sama kecepatan mulut kamu dan jumlah kata yang super banyak itu." "Practice makes perfect, Mbak. Kalo nggak gini bisa bubar semua. Tau sendiri kan yang pake jasa kita tuh orang-orang kelas ningrat semua. Kita nih cuma dianggep kesetnya mereka. Mereka tuh selalu seenaknya sama jadwal. Makanya Tita harus on fire kejar-kejar mereka." Namun, kelegaan Tita hanya bertahan beberapa saat saja. Ketika pasangan calon pengantin itu tiba, huru-hara yang sebenarnya baru terjadi. "Mas Ivan …," panggil Vina sambil berdiri di panggung kecil usai mencoba gaun kedelapan yang dipilihnya. "Kaivan, bukan Ivan," koreksi Kaivan yang sejak tadi terus sibuk dengan ponsel. Dari gaun pertama sampai sekarang, pria ini tidak menunjukkan ketertarikan sedikit juga. "Ih!” sungut Vina manja. “Oke, Mas Kaivan." Tita, Mia, dan segenap karyawan lain yang ada di sana, hanya bisa menahan mual diam-diam. Sejak kedua manusia itu datang, aura di Lumiere mendadak tidak enak. "Jadi gimana?" tanya Vina. "Apa?" "Bagus nggak?" "Apanya?" balas Kaivan tanpa minat. "Gaunnya, Mas. Kan kita ke sini buat fitting." Vina terlihat semakin jengkel. "Bagus." "MAS KAIVAN!" jerit Vina kencang. Para keset di sana hanya bisa saling tatap sambil memegangi jantung masing-masing. Kaivan akhirnya mengangkat wajah dari ponsel dan menatap tidak suka. Nada bicaranya juga menunjukkan ketidaksukaan atas sikap Vina. "Kenapa, sih?" "Jawab yang bener, Mas!" Vina mengentakkan kaki. Tita menatap horor pada Mia. Mereka hanya berharap jika gaun itu tidak rusak akibat ulah Vina. "Aku udah bilang bagus tadi. Kamu nggak dengar?” Seketika Kaivan mengedarkan pandang pada para keset. “Kalian semua dengar kan saya jawab bagus tadi?" Para keset mengangguk kompak. "Tapi Mas tuh asal jawab!" Lagi Vina mengentakkan kaki. Rasanya Tita bisa melihat beberapa manik putih berkilau mulai luruh mencium karpet. "Tahu dari mana aku asal jawab?" tantang Kaivan. "Mas aja belum liat ke sini. Dari tadi liatnya hape terus!" jerit Vina tanpa malu. Beginikah tingkah orang kaya? Batin para keset. "Vin, aku ini banyak kerjaan. Nggak ada waktu buat lihatin kamu gonta-ganti gaun sebanyak ini. Di mata aku semua kelihatan sama aja. Sama-sama putih, besar, panjang. That's it, Vin!" geram Kaivan. "Tapi ini tuh buat nikahan kita, Mas! Peduli sedikit bisa, kan?" "Vin, putuskan sendiri mana yang kamu suka. Mana yang nyaman kamu pakai. Mana yang sesuai sama selera kamu. Kamu harus bisa ambil keputusan sendiri, Vin. Jangan sedikit-sedikit minta pendapat orang. Mau sampai kapan kamu bergantung sama orang lain?" ujar Kaivan dingin. "Mas jahat!" jerit Vina disertai isakan. "Mbak,” panggil Kaivan sambil menatap Tita. "Mbak WO yang tadi kontak saya, kan?" "Iya, Pak." "Sekarang gini, deh! Mbak pilihin gaun buat calon istri saya yang sesuai sama tema acara nikahan nanti. Saya yakin Mbak udah terbiasa mengurus hal-hal begini. Sekalian tanyain sama perancang gaun dan makeup artist yang akan handle urusan ini. Mana gaun yang paling cocok buat calon saya. Urus sampai beres, saya nggak mau tahu dan nggak mau diganggu lagi sama urusan sepele semacam ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN